Continuous Winter – Chapter 2


Continuous Winter

Copyright © EnnyHutami’s fanfiction 2014

| Lenght : Series | Rating : PG-15 | Genre : Gloomy, Thriller, Romance |

| Cast : Oh Sehun, Park Hyeju, and others |

| Disclaimer : Ispired by movie with title ‘Girl’ |

Note : Yang suka silakan baca dan berikan tanggapan di kolom komentar serta like-nya. Bagi yang tidak suka dilarang keras untuk membaca dan bashing.

Chapter 1


~œ Swinspirit œ~

Tentang temanmu… aku turut berduka cita.”

Sampai saat ini Sehun masih memikirkan perkataan Hyeju yang membuatnya tidak bisa tidur semalam suntuk. Ia bertanya-tanya, bagaimana caranya gadis itu tahu rahasia yang dibawanya kemari?

“Hai,” tiba-tiba suara sapaan membuat Sehun menarik diri dari pikirannya dan mendongakkan kepalanya ketika merasakan seseorang berdiri di sebelah mejanya.

“Ingin meminta nomor ponsel Sehun lagi, huh?” tanya Baekhyun yang duduk di sebelah Sehun sakartis pada gadis yang berdiri di samping meja Sehun dengan senyuman centilnya.

Senyum gadis bernama lengkap Yang Jikyung itu semakin lebar karena tebakan Baekhyun sangat tepat. “Kalau kau tidak keberatan, Sehun.” Katanya manja.

Kemudian Sehun menatap Jikyung dengan pandangan mata tajamnya. “Aku tidak akan memberimu nomor ponselku.” Ucap Sehun datar tanpa emosi.

Mendengar penolakan Sehun, mata Jikyung pun menatap kesal Sehun dan juga sekelilingnya yang tengah menertawakan penolakannya. Karena tidak terima, ia pun merundukkan kepalanya lalu mencium Sehun tepat di bibir—lebih tepatnya mengecup bibir sehun sekilas.

Semua orang di kelas terkejut atas perlakuan Jikyung terhadap Sehun yang terlalu tiba-tiba, tidak kecuali Sehun sendiri yang menatap Jikyung tajam, namun gadis itu hanya melempar senyuman padanya.

Namun Sehun tidak melakukan apapun, dia hanya tetap diam di kursinya dan menatap kepergian Jikyung dengan tatapan tajam dan dingin. Sementara itu, seluruh orang yang melihat kejadian itu langsung berbisik-bisik pada teman di sebelahnya.

“Gadis itu sakit.” Umpat Baekhyun yang terlihat speechless atas perlakuan Jikyung beberapa menit yang lalu. “Kau diam saja? Tidak ingin menamparnya atau apa?” tanyanya kemudian pada Sehun yang juga masih syok.

Kemudian Sehun mengelap bibirnya dengan punggung tangan. Dia tidak menanggapi pertanyaan Baekhyun dan kembali membaca buku tebal milik perpustakaan yang dipinjamnya kemarin.

Baekhyun pun tidak mengatakan sesuatu lagi pada Sehun. Ia mengerutkan keningnya melihat Sehun yang terlalu tenang. Mungkin jika dirinya yang diperlakukan seperti itu, ia akan memaki jalang murahan seperti Jikyung itu.

Mata Baekhyun mengedar sekilas ke arah pintu kelas, dan matanya mendapati seseorang berjalan melewati kelasnya sendirian dengan pandangan lurus ke depan. Ia pun bangkit berdiri dan berlari keluar kelas untuk mengejar seseorang itu, membuat Sehun menoleh heran melihatnya yang terburu-buru.

~œ~œ~œ~

Seperti biasa, Baekhyun dan Sehun makan siang di kantin. Saat itu keduanya masih berdiri sambil membawa nampan mereka. Dan ketika Baekhyun menghampiri mejanya seperti biasa, Sehun justru menghampiri meja yang diduduki Hyeju seorang diri.

“Hanya sebentar.” Ucap Sehun pada Baekhyun agar teman barunya itu tidak mengikuti dirinya yang menghampiri Hyeju yang duduk sendirian di pojok kantin.

Sehun meletakkan nampannya di atas meja yang sama dengan Hyeju, tepat di depan Hyeju. Lalu duduk di sana tanpa meminta izin terlebih dahulu ataupun mengatakan sepatah katapun.

Hyeju melirik Sehun yang duduk di hadapannya melalui ekor mata, kemudian mengangkat kepalanya untuk menatap balik Sehun yang tengah memperhatikannya.

“Aku ingin menanyakan sesuatu.” Ucap Sehun tegas, tidak mempedulikan tatapan tajam Hyeju dan juga tatapan dari orang-orang di kantin yang tengah berbisik-bisik.

Hyeju tahu apa yang ingin ditanyakan Sehun. Apalagi jika bukan tentang kematian temannya? Seharusnya memang kemarin ia tidak mengatakan itu, karena ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya bisa mengetahui hal itu. Mengetahui rahasia yang disembunyikan orang-orang.

Kemudian Hyeju berdiri dan berniat untuk meninggalkan Sehun dan juga makanannya yang belum habis. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian, dan Sehun sukses menjadikan dirinya pusat perhatian saat ini.

Tanpa mengatakan sesuatu, Hyeju pun beranjak pergi dengan langkah pelan dan berat. Ia memang selalu berjalan seperti itu, seperti kakinya menyeret sesuatu. Dan, itu menjadikan dirinya lebih seram lagi.

Sehun tidak mengejar Hyeju dan tetap duduk sembari memperhatikan punggung Hyeju yang mulai menjauh. Kemudian ia menghela nafas berat karena sekali lagi, dirinya diabaikan oleh Hyeju.

Sementara itu, di meja lainnya yang terletak cukup jauh dari meja yang ditempati Sehun, kelompok gadis menatap lurus ke arah Sehun dan beberapa menatap tempat menghilangnya Hyeju dari kantin.

“Sainganmu si hantu itu, Jikyung-a?” ejek teman yang duduk di seberang gadis bernama Jikyung yang terus menatap ke arah Sehun yang kini kembali duduk bersama Baekhyun.

Sebelum menjawab pertanyaan temannya, Jikyung menyeringai. “Bukankah sudah saatnya kita memberi pelajaran pada si hantu?”

~œ~œ~œ~

“Sangat tertarik dengan Hyeju, ya?” Baekhyun bertanya pada Sehun yang duduk di depannya sembari menyendok makanannya.

Sedari tadi Sehun tak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Baekhyun, namun ia sesekali menyahut dengan gumaman kecil. Walaupun begitu, Baekhyun tetap saja terus bertanya tanpa mempedulikan Sehun yang akan menjawabnya atau tidak karena Baekhyun tidak suka berada dalam keadaan hening yang membuatnya tidak nyaman.

“Memangnya apa sih yang membuatmu tertarik padanya? Apa karena dia berbeda dari gadis-gadis lainnya? Apa tidak ada gadis seperti dia di Seoul?—tunggu. Kudengar, dia pindahan dari Seoul.”

Mendengar kalimat terakhir dari celotehan Baekhyun, Sehun langsung mengangkat kepalanya dan memusatkan perhatian pada teman barunya itu. “Dia bukan warga asli kota ini?” tanyanya. Rasa penasaran mulai muncul ke permukaan.

Baekhyun menggelengkan kepalanya. “Tidak. Jelas-jelas aku melihat kepindahannya kemari, beberapa tahun yang lalu. Walaupun tidak yakin, tetapi kudengar dia pindahan dari Seoul. Sama sepertimu.”

Beberapa tahun yang lalu, ulang Sehun dalam pikirannya. Kecewa pada fakta yang ada karena jika Hyeju baru beberapa bulan pindah kemari, bisa saja karena itu dia mengetahui tentang… kematian temannya.

Kemudian Baekhyun mencondongkan tubuhnya ke depan seakan hendak memberitahu suatu hal yang penting dan rahasia. “Kau tahu? Hyeju yang sekarang dengan Hyeju yang dulu, aku pilih Hyeju yang sekarang.” Katanya, membuat sebelah alis Sehun terangkat.

Seakan tahu pertanyaan yang dimaksud oleh wajah Sehun, Baekhyun pun melanjutkan. “Dulu dia benar-benar seperti hantu. Kau tahu hantu Jepang sadako? Seperti itulah tampang Hyeju dulu. Rambut panjang, wajahnya putih pucat, dan wajahnya selalu tertutup oleh rambut.” Baekhyun bergidik ngeri begitu mengingat tampang Hyeju di masa lalu. “Dia sangat mengerikan.” Tambahnya.

Sehun bisa membayangkan bagaimana rupa Hyeju seperti yang diceritakan oleh Baekhyun, namun ia tidak bergidik ngeri ataupun berkomentar. Ia tidak terlalu mempedulikan rupa Hyeju sekarang ataupun dulu karena yang terpenting adalah, mengetahui bagaimana caranya Hyeju tahu tentang temannya di saat orang lain tidak tahu.

Dan yang membuatnya gelisah, apakah Hyeju juga tahu bahwa dirinya sendiri lah yang membunuh teman baiknya itu?

~œ~œ~œ~

Langkah kaki itu membawanya ke ruangan laboratorium biologi yang selalu sepi jika ruangan tersebut tidak digunakan dan ruangan itu terkesan seram karena dipenuhi dengan anatomi tubuh manusia dan patung tengkorak sehingga tidak banyak murid yang berani ke ruangan tersebut.

Namun tidak dengan Hyeju yang kini justru berjalan sendirian di lorong panjang sekolah yang cukup gelap. Dia tidak takut pada hal-hal seperti itu—toh orang-orang juga menganggapnya hantu. Untuk apa hantu takut pada hantu?

“Akh!” Hyeju berteriak ketika merasakan bahwa rambutnya tengah ditarik ke samping sehingga dirinya masuk ke dalam toilet sebelum ia sampai di laboratorium untuk mengambil bukunya.

Sembari mencoba memegangi kulit kepalanya yang terasa seperti ingin lepas, Hyeju menggigit bibirnya menahan rasa sakit ketika merasakan dirinya sudah dikelilingi oleh kelompok gadis barbar.

Siapa lagi jika bukan Jikyung?

Sebelumnya Hyeju memang belum pernah diperlakukan seperti ini karena mereka takut pada Hyeju yang sosoknya menyerupai hantu, tetapi Hyeju pernah melihat—lebih tepatnya mendengarkan—ketika kelompok barbar Jikyung menganiaya murid lain di toilet. Saat itu Hyeju bersembunyi di bilik toilet dan terus di sana sampai kelompok barbar itu keluar.

Dan kali ini, apa yang membuat Hyeju menjadi sasaran mereka?

“Kau,” Hyeju yang merundukkan kepalanya merasa bahwa Jikyung berbicara sembari mendorong bahunya. “Apa yang kau lakukan sehingga Sehun tertarik padamu?” jika Hyeju bisa tertawa, ia akan tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jikyung.

Sayangnya, Hyeju seperti sudah lupa dengan caranya tertawa.

“Kau gagu, huh?” teriak salah satu diantara mereka sambil menjambak rambut Hyeju lagi sehingga membuat Hyeju menutup matanya rapat-rapat ketika merasakan rasa sakit di kulit kepalanya.

Sampai saat ini, Hyeju masih menutup mulutnya rapat-rapat dan mempertahankan dirinya untuk tidak menjawab pertanyaan Jikyung si gadis barbar.

Ya, kau tetap tidak mau bicara?” Jikyung bertanya sembari menempatkan jari-jarinya rahang Hyeju dan menusuk kulit Hyeju dengan kuku panjangnya yang tajam. “Kau mau kubuat gagu sungguhan?” lanjutnya penuh penekanan. Lalu, “Atau kau mau menyusul ibu dan ayahmu?”

Mendengar kalimat terakhir Jikyung, Hyeju membuka matanya dan menatap tepat ke manik mata Jikyung tajam. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Jikyung akan mati di tangan Hyeju saat ini juga. Dan kenyataan bahwa tatapan Hyeju yang terkenal mengerikan itu, Jikyung pun melepaskan tangannya dari wajah Hyeju dan mundur teratur

“Jangan menatap seperti itu!” hardik salah seorang teman Jikyung yang berada di belakang Hyeju ketika menyadari Jikyung yang terlihat takut.

Kini Hyeju tidak lagi berdiam diri begitu mendengar nama kedua orangtuanya diungkit-ungkit. Ia pun menyentakkan tangan yang terus memegangi rambutnya dan mendorongnya ke belakang hingga tersungkur. Setelah itu ia marangsek maju ke arah Jikyung yang terlihat ketakutan.

Dan begitu Jikyung terpojok di tembok, barulah Hyeju menghentikan langkahnya dan terus menatap mata Jikyung dengan tajam dan dingin, menyalurkan kemarahannya pada gadis barbar yang menganiayanya hanya karena seorang lelaki.

“Urusi saja adikmu yang sakit-sakitan.” Ucapan Hyeju terdengar seperti bisikan yang mengerikan dengan suara rendahnya. Dan itu membuat mata Jikyung melebar karena terkejut dan juga takut.

Dia berpikir, mengapa Hyeju tahu tentang adiknya?

~œ~œ~œ~

Sepasang kaki yang beralaskan sepatu hitam dengan hak yang tidak terlalu tinggi itu berhenti tepat di depan pintu toilet karena suara-suara dari dalam sana. Keningnya berkerut begitu mendengar suara seorang gadis berteriak, lalu terdengar suara gaduh dan erangan.

Wanita itu memicingkan matanya curiga. Jangan bilang jika ada pembully-an di dalam sana…

Sebelum wanita itu masuk dan menghentikan apa yang tengah terjadi di dalam toilet, pintu di depannya lebih dulu terbuka dan seorang gadis keluar dari sana dengan rambut berantakan dan seragam yang terlihat lusuh. Gadis itu terlihat terburu-buru. Menyadari keberadaan dirinya, gadis itu membungkuk sekilas lalu beranjak pergi.

Wanita itu menahan lengan gadis yang mengenakan papan nama dengan tulisan Park Hyeju. “Kau tidak apa?” tanyanya khawatir.

Hyeju terus merunduk, menutupi wajahnya dengan rambutnya, dan hanya menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan padanya. setelah itu kembali melanjutkan langkahnya.

Kemudian ia melihat keadaan di dalam dan mendapati empat gadis di dalam sana. Satu orang berdiri bersandar pada tembok dengan raut wajah syok dan tiga lainnya baru saja berdiri.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya wanita itu sembari memeluk map dan beberapa buku dengan tangan kirinya.

“B-bukan a-apa-apa, guru,” jawab seorang yang tadi bersandar pada tembok dengan terbata. Lalu ia mengajak ketika temannya keluar dari toilet dan pergi meninggalkan wanita itu sendiri.

Wanita itu menatap kepergian empat gadis itu dengan wajah bingung. “Mwoya…,” gumamnya pada dirinya sendiri.

“Jung Jiyoo,”

Begitu mendengar seseorang memanggil nama panjangnya, wanita itu menoleh dan mendapati seorang murid lelaki berdiri di sana sambil menatapnya lekat-lekat.

“Baekhyun-a…,” ucap wania yang ternyata memiliki nama Jung Jiyoo itu, lalu membalikkan badannya dan bergegas pergi dari hadapan Baekhyun.

Baekhyun yang sepenuhnya mengerti alasan mengapa Jiyoo kabur darinya hanya diam dan menatap lurus ke arah punggung Jiyoo yang semakin mengecil, tanpa sedikit pun niat untuk mengejar karena ia masih tahu diri di mana dirinya sekarang.

~œ~œ~œ~

Seperti malam-malam sebelumnya, Hyeju telah berada di atas danau beku dengan sepatu kesayangannya yang berwarna putih dan menari-nari di sana untuk melepas beberapa hal yang melilit dipikirannya seperti benang kusut.

Sebenarnya ia mempunyai alasan mengapa hampir setiap malam ia berada di sini, tidak peduli bagaimana dinginnya angin malam, dan juga tidak peduli bagaimana tanggapan warga yang lewat. Yang ia pedulikan hanya satu; bagaimana cara agar dirinya tidak begitu sendirian di rumah.

Bermain di atas danau beku tidaklah membuatnya merasa kesepian seperti di rumah. Walaupun kakak perempuannya ada di rumah, tetap saja ia merasa kesepian karena kakaknya toh tidak menganggapnya ada. Dan, di saat rasa bosan mulai menyerang dirinya, ia selalu mengantuk tidak peduli apakah hari masih terlalu sore untuk tidak ataukah tidak.

Ia benci tertidur—tidak. Lebih tepatnya, ia benci bermimpi.

Semua mimpi yang menghampirinya saat ia terlelap merupakan mimpi buruk. Hampir semuanya.

Ia tidak mengerti mengapa, tetapi ia merasa bahwa hal buruk dan gelap seakan senang sekali padanya sehingga kesan ‘gelap’ tidak pernah lepas darinya—bahkan sampai ke mimpi.

Kemudian terdengar suara ranting patah dari hutan kecil di belakang danau, membuat Hyeju langsung menghentikan gerakannya dan menatap dalam hutan dengan mata memicing. Untuk mencari tahu asal suara tersebut, Hyeju pun melangkah maju, masih dengan sepatunya. Dan, ia melihat bayangan di dalam sana. Meskipun tidak terlalu yakin, namun ia yakin ada seseorang di dalam hutan sana yang mengintainya.

“Hyeju,” suara berat seorang lelaki membuat Hyeju tersentak dan kehilangan keseimbangan karena terkejut hingga ia tersungkur jatuh dengan kaki kirinya yang menindih sepatunya.

Melihat jatuhnya Hyeju di atas danau membuat Sehun yang merasa bahwa suaranya menganggetkan gadis itu segera berlari menghampirinya dan membantunya.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Sehun cemas sembari mencoba membantu Hyeju berdiri.

Ketika dirinya sudah berdiri berkat bantuan Sehun, Hyeju mengerang begitu merasakan perih di kakinya. Sehun yang melihat ekpresi kesakitan Hyeju pun segera melihat ke arah betis sebelah kiri Hyeju yang ternyata sobek yang mengalirkan darah segar.

Sejenak, Sehun merasa kepalanya berputar melihat darah yang mengalir di kaki Hyeju. Sebuah bayangan berkelebatan di pikirannya seperti potongan-potongan film. Ia bukanlah takut kepada darah, hanya saja, darah mengingatkannya dengan peristiwa masa lalu. Lebih tepatnya saat tangannya penuh dengan lumuran darah dengan sebilah pisau di tangan kanannya yang terasa kaku.

“Kau… takut darah?” tanya Hyeju hati-hati ketika ia melihat Sehun yang terlihat aneh melihat kakinya.

Tidak langsung menggubris pertanyaan Hyeju, Sehun justru mengambil sapu tangannya di dalam tas dan mencoba membersihkan darah yang masih mengalir dari kaki Hyeju. “Sama sekali tidak takut.” Jawabnya datar tanpa mengalihkan pandangannya dan berfokus pada kaki Hyeju.

Merasakan sakit dan perih ketika saputangan milik Sehun mengenai lukanya yang tidak terlalu besar, Hyeju pun meringis namun tidak menyuarakan rasa sakitnya.

“Apa kau ingin pulang?” tanya Sehun setelah ia mengikatkan sapu tangannya di kaki kurus Hyeju.

Hyeju menggelengkan kepalanya. Lalu, “Terima kasih.” Ucapnya, walaupun tanpa ekpresi yang terlihat di wajahnya, tetap terdengar tulus.

Hening sejenak. Keduanya tidak ada yang mengatakan sepatah kata dan larut dalam pikirannya masing-masing. Sehun menduga-duga alasan mengapa Hyeju kehilangan keseimbangannya tadi. Apa karena sapaannya itu mengejutkan gadis itu, atau ada hal lain? Pasalnya, tadi ia melihat Hyeju terlihat waspada sambil menatap ke dalam hutan.

Sehun hendak membuka mulutnya untuk berbicara, namun Hyeju lebih dulu menyelanya. “Kenapa kau datang lagi kemari?” Tanyanya. Sebuah pertanyaan sakartis yang tidak diucapkan dengan nada sinis seperti kebanyakan gadis lainnya. “Apa karena kau penasaran mengapa aku bisa tahu tentang temanmu?” lanjutnya sembari menatap Sehun yang duduk di atas batang kayu yang sangat besar yang biasa menjadi tempat duduk untuk Hyeju.

“Antara iya dan tidak.” Jawab Sehun jujur. Sebenarnya, ia juga tidak terlalu peduli bagaimana Hyeju tahu tentang temannya. Hanya satu yang ia ingin tahu, tentang Hyeju yang tahu apakah dirinya membunuh temannya itu atau tidak.

Hyeju diam, tidak menanggapi jawaban Sehun yang tidak tegas. Namun di sinilah berbedanya Sehun dengan orang-orang yang mencoba mendekatinya dengan alasan yang tidak diketahuinya. Seperti Byun Baekhyun.

Memang benar Baekhyun pernah mencoba mendekatinya, mungkin dengan alasan awal yang sama dengan Sehun; penasaran. Namun begitu Hyeju mengatakan sesuatu hal yang mungkin adalah rahasia Baekhyun, lelaki itu tidak lagi berani mendekatinya.

“Bagaimana dengan Jikyung tadi?” Hyeju membuka suara ketika keduanya tidak lagi ada yang berbicara dan atmosfer tak nyaman menyelimuti mereka berdua. “Kau menyukai ciumannya?”

Tanpa menoleh pada Hyeju dan tetap menatap ke depan, Sehun mendengus, membuat uap putih muncul dari hidung dan mulutnya. “Kau melihatnya?” Tanyanya.

“Dia menciummu di dalam kelas.” Hyeju menyahut. Lalu, “Kau tidak terlihat tidak menyukainya.”

“Jika aku menyukainya, bagaimana dengamu?”

“Ada apa denganku?”

“Kau cemburu?”

“Untuk apa aku cemburu?”

“Karena kau menyukaiku?”

“Kau yang tertarik padaku, Oh Sehun.”

Sehun terdiam sejenak sebelum membalas pernyataan Hyeju. Gadis itu benar. Memang dialah yang tertarik pada seorang Park Hyeju, bukan gadis itu yang menyukai dirinya.

Sebenarnya Sehun hanya mencoba menggodanya, tetapi gadis itu sama sekali tidak terpancing dan tetap berbicara tanpa ekpresi. Seperti bicara pada orang yang tidak memiliki hati.

Perlahan, langit menggelap tanda bahwa hari akan berganti malam. Hyeju yang sudah kembali mengenakan sepatu kets-nya kembali berdiri.

“Mau kuantar pulang?” tawar Sehun ketika ia ikut berdiri.

“Tidak perlu.” Tolak Hyeju sambil lalu, dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Sehun dengan sapu tangan yang masih terikat di kaki kurusnya.

~œ~œ~œ~

Park Hyeju tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Kini dirinya berada di dalam hutan, berlari tertatih-tatih dengan seragam sekolahnya yang robek di beberapa titik akibat tersangkut ranting. Deru nafasnya tersenggal karena terlalu lelah berlari, rambutnya yang selalu dibiarkan tergerai berantakan dan menempel di wajahnya yang berkeringat di dinginnya cuaca di kota kecil ini.

Suara ranting patah di belakang membuatnya menoleh. Karena tidak memperhatikan jalan di depan, kakinya pun tersandung akar pohon yang menyembul ke atas tanah. Ia terlalu letih untuk bangun dan kembali berlari. Pundaknya naik turun akibat nafas yang menderu.

Ia benar-benar ketakutan saat ini. Di tambah dengan sosok bayangan yang mulai terlihat dan mendekatinya.

Kemudian suara derit pintu di geser terdengar telinganya, membuatnya membuka matanya dengan tiba-tiba dan menyadari bahwa dirinya berada di kamarnya.

Mimpi yang baru saja dialaminya terasa sangat nyata—tidak, bukan hanya mimpi itu saja yang terasa nyata melainkan semua mimpi yang menghampirinya. Ia merasa buruk dan aneh. Sebelumnya, ia tidak pernah memimpikan dirinya sendiri melainkan orang lain yang bahkan tidak dikenalnya. Kenapa kali ini ia memimpikan dirinya sendiri?

Ia pun keluar dari kamar untuk mengambil minum dan membasahi tenggorokkannya yang kering. Saat keluar dari kamar, ia melihat kakaknya yang masuk ke dalam kamarnya sendiri dan menutup pintunya. Ia melirik jam dinding, dan angka satu ditunjuk oleh jarum yang lebih panjang.

Kakak perempuannya itu selalu pulang lewat tengah malam. Ia tidak tahu apa pekerjaan kakaknya itu, tetapi ia hanya bisa berharap bahwa kakaknya tidak akan melakukan sesuatu hal yang kotor untuk uang. Ia hanya bisa berharap dan tidak berani untuk mengatakannya karena kakaknya tidak ingin dirinya berbicara padanya.

~œ To be continue œ~


Aku punya kabar buruk nih, awal februari, aku udah mulai ujian prakek, dan di akhir januari aku ada to mandiri 2. jadi, kemungkinan aku bakal hiatus sampe april–cuma kemungkinan sih. Tapi kalo emang benar aku bakal hiatus sampe april, tolong dimaklumi yaa. sekali lagi aku minta maaf:( tolong doain ujian2ku lancar ya:'(

72 responses to “Continuous Winter – Chapter 2

Leave a comment