Eternity [Part 1]

Title : Eternity

Author : ditjao 

Cast :

  • Kim Taerin [OC]
  • Oh Sehun [EXO-K]
  • Xi Luhan [EXO-M]
  • Kai / Kim Jongin [EXO-K]
  • Suho / Kim Joonmyun [EXO-K]
  • Kim Hyeri [OC]
  • Shin Eunjin [OC]

Rating : Teenager *yang merasa ABG boleh baca*

Genre : Romance, Angst (akhirnyaa jadi juga dibikin angst wkwk), Family

Length : Series

Disclaimer : Semua cast-nya milik Tuhan. EXO juga milik SM. Meski jauh di dalam lubuk hati, sesungguhnya saya juga sangat ingin memiliki mereka semua *disiram air raksa*

Note : Okay, pasti semuanya udah pada gemes pengen ngomelin ditjao-___- FF yang sebelumnya aja belum tamat udah berani ngepost FF baru! *dilempar buku soal snmptn* Sungguh, terbitnya ff ini murni bukan atas kehendak saya, melainkan otak saya yang sudah sepenuhnya tercemari oleh EXO! D’: /duagh *kata readers: apaan sih banyak bacot banget ni anak-__-* Oh ya, ff ini spesial saya dedikasikan buat salah satu teman sekelas saya, Rismaya Tika Andini, salah satu rival saya dalam mendapatkan hati Sehun /kemudian dilempar jojodog/. Dan khusus buat ff ini, plis banget ya tolong kalian bayangin sosok Luhan dalam balutan busana dokter. Niscaya kegantengan dan keunyuan doi akan semakin bertambah ( ื▿ ืʃƪ)♥ Happy reading semua =)

p.s: dialog yang bercetak miring itu tandanya flashback ya =D

Buat yang ngebatin alias kesel karena kelamaan nunggu ff unfinished ditjao yang sebelumnya, boleh mampir ke sini 😀

*********

Oppa, jangan lari terlalu cepat, oppa!” seorang gadis kecil berlari menyusuri jalanan perumahan padat yang tak terlalu lebar dengan tergesa-gesa. Ia meniti jalanan yang sedikit menanjak itu dengan kaki mungilnya, berlari-lari kecil, dengan raut wajah yang kelelahan. Namun semburat gembira yang menghiasi wajah bulatnya seolah berhasil menyamarkan segalanya. Matanya yang bulat, pipi yang sedikit berisi, khas balita-balita berusia di bawah lima tahun pada umumnya membuatnya semakin terlihat menggemaskan.

Masih dengan semangat yang tak tergoyahkan, gadis kecil itu berlari, berusaha menemukan sosok yang sedari tadi dipanggilnya dengan sebutan ‘oppa’.

Oppa! Oppa di mana??” gadis itu berseru dengan nafas terengah. Sejenak ia menghentikan langkahnya, lalu menepi pada salah satu dinding tembok salah satu rumah untuk sekedar menarik napas. 

Bulir-bulir peluh mulai terlihat membasahi wajahnya. Namun itu semua tak serta merta mengurungkan niatnya untuk terus mencari. Ditelisiknya pemandangan yang ada di sekelilingnya lewat kedua sudut matanya. Dan akhirnya… bingo! Ia menemukannya! Sosok yang sudah berhasil membuatnya terjebak dalam rasa lelah.

Oppa!” gadis itu berseru riang, berusaha memanggil sesosok namja yang usianya diperkirakan tak jauh lebih tua darinya sedang berdiri di seberang jalan, tak kurang 10 meter dari tempatnya berpijak.

Oppa! Kemari! Aku lelah! Ayo kita pulang!” gadis itu berseru lagi.

Tak ada respon. Sosok namja yang dipanggilnya ‘oppa’ itu hanya menatap kosong ke arahnya tanpa ada niatan sedikit pun untuk bergerak.

Ish… nappeun!” gadis kecil itu menggembungkan pipinya dan mulai kembali meneriaki sosok tersebut.

Geurae! Aku mau pulang duluan, ya! Dasar oppa nakal! Huh!” gadis kecil itu bersiap berbalik dengan kedua tangannya yang terlipat di dada. Namun, suatu hal yang tak terduga sontak mengurungkan niatnya. Dari arah kirinya, melaju cepat sebuah truk yang dalam hitungan detik bisa saja menghantam tubuh sang ‘oppa’-nya sewaktu-waktu. Gadis kecil itu terlihat panik, berusaha memberi isyarat kepada sang oppa untuk segera menghindar.

Oppa! Oppa!” seru gadis itu kalang kabut.

Hening. Sang oppa masih berdiri kokoh di tempatnya berpijak. Seakan tak peduli bahwa truk tersebut bisa saja menghabisi nyawanya jika ia tak cepat-cepat menghindar.

Oppa! Oppa!! Awas!!” seru gadis itu lagi.

Usahanya membuahkan hasil, oppa-nya mulai memberikan respon. Namun bukan sebuah respon yang diharapkannya, melainkan tindakan yang membuat gadis kecil itu mematung dengan mata terbelalak.

Sayup-sayup dapat didengarnya suara lirih oppa-nya tersebut dengan tangan kanannya yang terangkat di udara disertai dengan seulas senyuman tipis. Seolah ingin mengucapkan salam perpisahan kepada gadis kecil itu.

Taerin-ah, annyeong…

Tidak, tidak! Bukan ini yang ia harapkan! Kenapa oppa-nya itu tak mau berpindah?? Ia bisa mati!

Oppa!!” gadis itu berseru lebih kencang dengan buliran bening yang tahu-tahu sudah bertengger di kedua pelupuk matanya kini. Cairan bening itu semakin mengalir deras manakala mendapati benda besar beroda empat itu semakin terlampau dekat dengan jarak dari tempat oppa-nya berdiri.

Tidak boleh, oppa tidak boleh mati!

Gadis itu kemudian menutup kedua matanya. Tak ingin membayangkan kejadian menyeramkan seperti apa yang akan menimpa oppa-nya itu dalam kurun waktu hitungan detik. Hingga akhirnya, momok menakutkan itu benar-benar terjadi. Suara teriakan histeris yang terdengar bersamaan dengan sebuah hantaman keras.

OPPAAA!!!

CIIIT…

BRAAAK!!!

Terlambat. Semuanya telah berubah menjadi berwarna merah. Bahkan ketika gadis itu sudah tak sanggup lagi untuk membuka mata dan mencerna situasi apa yang sedang dialaminya saat ini. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit luar biasa yang tiba-tiba hinggap dan menjalar di sekujur tubuhnya, sebelum akhirnya… semuanya benar-benar berubah menjadi gelap…

######

“OPPAAA!!!”

“YAAA!!!”

Suara bising yang tercipta pada pagi hari itu mengusik konsentrasi seorang yeoja yang sedang asyik melapisi lembaran roti dalam genggamannya dengan selai strawberry. Tak mau ambil pusing, ia pun hanya tersenyum sekilas sembari mengendikkan bahunya sambil kemudian mendongak ke atas, ke arah lantai dua yang terdapat dalam bangunan rumahnya.

“Joonmyun oppa! Taerin-ah! Sarapan sudah siap!” serunya dari lantai bawah.

Sementara sosok namja dan sosok yeoja yang masing-masing namanya baru dipanggil tersebut masih asyik berkutat di dalam kamar. Dengan sang yeoja yang masih berbalut piyama berwarna pink bercorak motif teddy bear, malah menciptakan penampilan yang kontras dengan sosok namja yang kini berada di hadapannya yang sudah berbalut rapi mengenakan kemeja berdasi tak lupa disertai dengan jas hitamnya. Busana kebanyakan orang jika akan bepergian ke kantor.

“YA! Oppa kenapa, sih?! Pagi-pagi sudah teriak-teriak! Oppa merusak tidur nyenyakku, tahu! Huh!” omel yeoja itu gusar.

“Babo! Kau sendiri yang teriak-teriak duluan hingga membuatku panik! Kau tidak sadar ya, kalau tadi saat tidur kau mengigau sambil berteriak, oppa! Oppa!” balas sang namja dengan ekspresi kesal.

“Hah? Masa iya? Aku? Seorang Kim Taerin, mengigau? Tidak salah?” yeoja itu mengerutkan dahi.

“Mau mengelak, huh? Aish, sudahlah! Sekarang, lekas bangun lalu mandi dan bergegas sarapan! Kau tidak ingin pagi ini terlambat lagi pergi ke sekolah, kan?”

“Terlambat? Aniya… Oppa yang terlalu berdandan kepagian! Sekarang kan masih jam tu… JUH?!” yeoja itu terbelalak dan langsung terlihat uring-uringan di atas ranjangnya. “Eottokhae? Eottokhae?? Pagi ini aku ada piket! Huaaa…. mati aku!!”

“Huh… apa kubilang…,” namja itu langsung berujar dengan nada mencibir.

“Joonmyun oppa! Taerin-ah! Apa aku sudah bilang kalau sarapannya sudah siap dari setengah jam yang lalu??” seruan dari lantai bawah tiba-tiba terdengar kembali.

“Ah, neee.. Hyeri-yaa!”

“Ne onnie! Chakanmanyo!!”

**~***~**

“Ppali-wa, aku antar kau sampai ke kelas!” Joonmyun cepat-cepat membukakan pintu mobilnya untuk Taerin sembari menuntun adik bungsunya itu untuk berjalan keluar ketika mobil mereka telah sampai di pelataran parkir sekolah.

“Aish… shirheo! Aku bisa sendiri, oppa!” Taerin mengelak sembari buru-buru menepis bantuan yang hendak diberikan oleh Joonmyun kepadanya.

“Babo! Kalau kau terjatuh bagaimana?” tanya Joonmyun cemas.

“Oppa yang babo! Sudah tahu aku memakai crutch ini selama bertahun-tahun tapi masih saja suka mengkhawatirkanku! Hehe…,” Taerin terkekeh.

“Jinjja… kau ini benar-benar tidak mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang kakak, Taerin-ah!” ujar Joonmyun gemas.

Taerin hanya tersenyum kecil sembari memamerkan kedua lesung pipitnya, ciri khasnya ketika yeoja tersebut sedang merasa salah tingkah.

“Aku duluan ke kelas ya, oppa. Annyeong!” Taerin buru-buru berbalik lalu pergi meninggalkan Joonmyun.

Sementara Joonmyun sendiri hanya bisa melihat kepergian adiknya itu dengan tatapan prihatin. Dilihatnya sosok Taerin yang kini tengah susah payah berjalan didampingi oleh dua buah crutch yang menopang tubuhnya di samping kanan kirinya. Sebenarnya ini bukan pemandangan yang baru bagi Joonmyun. Ini bahkan sudah tak asing lagi jauh semenjak dirinya masih duduk di bangku SMP, tepatnya ketika ia melihat Taerin dibawa ke rumah sakit dengan kondisi bersimbah darah saat 12 tahun yang lalu. Ketika musibah menyeramkan itu dengan cepat telah merenggut kaki kiri Taerin secara kejam. Bahkan di saat kondisi gadis itu masih belum mengerti betul, mengapa dokter harus mengamputasi sebelah kakinya di saat gadis seumurannya yang lain masih senang bermain atau berlari-lari dan berkejar-kejaran dengan riang gembira…

**~***~**

“Pagi,” Taerin menyeret langkahnya dengan hati-hati memasuki ruangan kelas.

Sepi. Kira-kira suasana itulah yang tergambar ketika gadis itu menginjakkan kakinya di kelas. Hanya ada seorang namja yang duduk di samping jendela yang tengah asyik membaca manga dan sepertinya ia pun belum sadar betul mengenai hadirnya sosok Taerin yang kini sudah muncul di ambang pintu masuk kelas.

“Jongin-ah, annyeong!” sapa Taerin dengan raut wajah gembira.

Kim Jongin, namja pemegang predikat siswa terpopuler di sekolahnya itu sontak langsung mendongakkan kepala untuk melihat asal suara yang memanggilnya. Ia kemudian tersenyum kecil mendapati sosok Taerin yang kini telah makin mendekat ke arahnya.

“Kau kebagian piket juga hari ini?” tanya Taerin.

“Begitulah,” jawab namja itu disertai dengan seulas senyum. “Kau tenang saja, semua sudut ruangan kelas sudah aku bersihkan,” lanjutnya lagi yang sukses membuat Taerin membulatkan matanya.

“Eh? Jinjja?” tanyanya terkaget-kaget.

“Tentu.” untuk yang kesekian kalinya Jongin tersenyum dan untuk yang kesekian kalinya pula selalu ada dentuman aneh yang terdengar bergemuruh di dalam diri Taerin tiap kali yeoja itu melihat guratan berbentuk lengkungan bak bulan tsabit tersebut.

“Ah iya, kebetulan sekali. Ada yang ingin kukatakan. Khusus untuk hari ini, errr… tidak. Bahkan untuk hari-hari selanjutnya, aku harap kau mau duduk di bangku ini, Taerin-ah. Otte?” Jongin beranjak, kemudian menunjuk salah satu bangku yang berada di belakang bangkunya sembari menggeser kursinya ke belakang supaya Taerin bisa leluasa untuk duduk.

“Di sini,” ucap Jongin lagi seraya menepuk-nepuk kursi yang akan diberikannya kepada Taerin.

“Eh? Tapi bangkuku kan—“

“Jebal, Taerin-ah. Aku ingin duduk di dekatmu. Boleh, kan?” Jongin memasang wajah penuh harap. Kalau sudah begini bukan hanya Taerin saja yang akan luluh, bahkan mungkin bisa dipastikan seluruh siswi penghuni sekolah akan terenyuh oleh ekspresinya ini.

“Errr… baiklah. Tapi itu kan, bangku… Sehun. Apa tidak apa-apa?” tanya Taerin ragu.

“Biar nanti aku yang bicara padanya.” ujar Jongin mantap.

“Uhm… geureom.”

Tak punya banyak pilihan, akhirnya Taerin pun duduk di kursi yang telah disediakan Jongin dan menaruh tasnya di atas meja kemudian menaruh kedua crutch-nya di samping.

Ia lalu bersiap mengeluarkan alat tulisnya dari dalam tas. Namun keinginannya itu segera terhalang karena tiba-tiba saja wajah Jongin telah mendekat ke wajahnya. Bahkan Taerin dapat merasakan dengan jelas bagaimana poni mereka saling bersentuhan ketika wajah Jongin itu telah terlampau semakin dekat ke arahnya.

“Huwaaa!”

Terlalu kaget, Taerin buru-buru menjauhkan wajahnya dari wajah Jongin. Ekspresi wajahnya masih terlihat sangat terkejut sementara namja itu hanya terkekeh usai melihat reaksinya.

“Kenapa ekspresimu terlihat kaget begitu, Taerin-ah?”

“Aku shock. Baru kali ini aku melihat wajah seorang namja dari dekat,” jawab Taerin tanpa pikir panjang.

Mendengar pengakuan Taerin yang kelewat polos itu sontak kembali membuat Jongin tertawa. Tak berapa lama kemudian, masih dengan senyuman jenaka namja itu kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Taerin. Sementara gadis tersebut hanya bisa terlihat gugup.

“Apa yang tadi terlalu dekat, huh?”

Taerin tak mampu menjawab karena tiba-tiba kini wajah Jongin telah semakin mendekat. Bahkan terlalu dekat karena ujung hidung mereka sudah saling bersentuhan. Taerin langsung membatu. Terlalu gugup, gadis itu hanya bisa memejamkan matanya panik. Ya, terlalu panik mendapati tubuhnya yang kini tiba-tiba tak bisa digerakkan karena rasa gugup yang terlebih.

Hanya tinggal beberapa inchi lagi sebelum apa yang ditakutkan oleh Taerin benar-benar menjadi kenyataan. Hingga akhirnya…

“Ehem!”

Suara berdehem yang sengaja dikeraskan itu sontak langsung membuat keduanya saling menjauhkan diri. Jongin terlihat salah tingkah, sementara Taerin bahkan harus mengatur napasnya berkali-kali agar tak terlihat terlalu gugup.

Keduanya–Jongin dan Taerin–langsung menoleh ke samping, mendapati sesosok namja yang tahu-tahu sudah berdiri di samping bangku sedang menghadap ke arah mereka dengan ekspresi dingin.

“Oh, Sehun-ah annyeong!” sapa Jongin, terdengar agak kaku.

Sementara namja yang dipanggil dengan nama itu Sehun itu sepertinya tak menghiraukan sapaan Jongin dan malah terus-menerus menatap ke arah Taerin hingga membuat objek yang sedang merasa diperhatikan itu menjadi salah tingkah.

“Errr…, annyeong,” sapa Taerin tak kalah canggung.

“Bangkuku.” ucap Sehun datar.

“Eh?”

“Menyingkir dari bangkuku. Aku mau duduk.” ulang Sehun lagi.

“Ah, mianhaeyo!” Taerin yang baru tersadar cepar-cepat berusaha bangkit sembari mengambil kedua crutch-nya. Namun aksinya itu cepat-cepat dihalang oleh Jongin yang langsung memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali.

“Aku menyesal tidak meminta izinmu terlebih dahulu, Sehun. Tapi sekarang, bangku ini milik Taerin.” ujar Jongin.

“Mwo?” tanya Sehun dengan nada suara yang terdengar heran, kontras dengan ekspresi wajahnya yang tetap terlihat datar.

“Aku mohon, relakan bangku ini untuk Taerin, ya. Mulai hari ini, kau bisa duduk di bangku Taerin yang ada di belakang. Karena aku sangat ingin duduk di dekatnya. Jebal..”

Taerin hanya bisa menahan geli melihat jurus memohon Jongin yang kini tengah dilancarkannya kepada Sehun. Baiklah, itu mungkin salah satu jurus terampuh yang bia dilakukannya untuk menaklukkan hati wanita. Tapi untuk Sehun? Errr… entahlah, Taerin sendiri tak begitu yakin.

“Terserahlah!” Sehun mendengus, kemudian segera berbalik meninggalkan keduanya menuju bangku yang ada di belakang. Ia kelihatannya tak begitu ikhlas karena bangku yang sudah ditempatinya hampir satu tahun itu kini malah dimonopoli oleh orang lain dengan seenaknya.

Taerin lantas memandang ke arahnya dengan tatapan bersalah. Namun, itu semua tak berlangsung lama ketika suara ceria milik Jongin kembali memanggil namanya.

“Taerin-ah!”

“N…ne?”

“Sudah belajar untuk tes Kimia hari ini?”

“Uhm… yah…”

“Bagus! Mohon bantuannya, ya!” ujar Jongin disertai dengan senyuman yang bisa membuat wanita manapun langsung meleleh begitu melihatnya. Namun kali ini tidak bagi Taerin. Yeoja itu hanya mendelik sekilas dengan tatapan tak suka. Sial, pikirnya. Harusnya ia sudah tahu dari awal kalau Jongin memintanya untuk pindah hanya karena ingin memanfaatkannya. Gadis itu lantas mengangguk lemah, mengiyakan permintaan Jongin meski dengan perasaan setengah tak rela.

Sementara Jongin sibuk mengekspresikan rasa sukacitanya, Taerin hanya bisa mencuri-curi pandang sekilas ke arah Sehun dengan tatapan miris. Rasanya perasaan bersalahnya pada namja itu makin menumpuk manakala ia tahu misi Jongin yang sebenarnya saat memindahkan bangkunya kemari. Ia berusaha memanggil Sehun dengan memberi isyarat pada namja itu lewat tatapan matanya tanpa sepengetahuan Jongin, bermaksud untuk meminta bantuan. Namun percuma, namja yang dikenal dengan perangainya yang tak banyak bicara itu sudah terhanyut dalam menghapal tabel periodiknya. Taerin hanya bisa mengepal-ngepalkan tangannya kesal, berharap kalau saja ia punya kemampuan telepati untuk mengajak Sehun berkomunikasi tanpa perlu mengeluarkan suara.

Sehun-ah, ayo bertukar tempat duduk lagi TT~TT

**~***~**

Sesosok namja yang terbalut dalam jas berwarna putih itu terlihat sedang antusias memeriksa daftar laporan rekam medis di ruang kerjanya. Sesekali ia membubuhkan coretan tanda tangannya pada beberapa lembaran kertas putih tersebut. Namun tak berapa lama, pintu ruangannya diketuk yang mau tak mau membuyarkan konsentrasinya itu untuk beberapa waktu.

“Masuk,” perintahnya.

“Chogiyo, Dokter Xi,” seorang yeoja dalam balutan seragam perawat itu masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi takut-takut.

“Eunjin-ssi, apa saya belum mengatakan bahwa selama satu jam ini saya tak ingin diganggu kecuali ada pasien dengan keperluan yang betul-betul mendesak?” tanya namja itu tajam.

“Jwosonghamnida, tapi ada seseorang yang betul-betul ingin bertemu dengan dokter,” ucap perawat itu masih dengan ekspresi tak enak.

“Nuguseyo?”

“Nona Kim.”

Ekspresi dingin milik namja tersebut dengan cepat berganti dengan ekspresi cerah. Seolah lupa dengan rasa kesalnya tadi, ia langsung menampilkan seulas senyuman lebar ke arah sang perawat yang sempat dianggapnya sebagai pengganggu tersebut.

“Suruh dia masuk.”

“Algeseumnida.” perawat itu mengangguk patuh, kemudian bergegas keluar dari ruangannya.

Masih dengan senyuman yang menghiasi wajahnya, namja itu kembali berkutat dengan berkas laporan rekam medis yang sempat menyita waktunya beberapa jam terakhir ini. Meski bisa dikatakan raut wajahnya sekarang telah berubah tak terlalu seserius tadi.

“Luhan.”

Namja itu kontan mendongakkan kepala, mendapati sosok seorang yeoja yang masuk ke dalam ruangannya dengan senyum berseri-seri.

Sepintas senyumnya tadi sempat memudar, namun dengan cepat ekspresinya itu berganti kembali dengan ekspresi cerah. Ya, meski hanya sebuah kamuflase yang ia ciptakan dengan perasaan tak terlalu tulus.

“Hyeri..”

“Kau sedang sibuk, ya?” tanya yeoja itu sembari berjalan mendekat ke arah mejanya.

“Seperti kelihatannya,” Luhan terkekeh, namun di saat yang bersamaan ekspresi wajahnya bisa dikatakan seperti sedang meringis.

“Sudah kuduga,” yeoja itu tersenyum simpul, kemudian menaruh bingkisan yang terbungkus dalam sebuah kantung plastik berwarna putih ke atas meja kerja Luhan. “Kesukaanmu, bulgogi.”

“Aigoo… padahal kau tak usah-usah repot, chagiya. Aku bisa makan di luar tanpa kau harus membawakan makanan untukku seperti ini.”

“Bohong,” yeoja itu menatap tajam ke arah Luhan. “Kalau aku tidak mengantarkannya seperti ini, mana mungkin kau akan ingat tentang makan? Lihat saja tubuhmu! Apa nanti yang harus kukatakan pada teman-temanku begitu melihat calon suamiku ini berat badannya semakin berkurang dari hari ke hari, huh?”

“Arra, mianhae. Aku akan memakannya setelah tugasku ini selesai. Eo?” ujar Luhan sembari terseyum.

“Bagaimana kalau kau tetap bekerja dan aku yang menyuapimu?” tawar yeoja itu.

“Aigoo… aku bukan anak kecil lagi, Hyeri-ya!” Luhan terkekeh.

“Tapi nafsu makan seorang anak kecil bahkan jauh lebih baik ketimbang dirimu, Luhan.” ujar Hyeri lagi.

Luhan hanya tertawa pelan. Tak sampai beberapa detik, lagi-lagi konsentrasinya hanya tertuju pada lembaran berkas yang sedari tadi berada di hadapannya. Ketika sedang asyik membaca laporan-laporan tersebut, tiba-tiba dirasakannya sebuah sentuhan hangat yang melingkar di lehernya. Hyeri memeluknya dari belakang, tangannya bergerak melewati leher Luhan sambil kemudian menaruh dagunya di atas bahu namja itu. Sementara Luhan hanya tersenyum menerima perlakuan manja dari kekasihnya tersebut.

“Wae?” tanya Luhan sembari tertawa kecil.

“Kau terlalu sibuk,” jawab Hyeri pelan.

“Uhm.” Namja itu hanya tersenyum, kemudian kembali berkutat dengan berkas-berkas laporannya dengan kedua tangan Hyeri yang masih melingkar di lehernya.

“Aku takut kau sakit,” kata Hyeri lagi yang sukses membuat Luhan mengalihkan konsentrasinya dari kumpulan berkasnya kemudian beralih menatap Hyeri.

I’m strong enough, honey. Don’t be afraid too much.

“Jangan mentang-mentang kau dokter malah jadi berlagak sok kuat!” cibir Hyeri kesal.

Lagi-lagi Luhan tertawa kecil. Ia kemudian menyingkirkan kedua lengan Hyeri yang masih melingkar di lehernya dan segera beranjak dari posisinya untuk berdiri. Kali ini gantian dirinya yang memeluk Hyeri dari arah depan. Dilingkarkannya kedua lengannya itu melewati pinggang Hyeri sambil mendekapnya erat.

“Kau terlalu banyak khawatir, Hyeri.”

“Memangnya ada yang salah dengan hal itu? Aku kan hanya mengkhawatirkan kondisimu. Akhir-akhir ini kau selalu terlihat sibuk. Bagaimana kalau kesehatanmu menurun?”

“Aku bahkan tidak berani jatuh sakit karena kekasihku saja cerewetnya sudah minta ampun seperti ini,” Luhan tertawa.

“Aish… Luhan!” Hyeri berdecak kesal, sambil berusaha melepaskan pelukan yang masih diberikan Luhan kepadanya.

“Ukh… lepaskan!” Hyeri mengomel lagi mendapati Luhan yang tak mau melepaskan dekapannya.

“Shirheo!” tandas Luhan singkat.

“Baboya! Kalau ada pasien yang masuk ke sini bagaimana??” tanya Hyeri panik.

“Aku sudah menyuruh Eunjin agar tak sembarangan menerima pasien. Biarkan seperti ini dulu sebentar, ne?” Luhan berbisik di telinga Hyeri sambil mengeratkan pelukannya. Sementara Hyeri tak bisa berbuat banyak selain menyandarkan kepalanya di bahu namja yang sangat disayanginya itu. Ternyata tenaganya tak cukup kuat untuk melepaskan kedua tangan Luhan yang kini sudah hinggap di punggungnya.

“Baiklah, lima menit! Hanya lima menit! Setelah kau puas memelukku, berjanjilah untuk segera menghabiskan makan malam yang sudah kubuatkan!” sahut Hyeri ketus.

“Hmm? Baiklah. Deal!” Luhan terkekeh.

Namun, belum sempat ada sepuluh detik setelah Luhan mengucapkan kalimat itu, mendadak pintu ruangan kerjanya terbuka secara tiba-tiba yang membuat keduanya sedikit tersentak dan menoleh ke arah pintu.

“Huwaaa! Aku tidak lihat! Aku tidak lihat!” sosok pembuka pintu itu refleks memalingkan wajahnya ke belakang begitu melihat kedua insan yang sedang berpelukan tersebut.

Luhan dan Hyeri langsung cepat-cepat melepaskan pelukannya masing-masing. Raut wajah mereka terlihat begitu salah tingkah.

“Taerin?” ucap Hyeri gugup.

“Mianheyo! Aku tidak bermaksud untuk menggangu atau mengintip kalian berdua! Baiklah, kalau begitu biar aku tunggu di luar saja! Oh iya, silakan dilanjutkan! Annyeong onnie, oppa!” Taerin buru-buru menutup kembali pintu ruangan kerja Luhan dengan ekspresi yang sama-sama terlihat salah tingkah.

“Eo, Taerin-ah, chakanman!” seru Luhan.

Aish, kenapa aku bisa lupa kalau jam segini Taerin ada jadwal kontrol?’ gerutunya dalam hati.

“Taerin-ah!” Hyeri cepat-cepat menyusul Taerin yang masih berdiri di ambang pintu.

“Masuk saja!” ujar Hyeri lagi.

“Aigoo onnie… mianhae! Aku pasti mengganggu kalian, ya?” tanya Taerin dengan volume suaranya yang dikecilkan.

“Mengganggu apa? Kau ada jadwal kontrol malam ini, kan? Ppali, masuklah. Luhan sudah menunggumu di dalam. Kajja!” ajak Hyeri.

“Eu… tapi—“

“Hyeri benar. Ayo, masuk saja!” tiba-tiba sosok Luhan menyembul dari balik pintu disertai dengan senyuman hangatnya.

“Tapi, oppa… apa kalian sudah selesai—“

“Taerin-ah!” Hyeri spontan mencubit lengan Taerin dengan wajah merah padam yang langsung sukses membuat adik bungsunya itu mengaduh kesakitan.

“Aish… onnie, apo!” Taerin meringis.

“Hahaha… kajja! Ada yang ingin kutunjukkan pada kalian berdua!” Luhan pun menuntun kedua orang itu masuk ke dalam ruangannya.

Sementara Hyeri dan Taerin duduk menunggu di kursi yang ada dalam ruangannya tersebut, Luhan beranjak menuju meja kerjanya untuk mengambil sesuatu yang akan ia perlihatkan kepada dua yeoja itu.

“Ah, igeo!” seru Luhan senang. Ia lantas menunjukkan benda yang telah didapatnya itu kepada Taerin dan Hyeri.

“I…itu…,” gumam Hyeri sedikit terkejut.

“…kaki palsu!” seru Taerin tercengang.

“Ne. Untukmu,” ujar Luhan sembari tersenyum.

“O…oppa… tapi—“

“Aku tak mau menerima komentar apapun sebelum kau mencobanya,” Luhan buru-buru memotong ucapan Taerin sembari berjalan mendekat ke arahnya. “Nah, sekarang biar aku pasangkan ini pada kaki kirimu. Otte?” tanya Luhan sambil menaikkan sebelah alisnya, menunggu jawaban dari Taerin.

“Uhm…,” Taerin melirik sekilas ke arah Hyeri yang sedang tersenyum kepadanya. Seakan telah mendapat persetujuan, Taerin langsung mengangguk, mengiyakan permintaan Luhan tadi. “Ne…,” jawabnya pelan.

Luhan tersenyum simpul. Tak sampai 15 menit waktu yang dibutuhkannya hingga kaki palsu itu dapat melekat pas secara sempurna di bagian kaki kiri Taerin. Namja itu tersenyum puas sambil kemudian berjalan ke arah pintu masuk ruangannya.

“Well, sekarang mari kita lihat sampai sejauh mana benda ini dapat berfungsi. Taerin-ah, coba berdiri.” ujar Luhan.

“Eh?”

Taerin menatap ragu ke arah Hyeri. Namun senyuman yang diberikan Hyeri kepadanya seolah menguatkan dirinya. Yeoja itu lantas mengangguk dan mulai beranjak dari kursinya secara perlahan-lahan tanpa bantuan kedua crutch yang selama ini selalu menopang tubuhnya.

“Errr…,” Taerin sebisa mungkin menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri. Meski beberapa detik sebelumnya, tubuhnya sempat limbung karena belum terlalu bisa menyesuaikan diri dengan kaki palsu yang saat ini sedang ia kenakan.

“Bagaimana?” tanya Luhan.

“Uhm… rasanya sedikit… sakit. Mungkin karena aku belum terlalu terbiasa, oppa.”

“Geuraeyo? Hmm…, kalau begitu, sekarang coba kau melangkah pelan-pelan menuju ke arahku.” Luhan memberikan intruksi lagi.

“Eh?” Taerin refleks membulatkan matanya, lagi-lagi terlihat terkejut.

“Waeyo?” tanya Luhan heran.

“A… aku… aku tidak yakin aku bisa berjalan, oppa,” Taerin menggeleng lemah.

“Kau merasa tidak yakin bahkan sebelum kau benar-benar mencoba untuk melakukannya? Oh ayolah, ini bukan sosok Kim Taerin yang biasanya kukenal. Iya kan, Hyeri?” Luhan menoleh ke arah Hyeri, meminta tanggapan dari kekasihnya tersebut.

“Ne!” Hyeri langsung mengangguk mantap. “Cobalah, Taerin. Aku yakin kau bisa melakukannya.” ujar yeoja itu lagi.

“Ta… tapi onnie, aku—“

“Pelan-pelan, Taerin-ah. Aku yakin kau bisa melakukannya. Hanya tinggal gerakkan kedua kakimu perlahan-lahan untuk menghampiriku.” ujar Luhan lagi.

Taerin nampak tertegun. Sejurus kemudian matanya kembali melirik ke arah Hyeri. Yeoja itu masih senantiasa mengumbar senyum ke arahnya, berusaha untuk selalu memberi dukungan kepada adik perempuannya itu.

“Baiklah…,” Taerin menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Dipandanginya sosok Luhan yang kini sedang berdiri tak jauh dari hadapannya dengan tatapan penuh keyakinan dan semangat yang tak tergoyahkan.

“Ayo, Taerin-ah! Kau pasti bisa!” seru Hyeri dari belakang.

“Ne!” Taerin mengangguk mantap.

Perlahan, yeoja itu pun mulai menarik kakinya pelan-pelan ke arah depan. Berusaha menggerakkan kedua kakinya dengan susah payah menuju ke arah Luhan.

Sulit, pikir Taerin. Hampir 12 tahun lamanya menggunakan crutch, ternyata membuat yeoja itu lupa bagaimana caranya berjalan dengan dua kaki. Sempat keseimbangan tubuhnya mulai hilang hingga beberapa kali, yang mengakibatkan dirinya limbung dan hampir terjatuh ke lantai.

“Taerin-ah!”

Baru saja Hyeri hendak beranjak untuk menolong dirinya, Taerin buru-buru mengibaskan sebelah tangannya ke belakang. Pertanda bahwa ia tak membutuhkan bantuan dari siapapun dan merasa dapat berjalan dengan kedua kakinya sendiri.

“Gwenchanayo, onnie. Hanya tinggal sedikit lagi aku bisa menghampiri Luhan oppa. Aku bisa melakukannya sendiri.” elak Taerin.

“Tapi—“

Kali ini giliran Hyeri yang dibuat tak yakin. Namun tatapan yang diberikan Luhan kepadanya berhasil membuatnya terdiam. Namja itu seolah mengisyaratkan bahwa tak akan ada hal buruk yang terjadi dan Taerin akan bisa berhasil menghampirinya sedikit lagi.

“Sedikit… lagi…,” Taerin mengerahkan tenaganya dengan susah payah. Hanya tinggal beberapa senti lagi hingga dirinya akan sampai tepat ke hadapan Luhan.

“Kau pasti bisa, Taerin-ah..,” Luhan merentangkan kedua tangannya ke arah Taerin. Layaknya seorang ibu yang siap menyambut anaknya ketika sedang belajar berjalan.

“Uhm!” Taerin menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Masih dengan susah payah, yeoja itu berusaha menyeret langkahnya ke hadapan Luhan. Meski terlihat lelah, ada rasa gigih yang terus terpancar dari wajahnya. Dan itulah yang membuat Luhan begitu yakin bahwa Taerin akan bisa berjalan dengan bantuan kaki palsunya kelak.

“O…oppa…,” Taerin berusaha menggapai tangan Luhan yang terus terulur ke arahnya.

“Sedikit lagi, Taerin-ah! Ayo!” Luhan terus memberikan arahan.

“Uhm…”

Sedikit lagi. Hanya tinggal sedikit lagi Taerin dapat meraih tangan Luhan. Hingga akhirnya…

BRUK!

Tubuh Taerin langsung ambruk di hadapan Luhan. Untung saja namja itu dapat dengan sigap menangkap tubuh Taerin sebelum dirinya benar-benar terjatuh ke lantai.

Taerin mencengkeram jas yang dikenakan Luhan erat-erat. Raut wajahnya menunjukkan rasa tak percaya. Akibat terlalu senang mendapati dirinya yang ternyata bisa berhasil berjalan dengan bantuan kaki palsunya.

“O…oppa…,” Taerin mendongakkan kepalanya ke atas, menghadap wajah Luhan. Sekarang jarak di antara wajah mereka hanya terpisahkan oleh beberapa inchi akibat posisi Taerin–yang masih seperti–sedang berada dalam pelukan Luhan.

“…aku, aku… bisa berjalan.” ujar yeoja itu takjub.

Sementara Luhan hanya bisa tertegun menatap wajah Taerin yang kini terlampau dekat dengan wajahnya. Ada perasaan aneh yang hinggap pada dirinya begitu melihat dua manik kecoklatan milik Taerin. Dan rasa itu semakin bertambah manakala sebulir cairan bening mulai terlihat menggenang di sana.

“Gomawo… Luhan oppa… jeongmal…, jeongmal gomawoyo…”

Isakan lirih dari Taerin itu berhasil membuat Luhan tersadar dari lamunannya. Ia lantas segera membalas ucapan terima kasih Taerin yang baru didengarnya itu dengan sebuah senyuman tulus.

“Cheonmaneyo…, Taerin-ah..”

-TBC-

Fyi, namja yang ada di mimpi Taerin itu bukan Suho ya 😀

Oh ya, ini ada bacotan spesial buat temen saya. Hey temanku, mayagaul. Nih aku baik kan? Baik kan? Tuh aku udah restuin Maya sama Sehun. Yah, meskipun di sini part-nya Sehun masih nyempil-nyempil dikit bak upil u,u Asalnya ff ini mau dibikin oneshot, cuma ternyata kepanjangan. Akhirnya aku putuskan buat jadi series. Nyahahahaha… wayahna nya May, kelanjutan ff ini jigana bakal rada lama huahahahaha /dilempar.

Dan thanks buat Wulan sama Nenda yang namanya saya pinjam juga meski tanpa seizin dari sang empunya untuk ff ini, muehehe. Special thanks buat Dinar yang juga udah melatarbelakangi terbitnya ff ini 😀 Ide cerita di fanfic ini saya dapat dari cerpen yang dibuat oleh beliau(?) yang waktu itu ia buat untuk memenuhi tugas akhir dari mata pelajaran Bahasa Indonesia. Namun naas, cerpennya raib entah ke mana setelah dikumpulkan ke meja guru yang bersangkutan. Akhirnya mau tak mau doi pun bikin lagi cerpen yang baru dalam waktu hanya kurang dari tiga jam. Memprihatinkan sekali nasibnya. Wkwkwk *prihatin tapi malah ketawa*

Last, yang udah baca komen ya. Meski part di awal-awal ini memang masih terkesan garing, membingungkan, ngalor ngidul tak tentu arah, ayolah gak ada salahnya buat ngasih saran, kritik, dan yang lainnya, kan? Asal jangan bashing aja :^)

Yang jadi good reader niscaya jadi orang kece, yang jadi silent reader pasti jauh dari kata kece! *disembur nuklir*

READ + COMMENT = DIDOAIN DAPET PAHALA + DIDOAIN MASUK SURGA

READ + COMMENT + LIKE = DIDOAIN DAPET PAHALA + DIDOAIN MASUK SURGA + DIDOAIN BERJODOH DENGAN BIAS MASING-MASING

DON’T FORGET TO COMMENT :D AND NO COPYCAT PLEASE :D

119 responses to “Eternity [Part 1]

  1. masih bingung sama alurnya wkwk. lanjuuut chap selanjutnya. Thor kok chap 11 gak dilanjut lagi? 😦

  2. suka baca post ‘ditjao’ eonnie tapi belom baru baca ini gara2 liat chat readers lain, tapi kayanya belum tamat ya? di blog eon juga belom
    baru baca part 1 sih, tapi berharap juga dilanjutin…
    chayo, eon!!!

  3. ditjao-sshi, aku udh 2 kali baca ffmu, aku suka banget, kapan selesainya???????
    Gue cinta ama alur ceritanya…
    Ditjao-sshi, cepetan selesain, eh iya. Udah sekitar tahun 2012 apa gue baca ya epep ini, kok belon slese… Ditjao-sshi, gue reader baru, banyak bacot, minta di bacok, pacarnya bacon*lha*
    salam kenal, peluk cium xoxo

  4. keren author-nim, oh ya sebenernya ini udh kali ke-2 aku baca ff ini. Tapi, udh sekitar 1 tahun lalu. Hehehe… Mian aku jadi sider, sekarang kenalin meili imnida, salam kenal, anggap ajah reader baru. Cepet dilanjut, ya author-nim, chapter 12… Ciao…

Leave a comment