Story Of My Love [Chapter 1 : First Met]

Ini bukan ff ditjao, melainkan ff titipan dari salah seorang teman. Harap memberikan apresiasi berupa komentar setelah membaca ya, terima kasih sebelumnya.

Previous :

Prolog

cover-soml

Story Of My Love

— Chapter 1 —

| Author: happyeol |

|| Cast: Kim Soyun, Xi Luhan, Byun Baekhyun, Oh Sehun, and EXO Members || Genre:  Romance, School Life, Family ||  Length: Series || Disclaimer: Cerita awalnya terinspirasi dari sebuah manga yang berjudul Kitchen No Ohimesama. Bedanya, disini ga ada adegan masak-memasak. Dan alur cerita murni dari hasil imajinasi kami ☺||

© HappYeol’s

***

Lagipula aku memang tidak berharap kau menyukaiku.”

Kenapa begitu?

Karena aku menyukai orang lain, dari dulu.”

___

Kim Seori dan Kim Jungsoo.

Terbaring dalam damai, tepat dua hari lalu. Setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang padanya, sesuatu yang tidak ingin ia percayai barang sedikitpun, sampai hari ini.

Gadis kecil itu menatap nanar kedua batu putih dengan ukiran nama kedua orangtuanya sebagai penghias. Berbuket-buket bunga mawar putih dan kuning menjamur di sekitar kedua batu itu; ungkapan duka dan kasih sayang dari beberapa kerabat ayah dan ibunya.

Tatapannya tidak pernah ia lepaskan, terus menatap ke tempat pembaringan terakhir kedua orangtuanya dengan mata berkaca-kaca. Sekuat mungkin gadis kecil itu menahan perasaannya, menahan air matanya, menahan tetesannya agar tidak terjatuh. Agar ia tidak menangis tersedu.

Agar ia tidak tampak menyedihkan.

Gadis kecil itu jatuh terduduk. Kedua kaki kecilnya tidak lagi kuat menopang berat tubuhnya. Akibatnya, gaun putih yang ia kenakan beradu dengan beceknya lumpur, mengotori gaun putih bersihnya itu dengan bercak-bercak kecokelatan.

Hening yang menaungi dirinya begitu sarat arti. Itu adalah saat angin serasa berhembus dengan lamban, awan bergeser dengan teramat pelan, dan anak-anak rambutnya yang lolos dari ikatan terbang mengikuti semilir angin. Beberapa burung berlalu lalang tanpa suara, kemudian hinggap di pohon dan menatapnya, seolah tergoda untuk menyaksikan.

Menyaksikan seberapa menyangsikannya keadaan gadis kecil itu saat ini.

Setetes air mata mengalir turun. Detik berikutnya setetes air mata itu berubah menjadi aliran sungai kecil yang tidak tertahankan, tidak mampu lagi ia bendung.

Menembus benteng yang ia bangun, pada akhirnya gadis itu menangis.

Tangisannya pilu, tanpa raungan yang berarti; hanya isakan-isakan kecil yang begitu menyayat hati. Menyalurkan perasaannya yang terluka karena rasa kehilangan yang teramat sangat.

Ia kehilangan dua orang terkasihnya, menyisakan dirinya sendiri.

.

Gadis kecil itu tersesat di sebuah daerah ramai. Air mata masih meluncur turun tanpa bisa ia hentikan. Tubuhnya menggigil dalam naungan hujan deras sore itu, di awal bulan November, tanpa seorang pun memperhatikan. Terabaikan dari perhatian manusia-manusia yang berjalan angkuh di sekitarnya.

Ketika ia hampir pingsan karena kedinginan dan putus asa, sesosok malaikat kecil menghampirinya. Malaikat kecil itu meraih tangannya, membagi hangat tubuhnya, dan menariknya lembut menuju ke bawah pohon untuk melindungi diri mereka dari derasnya hujan.

Kenapa menangis? pertanyaan itulah yang malaikat kecil itu lontarkan begitu manik mata keduanya bertemu. Pertanyaan singkat yang hanya dibalas dengan gelengan kepala yang sama singkatnya oleh gadis itu. Bila diartikan dengan kata-kata, maka jawaban gadis itu adalah: Tidak tahu.

Malaikat kecil itu tersenyum. Kalau begitu jangan menangis, ujarnya dengan lembut, ibu bilang perempuan itu jelek saat menangis. Senyum manis malaikat kecil itu berubah menjadi sebuah cengiran lucu. Kamu mau aku mengataimu jelek? goda malaikat kecil itu sambil tertawa sekilas.

Sang gadis menatap malaikatnya itu dengan alis berkerut samar. Tidak, kata ibu aku cantik. balas gadis itu dengan segala kepolosan yang ia miliki.

Malaikat kecil itu tertawa, menertawakan kepolosan sang gadis yang dengan percaya diri mengatakan kalau dirinya cantik. Kalau memang kau merasa dirimu cantik, jangan menangis lagi. Oke?

Gadis bergaun putihyang kini telah ternodai oleh lumpuritu terdiam lagi. Bukan perkara mudah yang ia tangisi. Kepergian kedua orangtuanya jelas bukan perkara mudah, itu pasti. Seandainya kedua orangtuanya hanya sedang pergi berlibur ke Rusia seperti yang biasa mereka lakukan ketika sedang mengajar atau mengikuti kompetisi, maka ia akan baik-baik saja, air matanya tidak akan setumpah ini.

Tapi kali ini berbeda. Kedua orang terkasihnya itu pergi, dan tidak akan kembali lagi.

Itu bukan hal yang bebas dari tangisan.

Kali ini gadis itu menggelengkan kepalanya lemah. Tidak bisa. Kau tidak mengerti keadaanku. ujar gadis itu dengan suaranya yang sama lemahnya, dan detik berikutnya gadis itu kembali menangis, ia terisak dengan pilu.

Malaikat kecil itu menatap iba pada sang gadis. Pada gadis yang tidak mengetahui apapun tentang dirinya. Ia mengerti dengan jelas keadaan gadis itu, meskipun tidak dikatakan, namun ia merasa dirinya mengerti perasaan gadis itu.

Seperti inilah dirinya tepat setahun yang lalu. Ketika dirinya menemukan fakta bahwa seseorang yang paling dikasihinya pergi meninggalkannya. Semua berkata kalau seseorang itu telah tiada, namun hati kecilnya menampik, ia tidak percaya.

Sebuah senyum tulus terulas manis di wajah tampan sang malaikat. Ia mengingat sesuatu.

Hei, jangan menangis lagi. pinta malaikat kecil itu, wajahnya terlihat memohon. Namun sepertinya gadis kecil itu tidak memperhatikannya, karena ia masih meneruskan tangisnya yang pilu.

Malaikat kecil itu menghembuskan nafasnya berat, tapi tak lama kemudian ia kembali tersenyum.

Begini saja, coba pejamkan matamu. ibu jarinya ia gunakan untuk mengusap wajah sang gadis, menghapus jejak air mata yang tertinggal disana. Coba bayangkan sesuatu yang indah. Padang rumput, taman bunga, atau apapun yang membuatmu merasa tenang

Langit senja dan daun yang berguguran, dua hal itu adalah kesukaanku. sela gadis itu cepat, suaranya parau, akibat menangis tanpa henti. Saat ini pun air mata masih mengalir dari kedua matanya.

Ah, itu juga boleh. Sekarang, pejamkan matamu.

Gadis kecil itu menurut, ia memejamkan matanya.

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang lembut dan hangat mengecup kedua kelopak matanya yang tertutup. Lembut, dan menenangkan. Tidak ada suara yang terdengar selain suara detak jantungnya yang kini terasa berantakan, tidak teratur. Pacuannya yang terasa lebih cepat membuat seluruh tubuhnya terasa menggelitik, seolah kupu-kupu sedang berterbangan bebas di dalam dirinya. Perasaan yang unik.

Ketika kehangatan itu menjauh, sang gadis memberanikan diri membuka matanya kembali. Wajahnya kini merona, semburat kemerahan menghiasi kedua pipinya yang sempat pucat akibat kedinginan.

Tangisannya berhenti.

Perasaan sedih akan kehilangan kini berganti menjadi perasaan tidak menentu yang gadis kecil itu rasakan. Apakah ini cinta? Tapi kata ibu cinta hanya untuk orang dewasa. Lalu ini apa namanya? tanya gadis kecil itu dalam hati.

Manik mata hazel milik sang gadis menatap lurus pada manik cokelat tua malaikatnya. Malaikat kecil itu sedang tersenyum padanya, manis. Sudah merasa lebih tenang?

Gadis kecil itu menganggukkan kepalanya, rona kemerahan masih menghiasi kedua pipinya yang pucat, membuat gadis itu tampak menggemaskan.

Ibuku bilang, seperti itu cara membuat seseorang berhenti menangis. Ternyata ibu benar, ujarnya sembari tertawa kecil. Menampilkan gigi-gigi kecilnya yang rapi.

Tiba-tiba malaikat kecil itu melepaskan sesuatu yang menggantung dari lehernya. Ia mengamati sebentar benda itukalung dengan sebuah cincin sebagai pengganti liontinnyasebelum akhirnya mengalungkan benda itu pada leher si gadis.

Dua tahun lalu ibu memberi benda ini padaku, katanya aku harus menyimpannya dengan baik. Ibu memberiku sepasang. Malaikat kecil itu tersenyum manis kala melihat benda yang ia kalungkan menggantung dengan manis di leher gadis itu. Karena menunggu menjadi dewasa itu lama, dan aku tidak tau harus memberikan pasangannya pada siapa, jadi aku memberikannya padamu.

Malaikat kecil itu tersenyum lagi, Berjanjilah untuk tidak menangis lagi. Karena kau sudah memiliki benda itu, kau harus berjanji untuk tidak menangis. Sang malaikat menyodorkan jari kelingkingnya. Oke?

Gadis itu tersenyum lebar, ia menyambut jari kelingking malaikatnya dan mengaitkan dengan kelingking miliknya. Aku janji.

Bagus, puji malaikat kecil itu. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh. Hujan memang sudah mereda, dan gadis itu sudah berhenti menangis, jadi tidak ada alasan bagi dirinya untuk tinggal.

Gadis kecil itu mengejarnya dan meraih lengan jaket yang anak laki-laki itu gunakan. Tunggu, kamu mau kemana?tanya gadis itu polos, seolah meminta malaikatnya itu untuk tinggal.

Laki-laki itu tersenyum, Pulang. Kamu tidak pulang?

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya, ia tidak yakin kemana dirinya akan pulang setelah kepergian kedua orangtuanya. Dimana ia akan tinggal, siapa yang akan mengasuhnya, ia tidak tau.

Pulanglah, ujar laki-laki itu, seseorang pasti membutuhkanmu dirumah. Aku harus pulang, ibu dan ayahku sudah menunggu. lanjutnya, masih dengan senyuman yang tidak pernah hilang dari wajah tampannya.

Tapi gadis itu menghentikan kalimatnya. Ia menatap manik mata cokelat tua milik malaikatnya dalam. apakah kita akan bertemu lagi?

Pertanyaan itu dibalas dengan sebuah cengiran lebar dan sebuah kata yang akan gadis itu ingat sepanjang hidupnya. Sesuatu yang selalu menjadi harapannya.

Pasti. jawab laki-laki itu tepat sebelum dirinya menghilang.

.

.

.

Bohong.

Ternyata harapan hanyalah sebuah harapan. Tidak semua harapan akan menjadi sebuah kenyataan walaupun orang itu telah berharap dengan sepenuh hatinya. Sejak hari itu, Sang Malaikat tidak pernah muncul lagi.

Karenanya, gadis itu harus merasakan kehilangan sekali lagi. Kali ini ia kehilangan seseorang yang ia sebut sebagai cinta pertama-nya.

Ya, cinta pertama.

___

Angin sepoi-sepoi menyapu wajah dengan lembut, terasa sejuk dan menyegarkan. Ya, musim di Ibukota Korea Selatan kini tengah berganti, dari panas menjadi gugur. Musim yang indah, dimana daun-daun menguning atau bahkan merubah warna mereka menjadi jingga dan berguguran. Pemandangan yang tentu saja membuat nyaman hati siapapun yang memandang.

Seorang laki-laki muda terlihat berjalan menyusuri pinggiran Sungai Han, sembari menenteng kamera yang setia menggantung apik di leher jenjangnya. Ia bukanlah seorang fotografer handal, hanya seorang amatir yang berbasis dari hobi. Demi menyenangkan hatinya.

Laki-laki itu tersenyum, dirinya tengah menikmati angin musim gugur. Kesukaannya.

Manik mata cokelat tua yang menghiasi wajah tampannya ia edarkan ke seluruh penjuru tempat tersebut. Kedua tangannya kini sibuk dengan kamera, menekan shutter dan membidik berbagai objek di sekelilingnya, objek yang menurutnya indah dan sayang apabila tidak diabadikan. Tak peduli objek itu langit senja dengan perpaduan warna merah dan jingga yang terlukis dengan anggunnya, pohon-pohon yang dedaunannya mulai berguguran di sepanjang jalan, dua ekor anak anjing menggemaskan yang tengah bermain, atau bahkan seorang gadis sekalipun.

Gadis? Ah, iya benar.

Selama beberapa detik matanya terpaku pada sesosok gadis yang tengah berdiri menantang angin, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Semilir angin menerbangkan rambut hitam kecoklatannya yang ia biarkan tergerai indah. Wajahnya yang cantik terlihat sedikit sendu, matanya menatap kosong ke arah Sungai Han yang airnya sedikit beriak akibat terpaan angin.

Mentari senja kian beranjak kembali ke peraduannya. Warna jingga kemerahan layaknya langit terbakar yang ditawarkan sang raja menjadi latar peromantis suasana.

Gadis cantik itu kini mengulas sebuah senyum di bibir mungilnya. Entah tersenyum pada siapa, atau pada apa. Wajahnya tampak begitu tulus.

Mata sang lelaki yang sedari tadi tidak melepaskan tatapannya pada gadis cantik itu, kini mengerjap beberapa kali. Terpesona.

“Cantik,” puji laki-laki itu setengah berbisik.

The golden object beneath The Golden Hour.” bisik laki-laki itu lagi, kini senyumnya mengembang dengan manis. Laki-laki itu berpikir, betapa indah panorama di hadapannya. Betapa ia ingin memotret gadis itu dan mengabadikan hasil potretnya supaya ia bisa selalu mengaguminya sebelum ia tidur, sebelum mimpinya.

Segera ia mengangkat kamera yang sedari tadi ia pegang dan mulai membidik ‘the golden object’-nya itu, mencari angle terbaik, lalu mulai menekan shutter kameranya.

Klik.

Laki-laki itu melebarkan senyumnya. Ia berhasil. Kedua maniknya bersinar bahagia, menatap bangga hasil bidikannya lewat layar LCD kamera yang ada di tangannya. Wajahnya menunjukkan kepuasan yang teramat sangat.

Wajahnya yang sempat tertunduk kini ia angkat kembali untuk menatap ‘the golden object’ pujaannya.

Namun, berbeda dengan detik sebelumnya, senyum lebar di wajah laki-laki itu kini memudar, seketika. Matanya yang tadi menunjukkan binar bahagia kini meredup. Wajahnya yang tadinya tampak puas kini justru terlihat penuh gurat kecewa. Dan aliran nafasnya sedikit terhambat.

Gadis itu hilang.

Laki-laki itu mencoba melepaskan diri dari rasa kagetnya dan segera mengedarkan pandangannya berkeliling, siapa tau ia masih sempat menemukan ‘the golden object’-nya itu di sisi lain sungai ini.

Namun nihil, gadis itu sudah tidak ada. Hilang tak berjejak.

Dengan kecewa, laki-laki itu menatap kembali hasil bidikannya. Membiarkan hatinya merasakan bahagia sekali lagi, membuang rasa kecewa yang ia rasakan saat ini. Dan benar saja, senyum kembali terkembang di wajahnya yang tampan.

“Harus kuberi nama apa foto ini?” tanyanya pada diri sendiri.

“Gadis cantik yang berdiri di tepi Sungai Han menjelang matahari terbenam?”

“Atau…”

My first love…?”

___

Cinta memang tak terduga. Semua serba tiba-tiba. Datang tiba-tiba, pergi tiba-tiba. Lalu, datang lagi, pergi lagi. Akankah cinta itu datang sekali lagi, tiba-tiba?

___

Pelajaran matematika di jam pertama selalu terasa membosankan. Masih benar-benar pagi, tapi hampir semua penghuni kelas XI-1 sudah terlihat mengantuk dan bosan. Tidak terkecuali Kim Soyun. Gadis itu kini termenung menatap langit luas yang ada diluar kelas lewat jendela di dekat bangkunya.

Serenade pagi masih berlangsung. Awan-awan putih berarakan dan matahari masih bersinar canggung, menghasilkan bias-bias cahaya yang tampak indah di sela dedaunan. Daun-daun itu sendiri tertiup semilir angin pagi, membuat diri mereka berayun pelan, menari indah. Burung-burung berkicau merdu, bersahut-sahutan, sembari meninggalkan sarangnya untuk berburu—mencari makan untuk keluarga kecilnya.

Sungguh, pemandangan yang menenangkan hati.

Soyun mengalihkan perhatiannya sesaat, memandang tanpa minat papan kaca di depan kelas dan pria tua yang berdiri di sampingnya. Pria tua itu membosankan. Cara mengajarnya yang kuno dan tidak bersemangat itu membuat para siswa enggan memberi perhatian serius padanya. Wataknya keras, namun ia tidak memiliki gairah mengajar yang baik. Dan sekarang, pria itu tengah menjelaskan materi yang sama sejak seminggu terakhir, kalkulus.

Oh ayolah, materi itu pantasnya untuk anak kuliahan, bukan murid kelas XI Sekolah Menengah Akhir.’ jerit Soyun dalam hati, ia jengah.

Otaknya sudah tidak sanggup mengolah perkataan sang pengajar dengan baik. Telinganya pun kini mulai mendengar bunyi-bunyian aneh yang tidak seharusnya. Apakah ia mulai gila? Tidak, jangan dulu, belum saatnya gadis itu gila.

Bukannya berlebihan, gadis itu hanya tidak terlalu menyukai matematika, terlebih lagi materi yang satu ini. Cukup aneh memang, gadis itu hampir tidak pernah mengeluh untuk semua mata pelajaran, kecuali matematika. Khusus untuk mata pelajaran ini, Soyun tidak bisa menjamin dirinya mendapatkan nilai tertinggi.

Tapi bagaimana pun juga, ia harus memperhatikan pelajaran itu dengan baik. Karena gadis itu harus mempertahankan prestasinya agar beasiswa yang diberikan padanya tidak dicabut.

Bletak.

Suara benda yang mengenai sesuatu dan diikuti bunyi “Aw”, membuat seisi kelas menoleh ke arah yang sama, membuat perhatian gadis itu teralih dari kegiatan ‘mengamati langit’-nya. Laki-laki itu, Byun Baekhyun, terlihat meringis kesakitan sambil memegangi dahinya yang terkena lemparan penghapus papan. Sepertinya ia tertidur dan ‘ketahuan’ oleh si tua itu.

Anak laki-laki itu tidak terima dengan perlakuan yang didapat dari si tua berjenggot, dan dengan entengnya dia mendebat pria tua tersebut dengan gayanya yang khas, dingin. Laki-laki itu, siapa yang tidak kenal Byun Baekhyun? Anak dari direktur sekolah yang tidak pernah absen tidur di kelas dan bolak-balik masuk ruang pembinaan. Anak laki-laki yang memiliki wajah tampan namun memiliki sifat yang dingin dan menyebalkan.

 “Byun Baekhyun! Kalau mau tidur, jangan di kelas ini!”

“Jadi anda mengusir saya?”

Belum sempat guru tua itu menjawab, Baekhyun sudah berdiri dari kursinya dan berjalan ke depan kelas. Laki-laki itu itu berjalan mendekati gurunya. Tiba-tiba ia menguap lebar-lebar tanpa menutup mulutnya—dengan telapak tangan—sedikitpun. Tepat di depan wajah sang guru. Tampak sekali kalau ia sengaja melakukan itu.

Kemudian ia sedikit membungkukkan badannya, seolah memberi hormat.

“Selamat pagi, Mr. Park, saya akan mencari tempat tidur yang lebih baik dari kelas anda.” Baekhyun memberikan smirk-nya yang terkesan penuh dengan hinaan itu, membuat guru yang dipanggil ‘Mr. Park’ tersebut terpaku di tempatnya karena tidak bisa membalas sikap kurang ajar muridnya yang satu itu.

Merasa berhasil membuat guru yang mengusirnya mati kutu, Baekhyun langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan santai ke arah pintu. Ia masih mempertahankan smirk kemenangannya itu sampai ia keluar dari kelas dan menghilang dari hadapan semua penghuni kelas XI-1.

Mr. Park menggeram kesal. Pria tua itu kesal karena pelajarannya lagi-lagi kacau karena murid yang sama setiap kalinya, Byun Baekhyun.

Seisi kelas sibuk berbisik dan berbicara, membuat suasana kelas yang tadinya tegang menjadi ramai. Riuh rendah yang berasal dari perbincangan para siswa membuat Mr. Park memandang putus asa ke arah seluruh siswanya, ia merasa dirinya harus mengalah lagi kali ini. Dengan enggan dan malu, pria tua itu membereskan bukunya dan berjalan keluar dari kelas tersebut tanpa mengatakan apa-apa.

Kim Soyun menatap kepergian guru matematika itu dengan tatapan iba.

“Lagi-lagi anak direktur itu membuat masalah, menyebalkan.”

Sebenarnya Soyun sedikit berterimakasih pada laki-laki bernama Baekhyun itu. Karenanya, Soyun tidak harus mengikuti kelas matematika yang menurutnya membosankan. Tapi tetap saja, gadis itu menyalahkan Baekhyun atas ke-kurang-ajaran-nya pada Mr. Park tadi. Tidakkah laki-laki itu merasa bersalah?

Gadis itu berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan kelas XI dengan ruang-ruang multifungsi seperti perpustakaan dan ruang serbaguna. Tangannya sibuk memasang earphone, sedangkan matanya sibuk menatap jalan kosong di depannya.

Langkah gadis itu gontai, sedikit tidak bersemangat. Memang ia terbebas dari pelajaran matematika yang tidak ia sukai, tapi sayangnya kebahagiaan itu hanya sesaat. Karena secara tiba-tiba kelasnya mendapat tugas dari guru bahasa untuk membaca sebuah sastra—novel atau apapun bebas—kemudian membuat rangkuman dan mencari bagian menariknya.

Sebenarnya itu merupakan tugas yang mudah bagi Soyun, tapi entah kenapa hari ini ia sedang tidak memiliki niat untuk membaca buku yang tebalnya lebih dari sepuluh halaman. Padahal biasanya ia selalu ditemani buku kemanapun.

Sesampainya di perpustakaan, gadis itu langsung melangkahkan kakinya menuju ke rak yang berisi karya sastra tebal, yang berisi novel dan sejenisnya. Ditelusurinya satu-persatu buku yang tersusun rapi disana. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah novel dengan judul “A Walk To Remember” karya Nicholas Sparks. Diambilnya novel tersebut dan diperhatikannya gambar yang dijadikan sebagai cover, jalanan tanpa ujung dengan daun yang berguguran di sepanjang jalannya. Musim gugur, kesukaannya. Buru-buru ia membaca sinopsisnya.

Sepertinya menarik,’ batin gadis itu dalam hati.

Setelah yakin dengan pilihan bukunya, dibawanya buku tersebut ke meja panjang berwarna cokelat yang memang disediakan untuk pengunjung, untuk membaca atau berdiskusi.

Gadis itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman. Namun tetap saja, pada akhirnya ia memilih tempat duduk kosong yang terletak di dekat jendela. Tempat favoritnya.

Setelah duduk dengan manis, gadis itu menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, memperhatikan sekitarnya. Ternyata tidak banyak manusia yang ia lihat disana. Hanya ada Mr. Noh dan segelintir siswa yang terlihat sibuk berkutat dengan setumpuk lembaran di hadapan mereka.

Satu lagi adalah seorang laki-laki yang duduk tepat di seberangnya. Entah siapapun laki-laki itu, tapi yang membuat Soyun bingung adalah bagaimana ia bisa dengan santainya tidur di perpustakaan? Bukankah berbahaya jika ketahuan Mr. Noh? Belum lagi laki-laki mendengkur. Yah, meskipun pelan, tapi tetap saja terdengar.

Soyun berusaha tidak menghiraukan laki-laki tersebut, lagipula gadis itu tidak bisa menegurnya. Wajah dan rambut laki-laki itu ditutupi oleh tudung jaket, jadi Soyun tidak bisa mengenalinya dengan baik—seandainya Soyun melihat pun, belum tentu ia hafal nama dan wajahnya. Sedangkan kalau Soyun mengintip, ia akan terlihat seperti orang yang suka ikut campur urusan orang lain. Serba salah memang.

Well, pada akhirnya, gadis itu memillih untuk tidak mempedulikannya.

Soyun membuka lembar pertama bukunya, mengagumi prolog yang disusun dengan untaian kalimat menyentuh. Lalu gadis itu melanjutkan ke lembar-lembar berikutnya.

Karena kebiasaannya membaca, gadis itu memiliki kecapatan membaca yang bisa dikatakan lumayan. Belum-belum ia sudah menghabiskan seperdelapan isi buku.

Saat Soyun hendak membuka lembar berikutnya, suara dengkuran orang yang duduk di seberangnya itu terdengar lagi. Soyun masih berusaha cuek dan melanjutkan bacaannya, tapi lama-kelamaan dengkuran itu ikut masuk ke dalam jeda kalimat yang dibaca oleh Soyun, membuat imajinasinya terganggu.

Merasa tidak dapat berkonsentrasi akibat suara dengkuran orang itu, Soyun buru-buru memasang earphone di telinganya dan memutar lagu kesukaannya, Goodbye Summer. Ia rasa itu akan cukup untuk meredam dengkuran orang yang tidak ber-perikemanusiaan tersebut. Meskipun sebenarnya, mendengarkan musik sambil membaca novel itu sama juga menghancurkan imajinasi pembaca. Tapi alasan utama gadis itu memasang earphone-nya adalah karena ia tidak tahan dengan dengkuran manusia yang duduk berseberangan dengannya itu.

 Soyun berusaha bertahan dan menikmati perpaduan antara lagu yang ia putar dengan isi buku yang ia baca.

.

Cukup. Soyun menutup bukunya sebentar dan melirik kesal laki-laki yang masih saja sibuk bermain di alam bawah sadarnya itu.

“Dasar menyebalkan.” cibir Soyun, gadis itu mulai tidak tahan.

Dengan wajah kesal, Soyun mengalihkan perhatiannya ke luar jendela. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat beberapa murid mulai meninggalkan kelas mereka dan berpencar mencari spot senyaman mungkin. Sepertinya sudah jam pergantian kelas.

Soyun melirik jam tangan yang biasa melingkar di pergelangan tangan kirinya, jam sepuluh. Gadis itu berusaha mengingat pelajaran setelah ini. Ternyata sejarah. Soyun memutar bola matanya sambil menghembuskan nafas berat. ‘Maaf Mr. Jung, aku bolos pelajaranmu hari ini,’ ucap Soyun dalam hati. Kemudian gadis itu kembali melanjutkan membaca novel yang ia pegang.

20 minutes later

Terdengar suara kursi yang berderit nyaring dari arah belakang. Spontan Soyun menolehkan kepalanya untuk memastikan apa yang terjadi. Ternyata Mr. Noh yang bertubuh gempal bangun dari singgasananya dan membuat kursinya yang berukuran relatif kecil itu bergeser ke belakang, menimbulkan suara deritan yang kurang enak didengar.

Pria bertubuh gempal itu keluar dari pintu koboi yang menjadi tempatnya keluar-masuk dari ruangannya yang sebesar dua kali dua meter tersebut. Pria gempal itu berjalan gontai ke arah pintu perpustakaan dan hendak keluar. Mungkin ia kelaparan, atau mungkin ia sedang ingin ke kamar kecil.

Soyun mengamati setiap gerakan yang dilakukan Mr. Noh sampai akhirnya pria itu menghilang di balik pintu, menyisakan pemandangan pintu kayu perpustakaan yang tertutup dan kosong.

Merasa tidak ada lagi yang perlu diamati, gadis berambut kepang itu kembali meluruskan tubuhnya dan menegakkan posisi duduknya, hal itu ia lakukan agar kegiatan membacanya terasa lebih nyaman.

Tapi, baru saja gadis itu menolehkan kepalanya kembali ke novel yang dibacanya, ia harus dikejutkan dengan penampakan seorang laki-laki dengan wajah dingin dan ekspresi datar yang menatapnya dengan…

“Kau—” seru laki-laki itu, ia menggantungkan kalimatnya. Wajahnya yang tanpa ekspresi terlihat menyebalkan di mata Soyun.

“Apa?” balas Soyun singkat. Nada bicara dan wajahnya ia usahakan sedatar mungkin, tanpa ekspresi yang berarti.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya laki-laki itu sambil menunjuk dengan jarinya, tidak sopan.

“Menurutmu?” Soyun balas bertanya sambil mengangkat buku ‘A Walk to Remember’ yang sejak tadi dibacanya. Wajah datar yang sengaja Soyun tampilkan terlihat seperti sedang menghina kebodohan laki-laki itu sekarang.

Laki-laki—yang di-cap bodoh oleh Soyun—itu terdiam. Matanya menyipit membaca judul novel yang dipegang Soyun sekarang.

“Ah novel itu, lanjutkan saja membaca. Kau akan menyukainya.” ujar laki-laki itu dengan ekspresi datar membingkai wajahnya yang terbilang cukup tampan. Kemudian suara berderit kembali terdengar, laki-laki dingin itu berdiri dari kursinya. Dengan langkah yang dibuat se-cool mungkin, ia melangkahkan kakinya pergi dan meninggalkan Soyun sendirian.

Soyun memutar kuncinya pada lubang kunci sebuah flat yang tergolong murah. Begitu pintunya terbuka, degan terburu gadis itu masuk dan mengunci kembali pintu yang menjadi tepat keluar masuk satu-satunya dari flat kecil tempat ia tinggal.

Luasnya yang kira-kira tidak lebih dari enam belas meter persegi itu hanya berisi barang-barang dengan harga yang murah. Seandainya mahal pun, Soyun pasti membelinya saat ada diskon besar-besaran.

Gadis itu tinggal sendirian di Seoul. Kedua orang tuanya telah lama tiada, jauh ketika ia masih duduk di bangku awal sekolah dasar, sekitar umur lima sampai enak tahun.

Soyun lahir dan besar di Busan. Setelah kedua orang tuanya pergi meninggalkan gadis itu sendirian, sanak saudaranya menitipkan gadis kecil tersebut di sebuah panti asuhan. Pemilik panti asuhan itu adalah Nenek Han, wanita tua yang menjadi teman baik nenek Soyun semasa nenek gadis itu hidup.

Nenek Han membesarkan Soyun dan kedelapan anak asuhnya dengan adil dan penuh kasih sayang. Soyun tidak pernah berpisah barang semeter pun dari nenek kedua-nya itu. Baru setelah Soyun menginjak bangku akhir sekolah menengah pertama, ia mengutarakan keinginannya untuk menuntut ilmu di Seoul, tempat yang dulu menjadi awal bertemunya kedua orang yang dikasihi dan sangat dirindukannya itu, ayah dan ibunya.

Nenek Han menyanggupi keinginan Soyun dan berusaha keras memperjuangkan pendidikan gadis itu agar cita-citanya tercapai. Dan akhirnya Soyun berhasil masuk ke salah satu sekolah bergengsi yang berada di pusat kota Seoul, meskipun lewat jalur beasiswa.

Soyun gadis yang rajin dan cerdas. Ia juga gadis yang gigih dan pantang menyerah. Selepas sekolah, gadis  itu berkerja part time di sebuah restaurant yang merangkap kedai kopi, Viva Polo—agar dirinya memiliki pegangan untuk melanjutkan hidup di kota besar layaknya Seoul. Ia tidak bisa terus menerus mengandalkan kiriman Nenek Han, ‘kan?

Kembali ke Soyun. Karena diburu waktu, hal pertama yang gadis itu lakukan begitu ia masuk ke dalam flat-nya adalah mandi dan mengganti bajunya dengan seragam tempatnya melakukan kerja part time. Lalu dengan terburu gadis itu beranjak keluar meninggalkan flat-nya.

Di depan pintu, seorang laki-laki berkulit seputih susu kini berdiri sembari melipat tangannya di depan dada.

“Apa kau berdandan dulu sehingga lama sekali?” tanya laki-laki itu dengan wajah kesal yang dibuat-buat. Soyun memicingkan matanya kepada laki-laki itu dan memberi pukulan keras pada lengannya.

“Tidak perlu berdandan pun aku sudah cantik, Oh sehun.” canda Soyun pada laki-laki yang dipanggilnya ‘Oh Sehun’ itu. Detik berikutnya, gelak tawa mereka terdengar menggema di koridor flat dengan cukup keras.

 Mereka kemudian berjalan beriringan dan sibuk bergurau sepanjang perjalanan mereka ke tempat kerja. Memulai pekerjaan berat yang menanti mereka berdua hingga malam semakin larut.

***

Pemandangan beberapa lelaki populer yang tengah bermain basket di tengah lapangan merupakan hal yang benar-benar tidak boleh dilewatkan para gadis—lebih tepatnya tidak ingin. Bagaimana tidak? Kumpulan siswa laki-laki—yang sudah dipastikan memiliki wajah tampan—itu sedang memamerkan skill mereka, mencoba menarik hati para gadis dengan setiap gerakan yang sengaja mereka lakukan dengan penuh gaya.

Tebar pesona.

Dua kata itu cukup untuk membuat para gadis berteriak kegirangan dan tidak lupa berebut untuk mengabadikan momen-momen penting lewat kamera ponsel mereka.

Laki-laki yang sedang memegang bola itu, namanya Xi Luhan. Xi Luhan adalah siswa tertampan—menurut para gadis—yang kini duduk di bangku kelas XII. Laki-laki itu selalu menduduki posisi juara umum setiap tahun di angkatannya. Luhan adalah pribadi yang nyaris sempurna, membuatnya menyandang julukan ‘Prince Charming’. Wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang tergolong cukup tinggi—meskipun masih kalah jauh dengan tinggi badan Kris yang menjadi kawan satu timnya saat ini—mampu menarik hati gadis manapun yang melihatnya, walau hanya sekilas.

Ia juga cerdas, ramah dan baik hati. Belum lagi matanya yang indah, bagian ini adalah bagian terpenting pada tubuh Luhan yang menjadi daya tarik utama laki-laki tampan itu. Siapapun yang menatap mata itu lebih dari lima detik akan tersedot dalam pesonanya dan tenggelam di dalamnya. Bisa dipastikan kalau itu gadis, maka gadis itu akan langsung menjadi salah satu fans Luhan. Menarik.

Ah, satu lagi. Luhan adalah kebanggaan ayahnya, sang direktur sekolah.

Jangan selalu berfikir kalau kakak dan adik harus memiliki sifat yang sama barang satu atau dua. Buktinya, kenyataan yang tergambar disini menunjukkan yang sebaliknya. Sifat Baekhyun berbeda 180 derajat dengan kakaknya.

Byun Baekhyun yang menyandang julukan ‘Pangeran Es’ atau bahasa lebih kerennya ‘Ice Prince’ itu memiliki postur yang tidak jauh berbeda dengan kakaknya, Luhan. Yang membedakan mereka adalah sifat dan kepribadiannya.

Baekhyun dengan sifatnya yang dingin dan cuek itu, selalu bertingkah sesuka hatinya. Laki-laki itu tidak pernah absen tidur di kelas, membolos saat pelajaran, dan seperti yang dikatakan di awal, laki-laki itu bolak-balik masuk ke ruang pembinaan karena sikapnya yang kurang ajar. Berkali-kali ayahnya menegur sikap buruk anaknya tersebut, namun tidak satupun nasihat yang benar-benar bersarang di kepalanya, semuanya masuk dari telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kiri, hilang begitu saja dan tak berbekas. Tentu saja hal ini membuat semua orang menyerah menghadapinya dan memilih untuk mengalah pada sifatnya yang terkesan egois itu.

Untuk tambahan, keduanya adalah dua dari beberapa anak terpopuler di sekolah mereka. Gadis manapun akan rela melakukan apapun yang mereka bisa demi menaklukkan hati keduanya. Baekhyun dengan sifatnya yang dingin, dan Luhan dengan sifat ramahnya, keduanya sama-sama terlihat berkarisma dan menarik, meski dengan pribadi yang berlawanan.

.

Kris mengoper bola pada Luhan yang sedang melambaikan tangannya dari bawah ring—memberi isyarat agar Kris mengoper bola padanya. Mungkin karena tenaga yang digunakan Kris terlalu besar, bola yang ia oper pada Luhan ternyata meleset. Luhan tidak berhasil menangkap operan yang ditujukan padanya dengan sempurna, membuat benda bulat itu lolos dan menggelinding seru ke pinggir lapangan.

“Lu, ambil bolanya! Dasar payah.” teriak Minseok dengan keras. Laki-laki bertubuh mungil itu berteriak sambil mencoba menghapus peluh yang membanjiri pelipisnya.

Luhan yang mendengar teriakan Minseok justru mendengus, “Hei pendek, enak saja kau mengataiku payah. Lihat tinggi badanmu itu, setengah dari Kris.” ejek Luhan sembari melenggang menuju bola yang masih menggelinding dengan seru menjauhinya.

Soyun merasakan kepalanya kini berdenyut-denyut tidak karuan. Pusing.

Gadis yang tengah berjalan menuju kelasnya itu kini berbelok haluan ke arah kiri, menuju ruangan dimana ia bisa memperoleh obat sakit kepala atau apapun itu yang mampu membuatnya merasa lebih baik.

Ruang UKS kosong. Ada sebuah tempat tidur berkelambu putih di pojok. Di sampingnya, berdiri sebuah meja kecil dan sebuah lemari kaca dengan berbagai macam obat-obatan yang ditata dengan rapi di dalamnya. Tidak yakin apa yang harus ia lakukan, ia mendudukkan dirinya pada sebuah kursi dan bersandar disana.

Tidak berapa lama seorang murid laki-laki dengan seragam basket yang melekat di tubuhnya masuk tanpa mengetuk pintu. Soyun dapat melihat pada lutut laki-laki itu terdapat sebuah bercak merah, yang diduganya adalah luka karena laki-laki itu terjatuh atau terantuk sesuatu saat bermain basket. Tidak terlalu parah memang, tapi setidaknya harus diobati.

Menyadari ada manusia lain selain dirinya di ruangan ini, laki-laki itu membuka suaranya lebih dulu, “Kau sakit apa?”

Soyun yang terduduk di kursi itu awalnya tidak begitu yakin dia yang sedang diajak bicara. Tetapi berhubung ia merasa di ruangan itu hanya ada mereka berdua, maka Soyun memberanikan diri membalas pertanyaan laki-laki itu.

“Hanya pusing.”

“Pusing?”

Soyun mengangguk pelan.

Laki-laki itu tersenyum manis pada Soyun, membuat gadis yang ditatapnya sedikit salah tingkah dan jantungnya mulai berdetak tidak karuan.

“Kalau begitu berbaringlah disitu, kau butuh istirahat,” ujarnya sembari menunjuk tempat tidur di bagian pojok ruangan UKS yang cukup besar itu dengan dagunya.

Gadis itu menggeleng pelan, “Tidak usah. Aku baik-baik saja, lagipula hanya pusing biasa.” tolak Soyun dengan memaksakan seulas senyum. Bohong. Tidak, ia tidak sedang baik-baik saja. Kepalanya malah terasa semakin sakit.

Laki-laki itu setengah memaksa Soyun untuk berbaring di sana, tidak menghiraukan tolakan bernada sungkan yang sudah beberapa kali dilontarkan sang gadis. Akhirnya Soyun berbaring diatas ranjang tersebut. Rasanya lebih baik.

Sementara laki-laki itu mengambil entah obat apa dari dalam lemari penyimpanan obat di sebelah ranjang Soyun. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan obat-obat yang dicarinya, laki-laki itu membalikkan tubuhnya seraya menyerahkan segelas air dan obat tablet pada Soyun.

“Minumlah. Itu akan membuatmu merasa lebih baik.”

Lalu laki-laki itu mengambil tempat duduk tidak jauh dari tempat Soyun berbaring dan mulai mengobati luka di lututnya dengan kapas dan obat yang diambilnya tadi. Tanpa sadar Soyun memperhatikan wajah laki-laki yang duduk menyampinginya itu. Sesekali ia mendapati wajah laki-laki itu meringis, mungkin menahan sakit saat obat-obat itu menyentuh lukanya.

“I…itu luka kenapa?” gadis itu memberanikan diri untuk membuka suara.

“Oh, ini? Hanya luka kecil, terjatuh saat bermain basket tadi. Sudah biasa.” jawabnya dengan senyum manis menghiasi bibirnya. Jenis senyuman yang Soyun sukai. Tampan.

Soyun menganggukkan kepalanya tanda mengerti, kemudian tangannya bergerak ke meja kecil di sampingnya, meraih segelas air putih dan obat yang diberikan laki-laki itu tadi. Gadis itu segera memasukkan satu tablet ke dalam mulutnya lalu meneguk air di dalam gelas hingga tersisa setengahnya.

“Sebentar lagi kelas Bahasa Mandarin-ku dimulai,” ujar laki-laki itu sembari berdiri dari posisinya. Ia melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, “—sekitar sepuluh menit lagi. Tidak apa-apa kan kalau kutinggal?”

Soyun terkekeh, lama-lama kekehannya menjadi tawa kecil yang terdengar lucu ditelinga laki-laki itu. “Kenapa harus bertanya? Tentu saja aku tidak apa-apa, silahkan saja.”

Untuk apa kau harus bertanya seolah kau merasa tidak enak seperti itu? Toh nantinya aku mungkin tidak akan pernah berbicara denganmu lagi. Bisa seperti ini saja rasanya sudah seperti keajaiban untukku.’ batin Soyun dalam hati.

 “Baiklah, kalau begitu aku duluan ya. Istirahatlah dengan cukup. Cepat sembuh ya” ujar laki-laki itu sebelum dirinya beranjak keluar dari ruang UKS.

“Terima kasih banyak.”

Langkah laki-laki itu terhenti. Ia membalikkan tubuhnya begitu indra pendengarannya menangkap suara gadis itu yang ditujukan kepadanya—sepertinya begitu. Mendengar ucapan terima kasih yang tulus dari sang gadis, ia lagi-lagi tersenyum.

“Sama-sama,” balasnya singkat kemudian kembali memutar tubuhnya.

Belum genap empat detik, laki-laki itu kembali membalikkan tubuhnya menghadap gadis yang tengah terduduk di ranjang UKS tersebut. Melihat hal itu, sang gadis hanya menaikkan kedua alisnya, wajahnya mengisyaratkan pertanyaan ‘Ada apa?

“Boleh aku tahu siapa namamu?”

“Aku?” ulang gadis itu sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuk. Laki-laki yang berdiri di ambang pintu tersebut hanya tersenyum sambil mengangguk mengiyakan.

“Soyun. Kim Soyun” jawab sang gadis.

Senyum manis menghiasi wajah tampannya kala ia  mendengar  nama gadis tersebut. “Nama yang bagus.” pujinya kemudian.

“Aku Xi Luhan.”

Seorang laki-laki dengan nama ‘Oh Sehun’—begitulah yang tertera di nametag yang ia kenakan—sedang membereskan meja terakhir yang terletak di dekat meja kasir. Tangan kirinya bertugas mengangkat cangkir dan piring yang ada di meja tersebut, sedangkan tangan kanannya bertugas mengelap meja sampai bersih.

Setelah yakin meja itu bersih sempurna, Sehun berjalan kembali ke dapur untuk memberikan cangkir dan piring yang kotor ke bagian cuci yang berada di dapur.

Tepat pukul 10 malam, pekerjaannya di Viva Polo selesai. Sambil merenggangkan tubuhnya, laki-laki yang memiliki tinggi badan kurang lebih 1,8 meter itu berjalan santai ke arah ruang khusus staff. Segera laki-laki itu masuk, menceklokkan kartunya ke mesin absensi dan berjalan ke loker miliknya. Kemudian dengan cepat ia mengganti kembali pakaiannya dengan kaos dan jaket yang tadi ia gunakan saat berangkat.

Sehun segera membereskan barangnya dan berjalan cepat meninggalkan ruang staff. Di luar, beberapa rekan kerjanya masih sibuk bersih-bersih. Sehun tersenyum sekilas ke arah mereka sebelum akhirnya kembali melangkah keluar dari café.

Diluar, seorang gadis manis dengan rambut hitam kecoklatan yang dikuncir kuda sudah menunggunya sejak lima belas menit yang lalu—setidaknya itulah yang gadis itu katakan padanya ketika ia menelepon.

Saat melihat gadis tersebut, secara tiba-tiba kekehan kecil meluncur keluar dari mulutnya, membuat gadis itu sontak menolehkan kepalanya pada Sehun yang sedang berjalan santai ke arahnya.

“Kau lama, Oh Sehun.” gerutu gadis itu sambil memanyunkan bibirnya dengan imut. “Kau membuatku hampir mati karena kedinginan.”

Sehun tertawa mendengar kalimat sarkatisme yang diungkapkan gadis yang sudah hampir dua tahun bersamanya itu. “Kenapa tidak masuk ke dalam?”

“Aku tidak enak dengan staff yang lain, hari ini kan aku sedang izin.”

“Nah, kalau begitu bukan salahku, kan?”

Si gadis melipat kedua tangannya ke dada. “Tetap saja kau yang salah—”

“Kenapa begitu?”

“Karena kau—”

“Apa?” sela Sehun sebelum gadis itu merampungkan aksi protesnya.

 Gadis itu mendengus. “Ah sudahlah. Itu bukan hal penting, Sehun-a. Jangan dibahas lagi,” jawab sang gadis sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya, berusaha menutupi kekalahannya dalam hal mendebat Sehun. “—lebih baik kita mencari tempat makan. Aku lapar.” lanjutnya sambil memasang wajah seolah menderita.

Laki-laki berwajah tirus itu kembali terkekeh, “Ah baik baik, kau mau makan dimana, Nona Kim Soyun? Restoran mahal?”

“Jangan bertanya seolah kantongmu penuh dengan lembaran uang, Oh Sehun.”

“Ah, jadi kau meremehkanku?”

“Memangnya kau punya uang?”

“Memang siapa yang bilang aku bayar dengan uang?”

Soyun menaikkan sebelah alisnya tinggi, “Lalu?”

Sehun hanya menjawab dengan tersenyum lebar. Bagi Soyun, wajah laki-laki itu menunjukkan bahwa ia jelas sedang menyembunyikan sesuatu. Dan tentu saja itu membuat Soyun penasaran.

“Oh, ayolah Oh Sehun. Kau membuatku penasaran.” Soyun merengek sambil menarik-narik lengan jaket Sehun. Tapi bukannya memberitahu, Sehun malah tersenyum semakin lebar, bahkan laki-laki itu tertawa.

“Merengek pun tak ada gunanya, Nona Kim.” laki-laki itu kembali tertawa. Kemudian ia menyodorkan lengannya pada Soyun, memberi isyarat agar gadis itu menggandeng lengannya. “Diam dan ikuti saja. Ayo.”

Soyun tidak langsung menjalankan apa yang diisyaratkan Sehun padanya. Ia lebih dulu menatap Sehun dan lengan sahabatnya itu secara bergantian.

“Haruskah kita melakukannya?”

Sehun menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Soyun menatap Sehun lagi, “Kau tidak sedang menyukaiku, kan?”

Kini laki-laki berkulit putih itu tergelak. Pertanyaan Soyun membuatnya tercengang. “Pertanyaan macam apa itu? Kau percaya diri sekali, Nona.”

Soyun memanyunkan bibirnya. “Habis kau bersikap aneh, Oh Sehun.” balas gadis itu sembari menyengir lebar, memamerkan deretan giginya yang rapi. “Tidak salah kan kalau aku menduga begitu, lagipula kau tidak pernah memintaku menggandengmu seperti ini sebelumnya. Jadi…”

“Kau mengira aku menyukaimu, begitu?” Sehun mensejajarkan kepalanya dengan kepala Soyun, kemudian tangannya bergerak ke arah pipi gadis itu dan mencubitnya dengan keras.

Aw,” rengek Soyun sambil memukul-mukul Sehun yang masih saja mencubiti pipinya sambil tertawa. “Lepas, Oh Sehun. Sakit.”

Sehun melepaskan cubitannya. Kemudian ia memindahkan tangannya ke kepala gadis itu dan mengelusnya pelan. “Tidak, tenang saja. Kau bukan tipeku.” kemudian laki-laki itu memamerkan cengiran lebarnya sambil tertawa. “Kau terlalu pendek untukku, jadi—”

“Dasar kau manusia kurang ajar!” teriak Soyun sambil memukul Sehun dengan tangannya. “Kau juga buka tipeku, dasar albino!”

Setelah mengatakan itu Soyun berjalan mendahului Sehun. Dengan terburu Sehun menyusul rekan seperjuangannya, sekaligus seorang tetangga yang setia menemaninya dua tahun terakhir itu.

“Hei, hei. Kau marah, Nona Kim?”

“Tidak, untuk apa?”

Sehun menarik Soyun dan melingkarkan lengan kirinya ke bahu gadis itu. “Oh, ayolah. Kalau begitu ayo tersenyum.”

Soyun melirik Sehun, “Kalau aku tersenyum, kau percaya aku tidak marah?”

Sehun menganggukkan kepalanya mengiyakan.

Dengan segera Soyun menyunggingkan senyum termanis yang ia punya, kemudian senyuman itu berubah menjadi cengiran, lalu detik berikutnya berubah lagi menjadi tawa. Ya, gadis itu tertawa sekarang.

“Kau percaya aku tidak marah, kan? Lagipula aku memang tidak berharap kau menyukaiku.”

Sehun terkekeh, “Kenapa begitu?”

“Karena aku menyukai orang lain, dari dulu. Kau tahu itu.”

“Kau membuat masalah lagi hari ini, Baek?” tanya Luhan yang kini secara ajaib muncul di depan pintu kamar Baekhyun dan berdiri dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Laki-laki itu bersandar pada tembok.

Baekhyun yang sedang malas berdebat dengan Luhan hanya melirik sekilas pada kakaknya itu. Kemudian tatapannya ia kembalikan pada komik yang kini tengah asyik dibacanya.

Luhan mendecakkan lidahnya. Tanpa permisi laki-laki itu memasuki kamar Baekhyun dan duduk di pinggir tempat tidur adiknya tersebut. Beberapa menit berlalu, namun sejak ia masuk sampai ia duduk, laki-laki yang sedang tertawa sambil membaca komik itu tidak mengacuhkannya barang sedikitpun.

Ya! Kenapa tidak menjawab? Aku bertanya padamu!” kali ini Luhan kesal. Ia menjulurkan tangannya dan mencubit pinggang adiknya itu dengan keras. Yang dicubit berteriak kesakitan dan spontan memukul kakaknya itu dengan bantal.

“Sakit, hyung.” desis Baekhyun sembari mengelus bagian pinggangnya yang dicubit Luhan.

Luhan tertawa melihat respon dari adiknya tersebut. “Hahaha, maaf maaf. Lalu, ada masalah apa lagi, hari ini?” Luhan mengulang kembali pertanyaannya dan kali ini ia menuntut adiknya itu untuk menjelaskan apa yang terjadi.

“Bukan hari ini, tapi kemarin,” sangkal Baekhyun. Ia kemudian mendengus kesal, “Mr. Park yang lebih dulu mencari masalah. Dia melempariku dengan penghapus papan.”

Luhan menaikkan sebelah alisnya, kemudian laki-laki itu terkekeh pelan. “Pasti karena kau tidur di kelasnya, kan?”

Dengan cuek Baekhyun mengendikkan bahunya, “Mau bagaimana lagi, aku kan mengantuk.”

Luhan menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan tingkah adiknya yang selalu berbuat seenaknya itu. “Ya, Byun Baekhyun, mau sampai kapan kau begitu? Apa kau tidak lelah keluar-masuk ruang pembinaan? Apa kau tidak lelah mengganggu semua guru yang tidak kau sukai dan membuat mereka menghentikan aktifitas mengajarnya hanya karena tidak tahan dengan kelakuanmu? Oh ayolah, kau harus merubah sikap—”

Hyung, tolong jangan menceramahiku malam-malam. Aku sedang tidak ingin mendengarkan ceramah panjangmu tentang menjadi anak baik yang membanggakan orangtua dan blablabla, aku hanya ingin membaca komik ini sampai tuntas dan menjalankan hidup semauku. Oke?”

Sekali lagi Luhan menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap adiknya yang tidak berubah sedikitpun. Tidak ada perbaikan, apalagi kemajuan. Luhan menghela nafasnya dengan berat.

“Terserah kau saja.”

Kemudian ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk milik adik lelaki satu-satunya itu. Tangannya meraba bantal yang berada tidak jauh darinya dan menariknya, menjadikan bantal tersebut sebagai alas kepalanya. Laki-laki itu berusaha memejamkan kedua matanya.

Dengan gerakan tiba-tiba, Baekhyun menutup komik yang sedari tadi dibacanya. “Tunggu, hyung. Ngomong-ngomong, dari mana kau tau?”

Luhan tidak menjawab pertanyaan Baekhyun. Laki-laki itu tidak benar-benar tertidur, ia hanya sedang berpura-pura untuk mengerjai adiknya itu.

Hyung?” panggil Baekhyun pada kakaknya yang kini masih memejamkan kedua matanya. “Oh, ayolah hyung.” Kali ini Baekhyun tidak sabar, ia mengulurkan tangannya dan meraih hidung kakaknya itu. Dengan cepat Baekhyun menjepit hidung Luhan dan membiarkan kedua lubang nafas laki-laki itu tertutup.

Sedetik…

Sepuluh detik…

Tiga puluh detik…

“Wah, hyung tahan lama juga ya.” sindir Baekhyun sambil menyeringai ketika melihat kegigihan kakaknya yang masih berusaha ‘tertidur’ itu.

Hampir satu menit…

Luhan membuka matanya dengan lebar dan langsung memukul-mukulkan tangannya pada Baekhyun yang kini tengah tertawa melihat dirinya yang panik.

Luhan memegangi hidungnya yang memerah, “Ah sial, sakit sekali. Kau mau membunuhku?” tanya Luhan sarkatis. Ia langsung mengambil bantal yang ada di sebelahnya dan memukulkannya pada Baekhyun yang masih sibuk tertawa.

“Aw, ampun hyung. Hahaha, aku hanya memintamu menjawab pertanyaanku.” ujar Baekhyun sambil terus menutupi wajahnya yang tampan dengan tameng yang terbuat dari tangannya.

“Pertanyaan?” ulang Luhan dengan sebelah alis terangkat.

Baekhyun mengangguk, “Iya, darimana hyung tahu aku membuat masalah?”

Luhan memasang smirk-nya, dan Baekhyun mulai menggelengkan kepalanya, ia yakin jawaban Luhan tidak akan serius kalau wajahnya sudah begitu.

“Telepati?” jawab Luhan sambil tersenyum dan menaik-turunkan kedua alisnya.

Baekhyun memutar bola matanya dan kemudian memasang wajah yang seolah mengatakan ‘Oh, ayolah hyung. Aku sedang serius.’

Luhan terkekeh melihat ekspresi yang tergambar di wajah Baekhyun. “Kenapa pertanyaanmu itu seolah-olah kau tidak pernah membuat masalah sebelumnya? Kau itu terlalu sering membuat masalah tahu,” jawab Luhan kelewat jujur.

 “Aku mengenalmu dengan sangat baik, Byun Baekhyun. Tentunya aku mengetahui segala sesuatu tentangmu—” ujar Luhan kemudian menyunggingkan senyuman manis yang sayangnya sulit diartikan.

“—apapun itu.”

***

 Kelas kosong. Semua siswa kelas XI-1 telah memindahkan diri mereka sendiri ke ruang bahasa yang berada di lantai tiga.

Tapi tidak dengan Soyun. Gadis itu masih sibuk termenung di bangkunya, menatap ke luar jendela, bertopang dagu. Matanya menatap kosong langit yang kini memiliki arakan awan berwarna kelabu.

“Sepertinya akan turun hujan,” gumam gadis itu sambil menguap lebar.

Soyun memang sedikit mengantuk pagi ini. Hal itu dikarenakan dirinya yang bekerja sampai larut, semalam. Ya, pekerjaan di café tempatnya bekerja semalam menumpuk. Pelanggan dari luar kota berdatangan karena promo yang sedang ditawarkan, membuat para pekerjanya diharuskan pulang lebih larut.

Dengan mata yang setengah tertutup, Soyun mencoba membuka jendela yang bertengger manis di samping bangkunya dengan cara menggesernya. Gadis itu ingin mendapatkan angin segar, setidaknya untuk menghilangkan sedikit rasa kantuk yang kini menyerangnya.

Krek.

Jendela yang terbuat dari kaca itu terbuka sempurna. Baru saja gadis itu hendak melongokkan kepalanya keluar jendela, tiba-tiba sesuatu yang besar merangsek masuk.

“Awas!!!” teriak sebuah suara berusaha memperingatkan. Soyun yang mendengar hal itu hanya melebarkan matanya tanpa sempat mencerna dengan baik peringatan yang sebenarnya ditujukan untuknya—untuk siapapun yang berada di dekat jendela.

BRUK.

Tubrukan pun tak terhindarkan. Tubuh Soyun yang mungil terjungkal kebelakang, kepala dan punggungnya sukses membentur lantai dengan cukup keras. Belum lagi ia merasakan beban berat di atas tubuhnya.

Sebuah benda asing sukses menubruknya dan sekarang menindihnya.

Soyun hampir yakin seratus persen yang menubruknya itu adalah benda, kalau saja ‘benda’ itu tidak mengeluarkan nafas hangat yang terburu di dekat wajahnya seperti sekarang.

Sebuah, atau seorang?

Gadis berwajah polos itu memberanikan diri membuka matanya yang sempat tertutup rapat karena kaget. Ia menggerakkan kelopak matanya secara perlahan, lebih untuk mengintip benda atau makhluk apa yang menindih tubuhnya sekarang.

Matanya terbuka sempurna, mendelik. Hanya sepersekian detik sebelum gadis itu kembali mengerjapkan kedua indera pengelihatannya itu. Ia ragu, tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.

Apa aku terbentur terlalu keras?

Aku yakin ini halusinasiku. Tapi—’

Soyun terdiam, ia merasakan nafas hangat yang terengah itu lagi. ‘—ini terlalu nyata untuk dikatakan sebagai halusinasi.’ Gadis itu terus membatin dalam hati sementara matanya menatap lurus ke manik mata cokelat tua yang kini menatap balik matanya.

Laki-laki.

Tampan.

“Terpesona denganku?” tanya laki-laki itu percaya diri.

Suara itu—’

Mata Soyun kini melebar. Ia hafal betul dengan suara itu, dan ia yakin dirinya tidak salah.

Tiba-tiba pintu kelas digeser dengan keras, pertanda ada seseorang yang masuk dengan terburu-buru. Mendengar hal itu, laki-laki yang menindih Soyun itu menundukkan kepalanya—agar tidak terlihat—dan membungkam mulut Soyun dengan tangan kirinya.

Ssshh,” laki-laki itu memerintahkan Soyun untuk diam dengan cara menempelkan jari tangannya yang bebas ke bibirnya. Gesture itu membuat Soyun tanpa sadar memperhatikan bibir laki-laki itu.

Tipis dan sexy.

Astaga! Apa yang sedang kau pikirkan, Kim Soyun?! Kenapa kau bertahan dengan posisi begini?! Cepat bebaskan dirimu darinya!’ perintah otak Soyun yang baru menyadari akan keadaan yang sedang dialami tuan tubuhnya.

Buru-buru Soyun meronta, berusaha membebaskan tubuhnya yang Baekhyun kunci. Tetapi laki-laki ini masih menahannya. Tidak membiarkan Soyun pergi begitu saja.

“ASTAGA! APA YANG KALIAN LAKUKAN?!” tiba-tiba terdengar suara teriakan nyaring yang luar biasa memekakkan telinga, “INI KAN MASIH PAGI!”

DAR!

Mereka berdua sontak menoleh ke arah sumber suara. Seorang laki-laki berwajah tirus dan bertubuh kurus—kelewat kurus, bisa dibilang kerempeng—sedang menatap mereka dengan mata yang dilebarkan selebar-lebarnya, menunjukkan ekspresi kekagetan yang berlebih.

Menyadari tubuhnya yang masih dalam posisi yang…err…tampak seperti sedang melakukan tindak asusila dengan laki-laki yang berada di atasnya, dengan sekuat tenaga tangan Soyun mendorong laki-laki itu untuk membebaskan tubuh kecilnya.

Tubuh laki-laki itu terguling ke samping dengan sukses. Buru-buru Soyun mengalihkan perhatiannya pada laki-laki kurus itu.

“Be….begini, dengarkan aku. Ja…jangan salah paham dulu,” jelas gadis itu terbata, ia tidak ingin laki-laki yang memiliki sifat heboh itu salah sangka dengan apa yang ia lihat barusan. “I…ini tidak seperti yang kau—”

Belum sempat gadis itu menyelesaikan penjelasan serta pembelaan terhadap dirinya, laki-laki kurus itu mengambil seribu langkah dan berlari keluar seraya berteriak sekeras-kerasnya, “PAK GURU! BAEKHYUN BERBUAT MESUM DI KELAS!!!”

“APA?!” teriak Baekhyun dan Soyun nyaris bersamaan. Keduanya menatap si laki-laki kurus itu dengan mata melotot bahkan nyaris keluar.

“SEMUANYA! BAEKHYUN BERBUAT MESUM DI KELAS!!!” teriak laki-laki itu sekali lagi, kemudian tubuhnya lenyap dari ambang pintu.

“Oh, sial.” umpat Baekhyun. Laki-laki itu segera beranjak dari posisinya, hendak mengejar makhluk berisik tadi yang telah berlari entah kemana. Ia segera berlari keluar kelas. Teriakannya menggelegar di sepanjang koridor.

“TUTUP MULUTMU KIM JONGDAE!!”

.

.

.

Tamatlah riwayatku.

 

_____TBC_____

HALOOOO~ Sebelumnya kami mau ngucapin makasih yang sebanyak-banyaknya buat readers yang udah sempetin diri untuk baca dan comment di prolog yang kami post kemarin-kemarin. Maaf banget karena ada beberapa comment yang belum sempet aku balesin ya 😦 karena wifi dirumah lagi rusak nih, jadi agak susah buatku untuk balesin semua commentnya 😦

Sejujurnya, diantara komentar2 kalian kemarin, banyak banget yang vote Baekyeol, Hunhan, Krisyeol, dan Sekai untuk cast kakak adek dalam ff ini, tapi berhubung aku pikir di ff ini karakter Luhan lebih cocok dan dengan perbincangan sama Kak Dita juga, akhirnya aku pilih Luhan sebagai cast kakaknya.

Dan kenapa aku pilih Baekhyun sebagai adeknya, karena wajahnya Baekhyun itu menurutku cocok jadi anak yang mukanya datar dan suka nyari masalah kayak gitu. Dan kakak aku juga lebih nge-feel kalo castnya Baekhyun. Hehehe, ngga papa kan? 😀

Tapi tenang aja, kami sih rencananya bakal masukin semua member EXO dalam ff ini. Di chapter-chapter selanjutnya, para member pasti akan muncul satu-satu kok 😀

Oiya maaf banget covernya bisa absurd gini. Berhubung author sama sekali gak jago soal edit-mengedit, ya jadinya kayak gini 😦 dan maaf juga ya kalo chapter 1 nya ini terkesan ngebosenin dan bahasa-bahasanya agak berlebihan gitu. Gatau kenapa ya kemaren itu idenya tiba2 kayak ilang gitu gatau kemana (?) Di chapter selanjutnya bakal kami bikin lebih seru kok, jadi ikutin terus ff ini, oke? Wakakakak maksa nih 😀

Terima kasih juga buat Kak Dita yang udah mau ngepost ini dan kasih aku semangat dan saran di dm:’’’’’’’) love u so much kak<3

TUNGGUIN CHAPTER  2  YA, JANGAN LUPA LIKE + COMMENT 😀

 

@pitalokaaa_ & @hppyyyy

XOXO

XOXO

513 responses to “Story Of My Love [Chapter 1 : First Met]

  1. Bikin penasaran banget, Thor.
    Ngerangkai kalimat per kalimatnya bagus, cuma kadang terkesan bertele2, mungkin itu aja dih kritiknya.

  2. Huhhh,, dasar jongdae bisa aja ngesimpulin hal itu tanpa nge denger alasan nyaa… tapi knapa si soyun sama si baek bisa gtu? huhhhh,, okay baca aja langsung next chap nyaaa

  3. Aku suka banget sama ceritanya, ooo soyun masa lalunya malang banget. Tapi aku penasaran sama anak yg ngasih klung ke soyun kecil. Apa mungkin di antara baekhyun sama luhan? Atau mungkin aja bisa sehun :v
    Duhhh nyesel baru tau ada ff ini dan nyesel baru baca. Ini pun krena rekomendasi😭
    Luhan baik banget dan suka deh sma dia di sini dan dia juga pengertian, ke baekhyun jga /iya lah kan baekhyun adeknya :v/
    Penasaran jga sma cwe yg sehun suka and mulut jondae ga bisa dijaga, aku suka chennya di sini, krena dia orangnya polos gtu :v yaaa chen klo jdi pmran pmbantu biasanya ska jdi orng konyok + polos dan aku ga prnah bsen soalnya lucu :v
    Yaaa sepertinya kisah baekhyun dan soyun akan dimulai. Kisah luhan dan soyun juga.

  4. bagus banget thor, bener2 bagus
    dari baca prolog kemarin udh bikin penasaran, kalimat2nya jg bagus. aku seneng kok castnya luhan sama baekhyun. aku pikir mereka cocok, kalo masalah kakak adik mereka berdua cocok, tingginya gak terlalu beda, sama2 ganteng, sifatnya jg sesuai sama mereka, good third ^^
    tolong dilanjut ya thor, aku tunggu

  5. astaga bagus bangettt,,, bahasa, karakternya semuanya… suka suka, ini aku telat banget bacanya, baru nemu waktu nyari nyari ff di skf.
    izin baca ya thor…

  6. Si jongdae mulut ember banget ya ampun…..langsung nyimpulin apa yg dilihatnya aja😂😂😂……emang kok thor , kalau menurutku baekhyun cocok jadi ice prince dan luhan jadi prince charming…next thor😊😊

  7. panjang sekali ff ini. seneng aku bacanya hehehe.. siapa sih malaikat kecil itu? apa luhan? atau baekhyun? malaikat kecil masih jadi misteri.
    woaahhh.. soyunnya ketiban musibah tuh.. dibilang berbuat mesum lagi ama baekhyun… hahaha kocak. mau lanjut baca ah…

  8. panjang sekali ff ini. seneng aku bacanya hehehe.. siapa sih malaikat kecil itu? apa luhan? atau baekhyun? malaikat kecil masih jadi misteri.
    woaahhh.. soyunnya ketiban musibah tuh.. dibilang berbuat mesum lagi ama baekhyun… hahaha kocak. lucu. mau lanjut baca ah…

Leave a reply to butterflyannisa Cancel reply