How Life Is

 

                                                                   HOW LIFE IS

Author: Chinchi (@Dhinta_cyrushaw)

Cast:  Tia Hwang (Chocolat)

Lee Taemin (SHINee)

Support Cast: Still Hidden

BGM:  4MEN—Reason

Genre: Angst, AU, romance, life, abuse(?).

Rating: PG-16

Length: Oneshot

Disclaimer: I own the story, not the casts and don’t be a plagiator. Thanks for YUMINSSI as author of extraordinary kids, you bring me some inspiration. WARNING: WRONG GRAMMAR AND BAD LANGUAGE.

N.B: annyeong, chinchi kembali membawakan fanfic, maaf karena belum bisa lanjutin SIM dan Cuma bisa update sebulan sekali karena pekerjaan sekolah yang menumpuk. Sebagai gantinya this is it, for my friend who get trapped in androphobia (phobia laki-laki). Jangan protes sama couple di sininya, aku lagi suka banget sama Tia Chocolat soalnya.

HAPPY READING! ^ ^

______________

Life is something cruel and danger, full of sin, fake, and sickness…

                                         But life is also full of happiness, laughter, and wonderful things’

                                                               ______________

-Tia’s POV-

Hidup…

Apa artinya? Sesuatu yang semu, dan sementara…

Sementara surga dan neraka? Mereka bilang sesuatu yang abadi, menyenangkan juga menyakitkan di saat yang bersamaan.

Tapi, aku tidak tahu manakah yang lebih menyakitkan? Nerakakah atau hidupku?

Kurasa sama saja, ‘because life, is a cruel thing I ever experience…’

                                                      _______________________

Sepasang muda-mudi yang lewat itu tampak kelewat mesra di depanku, dengan jemari yang saling bertautan dan senyuman yang bagaikan tinta permanen, sulit terhapuskan. Kalau boleh dikatakan aku iri, sesungguhnya aku tidak. Lebih dominan perasaan jijikku dari pada rasa iriku.

Bagaimana bisa perempuan itu berpegangan pada makhluk mengerikan yang bernama pria? Bahkan tanpa malu kadang menautkan bibir mereka seperti ikan dan mata kail yang tersangkut erat. Menggelikan.

Mereka berlalu dan hilang di penghujung taman, sekarang aku kembali sendirian dengan daun-daun kering dari pohon oak yang terus berjatuhan.

Aku bingung dengan diriku sendiri, kapan penyakitku ini akan sembuh? Bahkan si tua Bangka yang menyebabkan penyakitku ini sudah lama tewas dalam kecelakaan 3 tahun yang lalu. Rasanya aku ingin berteriak kencang, how life is so unfair with me..

Ibuku meninggal saat aku 5 tahun, teman-teman menjauhiku saat tahu penyakit anehku yang menghambat segala pergaulanku, bahkan masyarakatpun menatapku selayaknya sampah yang harus dibuang jauh-jauh, hey, I’m not that tragic…

                   Even without them, I can stand by myself..

Kalian mungkin bertanya, apa yang terjadi? Well, ini kisah yang menyedihkan tapi bukan kisah romeo dan julliete, ataupun rose dan jack yang terpisah karena tragedi Titanic. Di sini hanya ada aku, Tia Hwang.

Gadis aneh dengan ‘kelainan’, sebaiknya kau jauh-jauh dariku kalau tidak mau sial! Itulah kata-kata yang selalu teman-temanku lontarkan bila mereka melihatku melewati mereka. Ini semua karena ulah tua Bangka itu, andai dia tidak melakukan hal ‘itu’ padaku, penyakit aneh ini tidak akan datang padaku.

Tua Bangka pedofil itu adalah ayahku yang sekiranya sampai hari ini masih kuhormati sampai ingin meludahi wajahnya kala pemakaman itu. Tidak perlu kujelaskan apa saja yang dia lakukan, yang jelas dia selalu menyiksaku bila tidak menurutinya.

Masih berbekas dalam ingatanku, bagaimana ia memasung kakiku dengan rantai di gudang bawah tanah rumah, dan bagaimana ia mencambukku dengan gesper hingga aku tidak bisa berjalan selama seminggu.

How beautiful it was, hari yang tidak akan pernah kulupakan dan tidak akan pula kukenang. Walaupun dia tidak sampai merenggut ‘kehormatan’ku sebagai wanita, tapi tindak pelecehan dan kekerasan yang ia lakukan membuat pandanganku akan sosok semua lelaki berubah tajam.

Bagiku, mereka monster, menyedihkan, dan hanya ingin keuntungan dari perempuan saja, pembual besar, dan penuh omong kosong.

Tubuhku akan mengejang bila berdekatan dengan salah satu di antara kaum adam itu, aku sudah bertanya pada psikiater apa yang terjadi padaku. Dan aku terkena penyakit yang mereka sebut, ANDROPHOBIA.

Sesuatu yang mungkin menurutmu kecil, tapi menyakitkan bila kau jadi aku.

Semua temanku bilang, aku seorang gadis penyuka sesama jenis. Itu karena tak ada seorangpun lelaki yang terlihat berdekatan denganku, dan untuk anak seusiaku hal tersebut adalah suatu keanehan.

Musuhku di sekolah mencari tahu tentang penyakit yang selama ini aku sembunyikan dari khalayak, mengubah sedikit fakta menjadi fitnah dan menyebarkannya ke seantero sekolah bahwa aku adalah seorang Bi ‘penyuka sesama jenis’.

Lengkap sudah penderitaan hidupku saat itu, pandangan rendah mereka semakin menjadi-jadi padaku. Pernah terpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri, untuk apa aku mempertahankan kehidupan yang bahkan tidak pernah berlaku adil padaku? Hanya membuang angan, lebih baik aku ikut ibuku entah ke neraka ataupun ke surga. Asal tidak di sini, di dunia yang kejam ini.

Sampai….

“Stop! Apa yang mau kau lakukan?”

                   “Mau mati, memang kenapa?”

                   “Seringan itu kau berkata ingin mati? Kau seharusnya bersyukur masih bisa hidup eonni, jangan sia-siakan kehidupanmu bila tidak ingin menyesal nanti. Dosa dan penyesalan yang kau tanggung takkan setara dengan rasa sakit yang akan kau terima sebagai hukuman di sana kelak.”

Itu adalah kata-kata paling religius yang pernah kudengar dari seseorang, hanya gadis kecil itu yang bisa mengatakannya. Melanie, seorang gadis penderita kanker otak. Ia yang menyelamatkanku dari sebuah keterpurukan yang selama ini kurasakan, gadis yang pada akhirnya kuanggap sebagai adik dan temanku.

Melanie berumur 14 tahun ketika divonis menderita penyakit pembunuh paling berbahaya di dunia itu, semua kehidupan sempurnanya satu-persatu berubah. Orang-orang yang dulu selalu berdiri di sampingnya sebagai teman, perlahan-lahan menjauhinya hingga yang tertinggal hanya aku dan ibunya yang super sibuk itu.

Pernah aku bertanya padanya, “Apa yang membuatmu sanggup bertahan di tengah ujian ini Melanie-ya?”

“Tuhan..” jawaban yang singkat itu mampu membuat bulu romaku meremang.

“Waeyo?”

“Aku percaya, Tuhan akan selalu menciptakan keajaiban bagiku. Aku yakin aku pasti sembuh dan bisa seperti dulu lagi.”

Senyuman yang ku ukir ketika mendengar jawabannya kini terganti dengan linangan air mata yang tertutupi oleh hujan dingin dari langit.

Dan aku kembali kehilangan sesuatu yang membuatku tersenyum, pada kenyataannya tak ada keajaiban seperti yang kau katakan Melanie. Alice pun tidak dapat kembali dari wonderland sesuai dengan akhir yang kau ceritakan, ia selamanya terperangkap di sana dengan segala macam fantasi dan mimpi-mimpi indahnya. Meninggalkan kakaknya dalam kesendirian.

Sama seperti yang kau lakukan padaku. How life is full of fake…

Saat aku menulis catatan ini, entah mengapa tanganku bergetar hanya karena menulis namamu Melanie, adik sekaligus sahabatku..

Hidupku pun kembali terlunta-lunta dalam kegelapan, ketika tak ada lagi lentera yang bahkan sanggup meneranginya. Bukankah sama halnya dengan aku sudah tak berarti lagi?

Waktu itu, tak bisa kututupi tangisku. Namun, seseorang menangis dan merintih lebih keras dariku di trotoar tergelap dalam jalan yang kulalui. Rasa penasaran pun membawaku pada sosoknya, seseorang dengan luka lebam dan keadaan yang mengenaskan terbaring di sana.

Tubuhnya yang ramping dan kulitnya yang seputih salju nyaris membutakanku dengan menganggapnya seorang perempuan, pada kenyataannya dia seorang laki-laki. Kau tahukan seberapa takutnya aku pada lelaki Melanie, tubuhku mengejang hebat.

Tapi, kalau aku tak menolongnya mungkin saja itu menjadi hari terakhir nafasnya berhembus dan yang ada dipikiranku adalah tidak ingin ada lagi yang pergi. Aku membawanya pada saat itu, tak kuperdulikan rasa takut yang kini mulai menjalari hatiku.

___________________

Namanya Taemin, Lee Taemin. Aku tahu namanya dari name tag pada jasnya, nampaknya dia murid SMA. Rambutnya blonde, wajahnya bisa terbilang tampan namun juga cantik, sungguh kesempurnaan yang baru pertama kali kulihat.

Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku bingung, saat hendak aku dekati dia begitu terlihat ketakutan. Aku menangkap kesamaannya denganku melihat reaksinya, apakah dia trauma karena sesuatu yang buruk tadi malam baru saja menimpanya?

Entah dorongan dari mana, aku duduk tepat di sebelahnya bahkan tak kurasakan lagi kejangan seperti tadi malam ketika membawanya ke apartemenku. “Annyeong, Hwang Tia imnida.” Tanganku melayang di depan wajahnya, dan reaksi takut-takut itu kembali kutangkap dari sepasang bola matanya yang bergerak-gerak gelisah.

“Kau tidak perlu takut, aku bukan orang jahat.” Kataku.

“A-andwaeyo, jangan sentuh aku.”

Aku baru sadar saat itu, meski aku bukanlah seorang psikiater yang dapat mengetahui segala hal tentang mental seseorang. Yang kutahu dari Taemin adalah, dia terkena phobia…

_____________________

Haphephobia, Tia-ssi.” Dokter Soa membacakan hasil psikotest Taemin padaku, sesuai dugaanku. Hari ini aku dengan terpaksa membawa Taemin ke psikiater, tempat biasanya aku menjalani pengobatan untuk menghilangkan phobiaku yang semakin hari semakin akut ini.

Dia semakin sulit untukku tanyai mengenai tempat tinggalnya, karena semua identitasnya tak dapat kutemukan dimanapun. Yang dilakukannya hanya duduk menghadap jendela di kamarku melihat entah apa di luar sana dengan mata kosong.

“Dia mengalami depresi, kurasa akhir-akhir ini Taemin-ssi menerima banyak tekanan. Maka dari itu akan sulit untukmu berbicara dengannya. Lebih baik, kau dekati dia pelan-pelan berikan dia keyakinan dan ruang sebanyak-banyaknya untuk mengusir rasa was-wasnya.”

Kurasa, ini akan semakin panjang Melanie. Kami berdua sama-sama dalam keadaan yang sulit, aku yang phobia akan dirinya sebagai salah satu dari jutaan kaum adam, dan dia yang phobia pada sentuhan dalam segala bentuk yang akan semakin sulit karena batinnya yang tertekan. How life is always difficult.

_________________

Sepiring panekuk pisang kuletakkan di hadapan Taemin yang berwajah datar, dia menilik sedikit sebelum mengambil sepasang garpu dan sendok. Memakannya dengan perlahan. Beginilah kami, walau sekarang Taemin sudah bisa kudekati namun ia masih enggan untuk kuajak bicara.

Aku meninggalkan dia di meja makan, beralih duduk di sofa dan menyalakan televisi. Seriously, aku tidak bisa fokus pada apapun yang kupikirkan saat ini adalah Taemin dan Taemin. Sejak kapan hubungan kami yang kaku ini mampu membuatku memikirkannya sampai seperti ini?

Bukankah aku masih phobia pada lelaki? Tetapi, aku tidak merasakan apapun lagi pada Taemin. Tidak ada rasa takut, tidak ada tubuh yang mengejang, dan tidak ada peluh dingin karena berdekatan dengannya. Apakah aku sudah sembuh?

Rasanya seperti ada yang bergerak-gerak dalam pangkuanku, kutundukkan sedikit kepalaku dan kulihat Taemin yang tertidur di sana. Agak terkejut, tapi aku menikmatinya. Wajahnya seperti malaikat ketika tertidur seperti itu.

Tuhan, apakah dia lentera lain yang kau kirimkan untuk menerangi jalanku? Apakah dia malaikat lain yang kau tugaskan untuk menuntun kembali jalanku yang terlunta? Apakah dia orang yang kau takdirkan untuk membantuku keluar dari masa laluku?

Yang perasaanku katakan adalah, iya.

Namun aku tahu, ini tidak akan bertahan lama. Sama seperti kehadiran Melanie dan ibu yang hanya sementara.

______________________

Senyum itu kembali lagi Melanie, senyum Taemin. Dia memejamkan matanya sambil menghirup udara lambat-lambat. Setelah 3 bulan mendekam dalam rumah dan usaha kerasku untuk membuatnya dapat membuka diri, akhirnya aku bisa mengajaknya kembali menapaki dunia luar yang selama ini ia tinggalkan.

Ia terlihat menikmati setiap detiknya udara itu masuk ke dalam rongga paru-parunya, sementara aku duduk di bench menatapinya dengan kekehan kecil yang nyaris kulupakan bagaimana caranya.

“Bukankah ini indah?” tanyanya riang.

“Sangat indah..”

Taemin segera berlari dan duduk di sampingku, menyandarkan kepalanya di bahuku dengan tenang. “Komawo, Tia…”

“Untuk apa?”

“Segalanya. Hal yang sudah lama tidak kurasakan semenjak kepergian orang tuaku..”

“….” Hening, aku ingin menjadi pendengar yang baik untuknya.

“Mereka meninggal dalam kecelakaan saat aku berumur 7 tahun, sejak itu keluarga ahjussiku yang seorang penjilat mengambil alih seluruh hartaku dan menggunakanku sebagai boneka mereka. Belum lagi perlakuan tak adil dari chingudeulku, mereka mem-bully-ku habis-habisan. Itulah yang menyebabkan aku menjadi seorang ‘junkie’ aku depresi dan hanya barang haram itu yang mampu menenangkanku, ahjussiku yang mengetahuinya memasukkanku ke pusat rehabilitasi,” aku dengar desahan nafasnya yang tidak beraturan mencoba meredakan tangisnya.

“Dalam pusat rehabilitasi, orang-orang biadab itu memukuliku juga. Mereka memaksaku melakukan apa yang mereka mau, ketakutan yang selama ini kupendam ternyata menjadi phobia yang berkelanjutan. Setahun setelah aku keluar dari pusat rehabilitasi, ahjussiku kembali memasukkan aku ke sekolah yang sama dan mereka kembali membullyku seperti dulu, ahjussiku ingin aku—“

Aku tahu, dia sama sakitnya sepertiku. Namun, aku tak tahu kenapa tiba-tiba aku mencium bibirnya, membuatnya diam seribu bahasa begitupun aku.

Dengan perlahan kulepaskan tautan bibir kami, melihat wajahnya dengan mataku yang entah sejak kapan sudah berair. “Cukup Taemin, aku tahu bagaimana perasaanmu. Aku dapat merasakannya, karena aku sama sepertimu. Tersakiti. Di sini,” aku menunjuk dadaku dimana hatiku berada.

Seakan mengerti apa yang aku rasakan, dia memberikanku pelukan hangat yang dalam. Pelukan yang sama seperti pelukan Melanie dan ibuku yang bagaimana wajahnya aku tak tahu.

“Saranghae, Tia-ya.”

Aku melepas pelukannya, menatap penuh arti mempertanyakan keseriusannya.

“Jeongmal Saranghae, yeongweonhi.”

Siapapun yang memulai, kami kembali bertemu dalam ciuman penuh kehangatan. Semoga ini pertanda baik Melanie. Karena aku tidak mau kehilangan lagi.

___________________

Hidupku seperti spidol sekarang, berwarna-warni karena kehadiran seorang lelaki yang tanpa sengaja kutemui sesudah pemakaman Melanie. Taemin, kekasihku. Aku memang tidak pernah mau membalas pernyataan cintanya tiap kali kata ‘saranghae’ keluar dari mulutnya.

Karena aku takut, jikalau kata cinta itu adalah yang terakhir terlewat dari bibirnya. Aku tahu aku egois, namun hanya sekali ini saja biarkan aku dapat merasakan cinta yang sempurna tuhan. Jangan kembali ambil yang telah kau beri padaku, sebentar saja dia di sampingku sampai jantungku tak mampu berdetak lagi.

Dan yang kulakukan inilah yang membuktikan semua keegoisanku, satu hal yang kutahu bahwa saat ini keluarga kandung Taemin satu-satunya—kakaknya Taemin, telah mengambil alih kembali perusahaan keluarga Lee yang dulu pernah di ambil oleh paman Taemin. Pemuda itu sedang mencari Taemin sekarang, sementara aku tidak pernah membiarkan Taemin tahu.

Maafkan aku Taemin, bila nanti kau tahu semua kenyataan ini. Aku rela kau benci, karena aku memang pantas untuk kau benci.

“Tia-ya!” aku sadar dari lamunanku karena suara lembutnya.

Taemin menatapku dengan seulas senyum manis yang setiap pagi selalu ditujukannya padaku, “N-ne?”

“Kenapa dari tadi melamun?”

“Ani, aku hanya sedang memikirkan sesuatu.”

“Mwoya?”

“Bukan hal penting, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan?” usulku.

“Eoddiga?”

“Kemana saja Taemin-ah, asal bersamamu..”

Yeah, kemana saja Taemin asal tanganmu tak pernah melepaskan genggamanku.

_____________________

Aku tertawa geli memandang ekspresi Taemin, saat kami berdua mampir di sebuah photobox dekat theater. Wajah imutnya di sini benar-benar lucu. “Ya! Taemin-ah, lain kali kita foto lagi, ya?” tanyaku menyikut lengannya yang berjalan di sampingku.

“Shireo, aku sebal padamu habis dari tadi tertawa terus.”

“Hahaha, aigoo-ya! Kenapa namjachinguku jadi sentimentil begini?”

“Aissh, kau ini!”

Setelahnya aku kembali fokus pada foto-foto itu, sampai tidak sengaja salah satunya terlepas dari tanganku, terbawa angin hingga jatuh ke tengah jalan.

Itu foto yang kusuka, tanpa memandang kanan-kiri jalan dengan nekatnya aku menyebrang. Sampai tak tahu sebuah mobil hitam dengan cepat melaju hendak menyambar tubuhku.

“TIAAAAA~! AWAS~~!!!!!!”

[BRAAAAAKKKK]

[DUAAAAAK]

“TAEMIN-AH~!!!”

Hal itu begitu cepat terjadi, Taemin tiba-tiba mendorongku ke tepi menggantikanku sebagai korban yang seharusnya ditabrak oleh mobil hitam itu. Aku segera menghampiri tubuhnya yang tergolek tak berdaya di aspal yang dingin. Memangku kepalanya sambil berteriak-teriak meminta para pejalan kaki yang berada di sana untuk memanggil ambulans, kumohon Taemin! Bertahanlah, ambulansnya akan datang.

______________________

Keadaannya begitu buruk dari jendela tempat aku melihatnya di ruang ICU. Selang-selang dan kabel-kabel yang entah untuk apa bersarang di tubuhnya, membuat diriku menggigil hebat.

Seharusnya aku yang di sana, bukan Taemin. Seharusnya aku yang merasa sakitnya bukan Taemin. Dia terlalu baik untuk menanggung semua ini Tuhan, kumohon jangan ambil dia. Masih ada orang yang membutuhkannya di dunia ini.

Rasa bersalah, semua itu menghimpit dadaku yang sudah terasa sesak. Makin sakit paru-paru ini untuk sejenak mengambil nafas. Akulah yang menyebabkan semua ini terjadi, ini semua karena keegoisanku.

Kalau aku tidak menahan Taemin untuk tetap ada di sisiku, dia masih sehat sekarang. Senyuman itu pasti masih terulas manis di bibirnya.

Mungkin aku harus mengakhiri segalanya sekarang..

Mengakhiri yang seharusnya tidak pernah terjadi di antara kami.

___________________

Kau tahu Melanie, aku berada di depan rumah Taemin sekarang. Rumah putih nan besar bagai istana di negri dongeng para putri. Dengan yakin, aku melangkah masuk setelah sebelumnya seorang pelayan menyuruhku mengikutinya.

Ia menyuruhku menunggu di sebuah ruangan yang kukira adalah ruang tamu. Saat itulah, seorang lelaki tampan bermata sipit dan pipi yang terlihat berisi menghampiriku sambil berdeham. “Annyeong Lee Jinki imnida, ada keperluan apa anda datang ke rumahku?” tanyanya. Bahkan dia sama seperti Taemin, tutur katanya halus dan sopan.

“Mianhamnida, aku tidak bisa memperkenalkan diriku. Aku hanya ingin member tahu anda tentang Taemin. Saat ini, dia..”

Aku menceritakan semua padanya, bagaimana keadaan Taemin sekarang. Seperti yang kubayangkan sebelumnya, ekspresi shok itu jelas terlihat di wajahnya. Walau jadi begini, setidaknya aku menceritakannya. Kini Taemin, bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.

_____________________

Hari ini, adalah hari terakhirku di Seoul Melanie. Maaf, tidak bisa terus menemanimu di sini sampai akhir sesuai yang kukatakan dahulu. Aku harus pergi, meninggalkan semuanya.

Terlalu banyak kenangan tentang Taemin, kau dan ibu di sini. Begitupun kenangan pahit lainnya yang ingin aku lupakan. Aku tahu, kepergianku mungkin terkesan tak beralasan. Tapi, inilah yang terbaik.

Aku akan pulang ke kampung halamanku di daegu. Di sana ada rumah nenek, aku ingin tinggal di sana walaupun kenyataannya aku sudah sebatang kara sekarang. Memulai hidup yang baru sebagai orang normal, aku sangat berterima kasih pada Taemin yang sudah menyembuhkan phobiaku.

Apa aku harus mencari pria pengganti Taemin, Melanie?

Aku tidak akan bisa mendapatkan penggantinya, karena memang tidak ingin. He’s my last and forever love.

Kau tahu, terakhir yang kudengar. Taemin sudah sadar namun, ingatannya menghilang. Artinya, Taemin sudah sukses melupakanku. Dan ini semakin mudah bagiku untuk meninggalkannya tanpa harus membuatnya terluka.

Sekarang aku berdiri di depan kamar rawatnya, kuberanikan diri mengetuk pintunya perlahan. “Masuk!” aku tahu itu suara Taemin, sudah sebulan ini aku merindukan suara itu.

“Annyeong.” Sapaku padanya.

Ekspresi bingungnya jelas menyakiti hatiku, itu berarti pertanda bahwa ingatannya memang hilang. Tapi, bukankah itu baik untuknya. Masa lalunya yang kelam tidak perlu ia ingat lagi, walau itu berartipun kenangan kami berdua harus terhapuskan juga.

“Nugusaeyo?”

Entah kapan, sebuah telaga bening sudah terbentuk memenuhi pelupuk mataku, dan sepersekian detik berikutnya tumpah menjadi sungai-sungai kecil di pipiku.

Aku tidak tahan lagi, akhirnya kakiku berlari menujunya. Memeluk dirinya yang telah membuatku resah selama sebulan ini.

“Ya! Agassi, kau siapa?”

“Mianhae, mianhae, mianhae Taemin.”

Aku terisak keras dalam pelukannya, belum lagi ketika tangannya melingkari pinggangku dan membalas memelukku. Rasanya ingin waktu berhenti, tapi tidak bisa. Ini harus segera ku akhiri atau nantinya akan semakin sulit untuk aku pergi darinya.

“Mianhamnida, sudah memelukmu sembarangan. Aku ke sini hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Dan lekas sembuh, Taemin..-ssi. Annyeong higaseyo.” Sebelum Taemin dapat menjawab, aku segera berlari membawa backpack-ku.

Masuk ke dalam taksi yang membawaku ke stasiun.

Ini memang tindakan paling pengecut, tapi hanya ini yang bisa kulakukan.

Maafkan aku Taemin…

Maaf jadinya seperti ini..

Thanks for everything you had been showing to me…

                Life isn’t always cruel..it can be beautiful too..

                Maybe we can met again…but with the beautiful way…

                Goodbye….

                                                       ____________________

Author’s POV

Lelaki itu menangis dalam diamnya. Lipatan-lipatan pada kertas itu semakin menjadi saat tangannya dengan kuat meremasnya.

Sesal dan sesak. Taemin tak kuasa membendung teriakannya, ia memanggil nama Tia dan meraung keras.

Setelah 4 tahun hilang ingatan, akhirnya Taemin mampu mengingat lagi semua masa lalunya beserta Tia, cintanya yang ikut terlupakan. Saat ingin menemuinya, apartemen milik Tia sudah dihuni oleh orang lain.

Mereka bilang Tia menghilang, dan tak ada yang tahu kemana. Pemuda itu mencari kesana-kemari. Namun, ketika sedikit lagi akan bertemu sebuah kenyataan kembali menghantam hati Taemin dengan telak.

Tia sudah tidak ada lagi, gadis itu telah lama meninggal karena penyakit Liver kronis yang dideritanya selama 2 tahun terakhir. Dan yang tertinggal, hanya agenda kecil dalam rumah mungilnya.

Pemuda itu berdiri dari duduknya, berlari ke areal pemakaman yang tidak terlalu jauh dari rumah Tia. Begitu sampai, matanya mencari-cari dengan tidak tenang sebuah nisan.

Ketika menemukan apa yang dicarinya, Taemin menghampiri makam itu. Memandang kosong pada tulisan yang terpahat di atasnya. Lalu ambruk, dan kembali menangis.

“Mianhae, mianhae,mianhae, mianhae, MIANHAE~!  Aku baru bisa melihatmu sekarang Tia, dan kau bahkan sudah meninggalkanku kini. Waeyo? Kenapa tidak menunggu sampai datang Tia? WAEYO~?”

“Sudahlah Taemin, relakan Tia pergi!” Jinki membantu Taemin untuk berdiri. Ia menepuk-nepuk bahu adiknya itu pelan. Turut sedih, harapan adiknya selama ini untuk menemukan gadis yang dicintainya pupus.

Setelah tangisnya reda, Taemin mendongak ke langit. Memandang awan ang berarak-arak pergi menuju ke barat sesuai tuntunan sang angin.

‘Aku selalu mencintaimu Tia, saranghae…yeongweonhi..’

_______________________

                Aku tahu, kisahku tidak sebahagia orang lain..

              Dan itulah yang membuatku sadar, bahwa tindakanku yang lari adalah suatu kesalahan..

              Tapi, aku tak pernah menyesal dengan keputusanku…

             Karena aku tahu..ada keajaiban di setiap kehidupan, sesederhana apapun itu..

           I hope, your story never have ending like me..

          Kejarlah apa yang kau inginkan, jangan takut pada penghalang apapun..percaya Tuhan dan orang-orang yang mencintaimu akan selalu berada di sampingmu…

             “aku Tia Hwang, 19 tahun…

              Hidupku penuh lika-liku, namun akhirnya aku dapat menemukan cintaku..Lee Taemin..

              Walau akhirnya kami harus terpisahkan..setidaknya kami pernah ada di dunia ini dan mencatat sebuah kisah indah semasa kuhidup..

               Kuharap kalian bisa menggapai kebahagiaan kalian…”

                                                                                FIN

N.B: ahh, akhirnya selesai juga hehehe.. maaf ya kalau ff aku begitu jelek dan gaje selama ini. sekali lagi maklumlah, dhinta Cuma manusia biasa yang tak luput dari dosa*lho??*. sekiranya mohon maaf buat readersku tercinta, dan bila kesannya ff ini ada yang merasa gak suka mianhe…silahkan ngomong sama saya toh, gak usah ditahan ntar malah jadi penyakit.  Maaf juga kalau bahasa inggrisku masih belepotan ya, sayakan bukan orang bule hehehe Oke..sekian dan mohon KOMENNYA, menerima berbagai macam keluhan, curhat, dsb hehehe.. SEE YOU ON THE NEXT FANFICTION..

 

 

32 responses to “How Life Is

  1. Arghhhh, sedih sekaleee…
    Hiks hiks Tia, kamu begitu cepat menigalkan semuanya, kasihan tidak bisa merasakan cnta Taemin lagi sebelum meninggal. Jadi berasa hidupnya tuh penuh dengan kesengsaraan.
    Kata-katanya aku suka deh, keep writing ya ^_^

Leave a comment