[Oneshot] The Last Wish

Hai, ini bukan FF saya melainkan FF titipan. Setelah membacanya, dimohon memberikan apresiasi dalam bentuk komentar ya. Terima kasih.

The Last Wish

lastwish1

~+~

AU, Angst, Family, Drama, Sad, Hurt, School-life, Comfort, ETC.

\\

Long-one-shoot

\\

PG-13

\\

Do Kyungsoo –EXO-K— > : <  Do Han Na –You / OC—

Other cast you can find it,

\\

Desclaimer: Milik saya seutuhnya atas persetujuan imajinasi saya sendiri /?/ dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Do Kyungsoo itu milik keluarga dan ciptaan Tuhan jadi jangan anggap Kyungsoo ini korban kekerasan cerita saya 🙂 dan perempuannya milik saya SE-U-TUH-NYA!

Attention : !!! Banyak kata-kata kasar dan sedikit kekerasan yang tidak boleh ditiru didalam kehidupan nyata. Tolong lihat ratingnya ya J

Note : Hola semuanya
😀 Sebelumnya untuk memulai cerita gaje ini yang terinspirasi dari sebuah film yang memotivasi saya sampai menangis terbatuh-batuk sepuluh ember /?/ Terimakasih banyak untuk kak Ajeng yang sudah mengizinkan saya untuk menceritakan apresiasi saya terhadap kecintaan saya didunia penulisan cerita aneh ini walaupun masih belum terkenal /?/ lanjut kepembicaraan berikutnya.

Guys…cerita ini akan sangat panjaaaaaaaaaannnnnggg sekali. Berisikan penuh konflik yang ada disekitar kita walaupun mungkin kalian jarang melihat langsung cerita ini dikehidupan sekarang maupun nanti.

Saya punya saranWAJIB..sebaiknya kalian membaca cerita ini seolah-olah kalian melihat sebuah film layar tancap yang sedang tayang di bioskop kesayangan anda /?/ Satu lagi..

setiap kalian melihat sebuah tulisan yang diformat UNDERLINE SEPERTI INI dimohon untuk mengklik tulisan tersebut. Karena tulisan itu langsung menuju soundtrack cerita aneh saya ini selama kalian mengikuti alur cerita ini.

Cerita ini DIREKOMENDASIKAN BAGI YANG INGIN MEMBACA

Baik..terimakasih telah mendengar pidato saya yang kurang panjang ini /?/ Happy Reading ^^

NOT PLAGIAT, NOT SIDERS. SEDIA KOTAK TISU DISAMPING ANDA #?  

\\

Poster By : AmmLaRT

 

.

.

.

.

 

 

 

 

“Disaat aku membencimu, Aku tidak peduli kau juga membenciku atau tidak. Namun, disaat aku melihatmu pergi, aku ingin mengucapkan satu kata untuk terakhir kalinya..”

 

 

 

 

                    

“Hiks..hiks..”

 

Terlihat seorang gadis kecil sedang duduk dibangku taman belakang sekolah. Langit biru yang begitu cerah menjadi saksi bisu dimana anak itu sedang memendam kesedihannya.

 Hana. Seorang gadis kecil yang duduk dibangku sekolah dasar ini sedang membolos mata pelajaran terakhir dikelasnya. Apa yang membuatnya ia membolos?

Ia sedang memandang rerumputan kecil dibawahnya.  Kedua kaki kecilnya yang bersepatu hitam itu menjadi salah satu pandangannya setelah tanah bumi yang ditumbuhi rerumputan kecil.

Sesekali kedua bahunya terangkat. Menahan sesegukan tangisnya yang mendalam . Perlahan-lahan air matanya mengalis membasahi pipi tembamnya yang sembab. Ia tak peduli jika petugas kebersihan disekolahnya akan menemukan dirinya ditempat ini. Ia sudah tidak peduli lagi siapa yang akan melihat pemandangan seorang anak cengeng yang setiap hari hanya menangisi dirinya.

Sebenarnya..

Hana termasuk seorang anak yang disipilin dan periang. Pakaiannya yang terlihat  rapih menampakan kerpibadian seorang anak kecil yang mengerti sopan santun sesama lain. Baik yang lebih tua maupun yang paling muda –dibawah umurnya.

Namun semua perkataan itu hanyalah omong kosong. Hana yang sebenarnya bukanlah Hana yang dimaksud Bapak atau Ibu guru disekolahnya.

Hana kecil yang sebenarnya adalah seorang anak kecil yang suka menangis karena meratapi kehidupannya. Ia sering dijauhi saat ia akan bermain bersama teman sebayannya. Sedangkan mereka? Menatap Hana dengan sengit bahwa Hana tidak boleh ikut bermain dengan mereka.

Mengapa mereka selalu menjauhiku..

Pikiran Hana kecil masih berputar-putar. Ia tak kuat membendung air matanya lagi. Seorang anak kecil sepertinya hanya mampu menahan air mata selama sepuluh detik. Hana sampai hafal detik keberapa ia akan segera menangis.

Oke..Hana, kau harus menghapus air matamu ini..

Hana kecil  yang mendapat panggilan dari hati kecilnya itu segera menghapus jejak-jejak air mata dipipi tembamnya dengan punggung tangan kanannya. Segera menghapus tangisannya dengan cepat dan merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan karena diterpa angin beberapa menit yang lalu.

 

 

Kring.. kring..

 

 

Hana kecil mengayunkan kedua kakinya dengan lunglai menuju gerbang sekolah. Saat ia kembali kekelas, ia hanya melihat satu buah tas kecil bewarna merah bertengger disalah satu bangku kursi.Dan itu hanya miliknya seorang.

Hana tidak peduli dengan anak-anak seumurannya yang begitu riang dan tertawa bersama orang tua mereka yang sedang menjemput mereka. Yang Hana kecil harapkan adalah..

Ia ingin segera istirahat karena terlalu lelah menangis.

Matanya sedari tadi memandang tanah berlapis aspal itu tanpa memperdulikan ia akan ditabrak oleh siapapun. Hana kecil  tak mau iri melihat mereka yang sedang bersama orangtua mereka berjalan melewatinya dengan bibir yang tersungging manis.

Tepat ia melangkahkan kedua kakinya didepan gerbang sekolah, Hana kecil  melihat sepasang kaki besar yang beralaskan sandal jepit menghalangi jalannya. Hana kecil sedikit terkejut disaat sedang memikirkan sesuatu didalam pikirannya. Dan Hana kecil baru sadar saat ada seseorang yang menghalangi jalannya.

Perlahan-lahan ia mendongakkan kepalanya untuk menatap siapa pemilik kedua kaki besar ini.

Dan.. akhirnya Hana kecil sudah melihat dengan jelas siapa pemilik kedua kaki yang beralaskan sandal jepit bewarna biru ini.

Disudut pandang kedua mata kecil Hana, ia melihat seorang lelaki berpakaian baju bewarna biru muda polos sedang menatapnya balik dengan lembut dan senyuman yang selalu terpampang setiap harinya.

“Ayah..”

Kata Hana kecil saat ia mengetahui bahwa sepasang kaki besar itu adalah Ayahnya sudah menunggu didepan gerbang sekolah. Ayah  yang melihat wajah gadis kecilnya yang muram itu segera memposisikan badannya menyesuaikan tinggi anaknya.

Masih dengan tatapan penuh kasih sayangnya, Hana kecil hanya bisa menatap balik kedua mata Ayah dengan lesu.

“Nghaa..ny—aang..? haaa..aa..ngaee.ngaauue aaiyy—aaaiy ngaa—nyaaa?” –Sayang? Apakah kau baik-baik saja?

Terlihat dari raut wajah Ayah yang sungguh mengkhawatirkan dirinya. Dengan Bahasa isyaratnya yang sering Hana lihat sehari-harinya, Hana mengerti apa yang diucapkan sang Ayah terhadapnya. Walaupun ucapannya tidak begitu jelas dan dibantu dengan Bahasa isyarat. Lalu tangan besar milik Ayah terulur mengusap kepala Hana kecil.

Hana kecil tidak menjawab sama sekali. Kepalanya kembali merunduk menatap kebawah. Sementara Ayah masih menanyai keadaannya dengan lembut dan kasih sayang.

“Nghhhaaa—nyaeng?” –Sayang?

Hana kecil mulai sesegukkan. Kemudian ia berlari meninggalkan Ayah yang masih dengan posisinya. Dengan keterbatasan suaranya, sang Ayah mulai memanggil nama Hana kecil dari tempatnya.

Dari kejauhan, Hana kecil masih berlari tidak mengubris panggilan Ayahnya. Sementara itu, Ayah  hanya bisa menatap siluet Hana kecil yang sedang berlari jauh dengan raut wajah sedihnya.

 

 

 

“…Maafkan Ayah, nak. Ayah memang bukanlah seorang Ayah yang sempurna seperti yang kau harapkan. Tetapi Ayah janji, Ayah akan menjagamu sepanjang hidup Ayah..”

 

 

 

 

˜ _THE LAST WISH_˜

 

The story present

 AmmL17_2014©

 

 

 

 

 

 

 

A few years later..

Pagi terlihat sangat cerah. Burung-burung kecil mulai mengeluarkan suara merdunya menemani sang surya yang akan menyinari dunia. Hembusan udara alam senantiasa mengiringi alunan dawai yang sedang mengalun disuatu tempat dimana hembusan itu mengiringi sebuah perjalanan seorang anak yang akan memulai kesehariannya untuk menimba ilmu.

Brem..brem…brem..

 

Terlihat sebuah sepeda motor vespa sedang dikendarai seorang lelaki berpakaian kemeja putih rapih bersama seorang wanita remaja dibelakangnya yang berpakaian seragam SMA dengan rompi bewarna merah dan kemeja sekolah berlengan pendek serta rok selutut bewarna abu-abu duduk dengan posisi miring menghadap kearah Barat.

Tak lupa dengan tas sekolahnya yang selempangan ia taruh tepat dipangkuan duduknya. Rambut panjang sepunggung yang dikepang satu dengan rapih sudah lebih dari cukup untuk memancarkan watak dirinya. Sedari tadi kedua matanya hanya memandang kearah jalan tanpa memperdulikan arah depan.

Beberapa menit kemudian motor vespa yang sedari tadi dinaiki oleh mereka berdua telah sampai disebuah gerbang besar yang terbuka lebar. Beberapa anak-anak seumurannya terlihat sedang berjalan memasuki sekolah.

Dua sampai tiga detik setelah motor telah berhenti, wanita berambut kepang satu itu segera turun dan menyesuaikan  posisi tas sekolahnya. Dengan tampang wajahnya yang datar –bahkan terlihat tidak bersemangat— ia segera mengambil sebuah tas biola yang ditaruh di jok depan tepat didepan sang pengemudi.

Sementara itu, lelaki yang telah mengantarnya menuju k esekolah dimana ia akan menimba ilmu membantunya untuk mengambil tas biola yang berada didepannya dengan hati-hati. Sebelum lelaki itu melajukan motornya meninggalkan wanita yang diantarnya, ia memberi Bahasa isyarat kepada wanita itu.

“Ngaaa—yaaa iiiyyii..hh—uu , ngaaaiiy..ngaai, ngae..kheee—maaangaaah!” –Jaga dirimu baik-baik ya..semangat!

Wanita itu menjawab balik dengan tatapan malas. Ia sudah lupa untuk berterimakasih terhadap yang lebih tua. Setelah ia diberi semangat awal belajar  yang menurutnya sudah ‘basi’, ia segera memasuki sekolah tanpa mengucap sepatah katapun walaupun hanya sekedar ‘dadah’ kepada lelaki itu.

Lelaki yang ternyata Ayah dari wanita itu hanya pasrah melihat anaknya memasuki sekolah. Ia tahu bahwa anaknya tidak ingin terlihat menjadi anak kecil didepan teman-temannya. Tetapi, sepertinya ia juga tidak tahu mengapa anaknya bersikap seperti itu setiap harinya.

 

Do Han Na. Wanita berkuncir kepang satu itu berjalan menyusuri koridor sekolah sambil menundukkan kepalanya. Poni rambutnya yang menyamping bukan menjadi alasan bahwa ia memang cantik, tapi memang kesehariannya seperti itu.

Kedua tangannya memegang tas biola dengan erat tanpa memperdulikan orang-orang yang melihatnya dengan aneh. Ia hanya malu untuk menatap orang-orang yang berpasasan dengannya.

Semangat paginya yang diberikan oleh sang Ayah tidak membuatnya berhasil untuk semangat belajar. Hanya semangat sekedar membaca buku saja? itu konyol. Yang ia tahu sang Ayah mengharapkan dirinya menjadi anak yang pandai serta disiplin.

Selangkah demi selangkah sepatu sekolahnya mulai bergesekan dengan lantai koridor sekolah. Hana sedikit melajukan tempo berjalannya agar lebih cepat menuju kekelasnya. Perlahan-lahan ia berjalan lebih cepat dan lebih cepat—

BRAK!

Hana menabrak seseorang sehingga tubuhnya terjatuh duduk. Tas biolanya yang ia pegang terlempar disisi tubuh Hana dengan suara yang cukup keras.

“Heh! Kamu gak punya mata ya?!”

Min Jung –wanita yang baru saja ia tabrak itu segera kembali berdiri dari posisi terjatuhnya dan membersihkan debu yang menempel diseragamnya. Min Jung adalah salah satu wanita idaman para pria disekolah ini. Dan ia adalah kapten cheeleaders serta anggota dance ter-sexy yang tak kalah seksi dengan model-model majalah ternama.

Hana yang baru menyadari bahwa yang baru saja ditabrak adalah Min Jung hanya bisa menundukkan kepalanya sambil mengambil tas biolanya yang tergeletak disampingnya.

“Ma..ma—aaf, aku tidak tidak sengaja menabrakmu.” Hana meminta maaf kepada Min Jung tetap dalam posisinya. Ia masih terduduk bersama tas biolanya. Dan insiden  kecil ini menjadi sorotan anak satu sekolahan yang kebetulan mendengar bentakan Min Jung.

“Maaf..maaf. Heh, punya mata gak sih? Jalan tuh jangan pakek dengkul!”

Min Jung benar-benar membuat Hana malu didepan semua orang. Ucapannya yang ‘pedas’ langsung menusuk hati Hana seketika.

Sambil mengucapkan permintaan maafnya lagi, Hana segera memposisikan tubuhnya berdiri kembali.  “T..t..tapi aku benar-benar minta maaf. Sungguh, aku tidak tahu kalau ternyata yang aku tabrak adalah kau..”

“Asal kamu tahu aja ya, perempuan kayak kamu itu harus ngaca’ dulu. Mentang-mentang dapat beasiswa saja sudah sok berani nabrak-nabrak orang.” Min Jung melirikan kedua matanya  dengan sengit dan menyilakan kedua tangannya didepan perutnya  “Ck.. anak orang bisu kok bisa masuk kesekolah ini? miskin pula.”

DEG!

Seperti sebuah palu yang menghantam hatinya, Hana menatap Min Jung langsyng dengan perasaan diri yang begitu memiliki emosi. Kedua bola matanya memanas. Ia tak terima bahwa Ayahnya dibicarakan sembarangan.

“Hei anak orang kaya. Aku tahu kamu memang salah satu donatur sekolah yang sangat baik hati menyumbangkan beberapa uangmu untuk sekolah ini. Aku emang orang miskin! Bukan berarti aku tidak  bisa masuk kesekolah ini! Jangan pernah membawa nama Ayahku dalam ucapan bodohmu itu perempuan sinting!” Hana meluapkan emosinya dengan wajahnya yang mulai memerah.  Perkataannya lebih keras dari apa yang Min Jung ucapkan. Gejolak didalam hatinya tidak dapat ditahankan saat ada seseorang yang telah menyindir Ayahnya.

Baru kali ini Min Jung mendengar kata kasar dari mulut Hana sendiri. Min Jung hanya mengetahui kepribadian Hana adalah seorang anak culun yang pendiam dan penyendiri. Ia yang tidak terima dengan ucapan Hana tadi membesarkan kedua bola matanya.

“Apa kamu bilang? HAH? Sinting?! Berani-beraninya kau mengataiku sembarangan!” Ancang-ancang Min Jung akan menampar pipi Hana, Hana terlebih dahulu memejamkan kedua matanya dengan rapat.

Hap!

Tangan Min Jung yang siap menampar pipi Hana segera ditahan oleh seseorang. Seperti ada yang menahan tangannya, Min Jung segera menengok kearah samping. Saat ia mengetahui seseorang yang menahan tangannya, wajahnya berubah panik dan berbicara gugup.

“J..J..J..oom..myun..?”

Hana yang tidak merasakan tamparan keras dari Min Jung segera membuka kedua matanya perlahan-lahan. Ia cukup terkejut melihat seorang lelaki yang sedang memegang tangan kanan Min Jung yang terangkat keudara.

“Apakah kau tidak mempergunakan tanganmu dengan baik?” lelaki yang bernama Joomyun itu masih menahan tangan Min Jung.

“K..k..kamu kenapa ada disini?” tanya Min Jung balik kepada Joomyun.

“Bukan urusanmu. Pergunakan tanganmu dengan kebaikan. Baru saja kau dibilang sinting langsung menampar orang lain. Apalagi kalau orangtuamu yang dikatai oleh Hana?”

“Kau membela wanita itu?” Kata Min Jung tidak menerima pernyataan yang Joomyun ucap.

“Bukan membela, tapi membenarkan fakta. Membela dan membenarkan fakta itu berbeda Min Jung.” Akhirnya dengan wajahnya yang memerah menahan emosi, Min Jung menarik paksa tangannya dari genggaman Joomyun. Sebelum ia beranjak pergi, Min Jung menatap tajam Hana yang menundukan kepala sambil menggengam tas biola. Setelah itu ia segera pergi tanpa sepatah kata apapun.

Joomyun yang melihat Min Jung sudah pergi jauh segera mengalihkan pandangannya kearah Hana yang masih diam ditempat dengan tas biolanya.

“Hana? Kau tidak apa-apa’kan?” Joomyun berusaha mendekati Hana perlahan. Tetapi Hana langsung pergi berlari meninggalkan Joomyun yang sudah menjadi pahlawannya. Ia tidak ingin tangisannya dilihat oleh semua orang yang sedang menatap mereka berdua. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang disana. Yang hanya  Hana  inginkan segera masuk kekelasnya.

“Hana..” Joomyun menatap sendu  siluet Hana yang semakin jauh dan mengecil diujung koridor sana. Ia memang tidak mengharapkan balasan terimakasih dari Hana. Joomyun hanya berharap Hana baik-baik saja dan mau terbuka diri dengannya. Dan Joomyun tidak pernah memandang Hana seperti teman-temannya.

 

***

Disuatu tempat yang begitu sejuk, terlihat seorang perempuan berseragam SMA dengan rambut kepang satunya sedang duduk dibangku panjang putih sendirian. Ditemani oleh sapuan lembut angin yang tengah menyejukan seluruh muka bumi ini, anak rambutnya yang menjuntai disisi rambutnya ikut tersapu dengan lembut bagaikan sehelai kain sutra yang tengah berkibar-kibar ditengah keributan dewi angin.

Dialah Hana.

Anak perempuan manis itu sedang mengeluarkan tangisannya yang sering memakan waktu kesenangannya.Ditaman ini, ia begitu merasa benar-benar bebas. Tanpa ada halangan untuknya mengeluarkan emosi kesedihan dan kekesalan yang ia tumpahkan lewat tangisannya.

Hana masih saja menelengkupkan badannya kebawah. Ia memangku kepalanya dengan kedua tangannya yang menutupi seluruh wajahnya. Kedua bahunya sedikit tergoncang saat mengeluarkan isakan yang begitu mendalam.

 

Tuhan..Apa yang salah dalam diriku..

 

Hana segera menyenderkan tubuhnya semula kebangku. Saat kedua tangannya membuka wajahnya, raut wajahnya terlihat sembab. Kedua bola matanya masih memerah sehabis menangis. Poni rambutnya  sedikit teracak-acak. Hidungnya yang berair sedikit menghalangi oksigen yang akan ia hirup.

Perlahan-lahan Hana menghirup udara seolah-olah semua udara akan habis tanpa tersisa. Lalu menghembuskan udaranya lewat mulutnya. Bibirnya sedikit bergetar. Ia tidak bisa menahan tangisannya.

 

Joomyun…

 

Lelaki itu begitu baik terhadapnya. Ia sendiri tidak tahu apakah dia harus berterimakasih atau tidak. Disaat ia sedang menutup kedua matanya, lelaki itu selalu muncul seperti malaikat.

 

Kau selalu datang disaat aku menutup mataku. Mengapa kau selalu membantuku?

 

Hana mengusap wajah sembabnya dengan kedua tangannya. Sesegukan tangisannya menemani pikirannya yang terus berputar-putar. Seorang anak yang pendiam bukan semestinya memang pendiam. Ia menyesali dirinya kenapa selalu berlari disaat ia sudah ditolong oleh lelaki itu.

Hana tidak bisa membedakan mana niat yang baik ataupun yang salah.

Dia sudah lupa cara berterimakasih terhadap orang lain.

Seiringnya perjalanan waktu, hati kecilnya telah remuk termakan oleh usianya yang mulai beranjak dewasa.

Disaat ia menyesali dirinya, beberapa potongan-potongan memori masa lalu mulai bermunculan dikepalanya. Laksana film tua  bewarna sepia.

 

“Kamu’kan anak bisu.  Gak  se-level sama kita!”

 

Hana yang melihat bayang-bayang masa lalunya  kembali menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangannya.

 

Hana kecil yang masih berumur tujuh tahun terjatuh duduk dilantai kelas. Buku-buku ceritanya yang baru ia pinjam dari perpustakaan berserakan begitu saja. Saat ia ingin bermain bersama beberapa teman sebayanya, Hana kecil didorong oleh salah satu diantara mereka.

“Hei, anak olang bisu. Kamu’tuh  gak sebanding sama  kita. Kalau mau main sama kita itu jangan jadi anak olang bisu. Mainnya itu sama anak kayak kamu. Tau?”

 

Tuhan..mengapa aku harus mengingat bayangan menyedihkan itu lagi..

 

Hana tidak bisa membandingkan kesedihan dengan kesenangan. Otaknya serasa hancur lebur jika mengingat bayangan-bayangan menyedihkan itu kembali berputar. Wajahnya kembali diusap dengan perlahan-lahan. Punggung tangan kanannya segera menyeka air matanya yang sedari tadi turun tanpa henti.

Ia lelah..

Ia lelah menangisi kehidupannya setiap saat.

Kebahagiaan dalam hidupnya hanya terisi dengan cacian dari teman-teman sebayanya dulu hingga sekarang. Tidak lupa mereka menghina keluarga kecilnya yang masih bertahan hingga hidupnya sekarang.

Disaat Hana akan mengusap air matanya dengan tangan kanannya, ia tak sengaja mengusap hidungnya yang juga berair karena menangis. Tetapi ia tidak mengusap cairan bening yang keluar dari hidungnya.

Melainkan cairan bewarna merah pekat terusap oleh telapak tangannya. Kedua matanya menatap tangannya dengan lekat. Mengapa darah ini keluar dari hidungnya disaat yang tidak tepat?

Tes..

Tanpa disadari kerah bajunya terkena tetesan darah dari hidungnya sendiri.

Tangan kirinya mencari sesuatu dari kantung rok sekolahnya. Sementara tangan kanannya menyembunyikan hidungnya yang mulai mengeluarkan darah. Setelah ia mendapatkan sapu tangan kecil bewarna merah dari kantung roknya, Hana segera membersihkan hidungnya. Saat ia selesai membersihkan hidungnya, tak sengaja Hana melihat sapu tangannya yang sudah ternoda banyak darah dari hidungnya.

Darah yang mengalir dari hidungnya menodai hampir seluruh sapu tangannya.

Hana menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat tak percaya jika darah yang ia lihat disapu tangan kecilnya begitu banyak dari pemikirannya. Dia harus segera pergi agar tidak ada orang lain yang melihat dirinya serta menuju kekamar mandi.

Beberapa detik kemudian  Hana segera beranjak dari tempat duduknya dan segera pergi berlalu menuju kesuatu tempat. Disisi lain, disebuah pohon yang cukup tinggi dan lebat akan daunnya yang bewarna hijau, terlihat seorang lelaki tengah bersender dibalik dipohon itu. Dia melihat semua kejadian itu.

Perlahan-lahan kepalanya kembali ditengok kebelakang untuk melihat siluet Hana yang sudah pergi menjauh.

“Inikah keseharianmu?” Lelaki yang tak lain bernama Joomyun itu berkata lirih dengan pandangan yang sendu.

 

 

 

“Aku tidak tahu bahwa kepribadianmu begitu pilu untuk dilihat dari jauh walaupun hanya 10 langkah untuk mendekatimu sesaat.”

 

 

 

06.10 PM  …

Ayah Hana masih membereskan meja makan yang terletak diruang makan yang terhubung dengan ruang dapur. Baju santainya yang ia pakai sangat mencirikan kesederhanaan dirinya sebagai seorang lelaki. Terlihat beberapa makanan yang terlihat sedap tengah terpampang diatas meja makan.

Tak henti-hentinya sang Ayah tersenyum saat ia membereskan beberapa makanan saat ditaruh dimeja. Setelah selesai menata beberapa makanan, ia segera menaruh dua piring yang akan dipakai untuk dirinya dan juga anak tercinta. Tak lupa juga Ayah menata sepasang sendok-garpu diatas masing-masing piring yang ditelengkupkan sebelum dipakai.

Hah..

Akhirnya tataan diatas meja telah selesai. Wajahnya terlihat begitu lelah. Sehabis Ayah pulang bekerja, Ayah segera membersihkan badan dan menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Wajahnya terlihat berseri-seri melihat beberapa masakannya sudah tertata dengan rapih.

Berharap sang buah hati segera cepat pulang.

Tok..Tok..Tok..

 —Kriek..

“Aku pulang..”

Akhirnya harapan sang Ayah terkabul. Seorang wanita berseragam SMA telah pulang dari sekolah. Ucapan salamnya terdengar datar. Wanita yang tak lain adalah Hana segera menaruh sepatunya dirak sepatu yang terletak didekat pintu  rumah sambil menutup pintu rumah dengan rapat.

Ayah Hana yang menanti kedatangan anaknya segera tersenyum manis kearah Hana. Walaupun ekspresi Hana benar-benar datar, Ayah Hana tetap menerima sambutan kecil dari gadis kecilnya itu.

Hana menaruh tas biolanya dan  tas sekolahnya disalah satu sofa ruang keluarga yang minimalis dengan lesu. Harinya benar-benar buruk. Wajahnya tidak terpancar kesenangan sedikitpun. Rambutnya sedikit teracak-acak. Ditambah pakaian sekolahnya yang ternodai oleh sedikit darah tepat dikerah baju kemeja sekolahnya.

Dengan langkah yang begitu berat, Hana segera menuju keruang makan. Ayah sudah berada disana. Berdiri disalah satu tempat diantara ketiga kursi yang kosong. Hana memandang Ayahnya dengan sekilas lalu segera duduk dikursi yang berhadapan dengan Ayah.

Begitu juga dengan Ayah sendiri. Ayah Hana segera duduk dan menyiapkan piring yang telah ia sediakan sebelumnya. Mereka berdua segera mengambil beberapa makanan dan nasi yang tersedia diatas meja dalam suasana hening.

Setelah mengambil beberapa makanan,  Mereka langsung menundukan kepalanya dan mengadahkan kedua tangan untuk berdoa.

Hana dan Ayahnya segera mengusap kedua tangan mereka tadi kewajah mereka masing-masing. Memakan makanan yang telah tersedia untuk makan malam hari ini.

Ng—aaaa—nhaa ? ngaa–maangaeh..ngaaa—yii—wuu Imengo—eh ngeiieh?” –Hana? Bagaimana harimu disekolah tadi?

Saat Hana akan memasukan beberapa suap makanan kedalam mulutnya, sang Ayah menanyai keadaan dirinya yang dibantu dengan bahasa isyarat. Hana hanya menatap Ayahnya datar  tanpa ekspresi sama sekali. Beberapa detik saat Hana menatap Ayah, ia segera melanjutkan aktifitasnya.

“Tidak.”

Ayahnya memandang sendu kearah Hana yang menjawab pertanyaannya dengan dingin. Ia tahu sikap Hana berbeda dari masa kecilnya. Ia mengerti bahwa hari-hari yang telah dilewati anaknya sedikit rumit. Lalu Ayah kembali bertanya.

Ngaa—mangee, ngawuu ngugaey..aaa—yaaangeeh?” –Apakah kamu punya masalah?

Hana kembali menatap sekilas Ayahnya. Dia memberhentikan satu detik suapannya lagi. Hana tahu bahwa Ayah selalu memperhatikan dirinya –sangat.

“Tidak.”

Ayah hanya menatap sendu. Ia tahu bahwa gadis kecilnya tengah berbohong.

“ngeyiiingayee eemaangaee a-awwu. A-eyya nhee eemaayi a-aawe ihmewungeh—nhuee aayi—ii ingii.” –Ceritalah kepada Ayah. Apa yang menjadi masalah disekolahmu hari ini.

Hana kembali menghentikan aktifitasnya lagi. Ayah tahu bahwa ia sudah berbohong kepadanya. Firasat orang tua tidak pernah salah. Dan Hana tetap bersiteguh mengumpatkan kebenarannya yang ia alami tadi pagi disekolah.

“Ayah..Hana bilang aku tidak punya masalah. Walaupun hari ini bukan hari yang baik, bukan berarti aku punya masalah juga, Yah.” Jawab Hana dengan nada malas. Terlihat dari kedua bola matanya yang sedikit disipitkan memasang wajah tak mengenakan. “Apa Ayah tidak lapar? Lebih baik Ayah makan terlebih dahulu saja, bukannya Ayah bilang makanan yang sudah dingin tidak enak dimakan?” Sahut Hana sambil menyuapkan makanannya kedalam mulutnya tanpa memperdulikan tatapan Ayah yang masih memperhatikannya.

Sang Ayah masih bersikeras untuk menanyai keempat kalinya dengan nada lembut. “Aaa—nhaaa, aauw ngaa—uu ngaaa—wuu ngunyaw ngayhaa–ngaee..Nga—ngaae nghauu ekhi ingauw—ngu nha, neyingayae—w..aangaww nngeyaaa—ngu e-e-eangiw i-e engau ang—aww. Aangg-aww a-ak naa inga hanguuw engau—w eiing—iw angeieu enghaa eaawnggaa.” –Hana, aku tahu kau punya masalah..Ayah tahu persis sifatmu nak, ceritakanlah.. apa masalahmu hari ini kepada Ayah. Ayah tak mau jika kau selalu mengisi harimu dengan masalah.

Hana melihat Bahasa isyarat ayahnya dengan jelas tepat ia akan memasuki suapan makanannya kedalam mulutnya. Tangan kanannya yang akan memasukan suapannya ditaruh sementara kepiring. Sebelum ia kembali menjawab pertanyaan Ayah, Hana menghela nafas dengan berat.

Ck, Ayah.. Hana harus bicara berapa kata lagi? Hana bilang ‘Aku tidak punya masalah’. Soal hari ini, keadaan memang tidak baik seperti hari biasanya. Mengapa Ayah memaksa Hana untuk mempunyai masalah setiap hari sih? Hana capek Yah, Hana capek buat masalahin tentang masalah Hana sendiri. Apakah Ayah tidak bisa menanyakan hal yang lain selain pertanyaan diriku selama disekolah? Sehari saja.”

Akhirnya Hana dapat mengendalikan emosinya dan melanjutkan suapan makanannya. Tanpa disadari, Ayah meliriknya dengan instens. Seolah-olah ia menemukan sesuatu yang diumpatkan Hana. Hana memang tidak memilik sesuatu yang diumpatnya, tetapi apa yang sedang diperhatikan oleh Ayah?

Ngaa—nhaa..nga—yangaeeii ngaawuu yangii ngaaiiy—ngaiyy.. a-ngaey? Emhaawu…angayee angiyaeh  ih eyya awwu-ngu” –Hana..apakah kau yakin  baik-baik saja? Mengapa ada darah dikerah bajumu?

 

BRAKK!!

 

“AYAH! Sudah Hana bilang berapa kali? Hana tidak apa-apa! Ini hanya cat air biasa! Maupun Ayah bilang aku ini sakit, aku tidak peduli dengan ucapanmu! Aku juga tidak mau jika Ayah mencampuri masalahku!”  Hana tidak bisa memendam emosinya lagi. Ia sudah kelalap oleh kegoisannya sendiri. Ia tak segan untuk membantak Ayahnya dengan memukul meja makan sehingga semua benda-benda yang berada diatas meja ikut bergetar secara bersama.

Apakah Ayahnya kaget? Tentu saja.

Sejujurnya, gadis kecil yang sekarang mulai tumbuh dewasa bukanlah gadis kecil yang ia rawat dulu disaat beranjak balita.

Dia memang sudah dewasa, namun.. kelakukan anaknya terhadapnya ini sungguh keterlaluan.

Tetapi ia tidak bisa berbicara banyak ketika anaknya sudah ‘angkat’ bicara.

Wajah Hana sudah memerah. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Hana mengatur nafasnya.  Walaupun bentakannya tidak sekeras apa yang biasa orang lakukan disaat mereka menyulutkan emosi terhadap seseorang, Hana tetap merasa bahwa bentakan itu cukup keras untuk Ayahnya.

Nggg—“

Disaat Ayah akan berbicara, Hana segera beranjak pergi dari ruang makan.

Makanan Hana sudah tersisa seperempat dari sebelumnya yang cukup diisi penuh oleh Hana. Sementara Ayah sendiri belum menyentuh sebutir nasi dipiringnya. Perlahan-lahan kepalanya tertunduk kebawah.

Ia merasakan betapa sakitnya dibentak oleh anaknya sendiri.

Karena ia tahu..

Hana memiliki masalah yang berat disekolah maupun dikehidupannya sekarang.

Memiliki seorang Ayah sepertinya memang sangat menyedihkan bagi Hana.

Tetapi Ayah berjanji agar Hana bisa bahagia walaupun harus melewati hari-harinya yang amat buruk.

Ayah mengalami keterbatasan fisiknya disaat ia shock kedua orang tuanya meninggal dihari yang sama. Dimana penyakit jantung Ayahnya kambuh mendengar perusahaannya bangkrut dan Ibunya yang mengalami kecelakaan lalu lintas.

Semua kejadian itu saat Ayah akan menginjak 10 tahun. Teman-temannya mulai menjauhinya karena keterbatasan fisiknya. Dan semenjak kejadian itu ia dirawat oleh kakek dan neneknya. Saat Ayah sudah masuk SMA, Kakeknya meninggal karena penyakitnya yang cukup parah.

Kebahagiaannya mulai muncul kembali saat Ayah bertemu dengan seorang perempuan yang menjadi teman sekolahnya. Dialah sosok gadis yang menjadi Ibu Hana. Sampai mereka menjenjang kepernikahan dan memiliki gadis kecil yang amat cantik, Neneknya meninggal dunia karena penyakit yang sama seperti Kakek dulu.

Dan sosok Ibu gadis kecilnya harus menutup mata saat Hana akan menginjak umur dua tahun. Ibu Hana terkena penyakit parah yang membutuhkan transpilasi tulang sumsum belakang. Tetapi sebelum mendapatkan donor, ia sudah menghembuskan nafas terakhirnya.

 

Ayah selalu  berharap agar Hana tidak meninggalkannya terlebih dahulu.

Disaat ia memikirkan kecemasannya terhadap Hana, perlahan-lahan air matanya menetes berjatuhan. Ayah tidak ingin kecemasannya menjadi sebuah kenyataan.

 

 

 

“Ayah tidak peduli kau akan membenci Ayah hanya karena pertanyaan sepele Ayah sendiri. Ayah tidak ingin kau meinggalkan Ayah terlebih dahulu, nak..”

 

 

 

…Next day…

Seperti biasa, Hana memasuki halaman sekolah dengan lunglai. Memasang ekspresi tidak menyenangkannya begitu saja. Ia tahu bahwa semua orang hampir menatapnya dengan aneh. Tetapi Hana merasa hari ini orang-orang yang sedang melewatinya dan menatapnya itu terlihat berbeda.

Sampai melewati koridor sekolah, Hana masih disuguhkan beberapa tatapan aneh seperti mengitimidasikannya. Hana mengkerutkan keningnya. Setiap ia berjalan selalu saja beberapa siswi menatapnya tidak enak. Dengan cepat, Hana melangkahkan kedua kakinya menuju kekelas bersama tas biola yang sedari tadi ia tenteng.

Setelah menuju pertengahan koridor sekolah, Hana melihat sebuah mading yang dilihat oleh beberapa siswa dan siswi disana. Hana penasaran.. apa yang sedang mereka lihat?

Hana mempunyai inisiatif untuk melirik kemading saat akan berjalan menuju kekelas. namun..semua rencananya gagal.

Saat ia sudah melirik kearah mading sekolah, Hana melihat sebuah kertas kusut terpajang dimading. Dan betapa terkejutnya saat Hana melihat isi kertas tersebut dari posisinya yang berada dibelakang beberapa siswi dan siswa disana.

Itu’kan..Surat…

Hana menggelengkan kepalanya sesaat umpatan-umpatan kecil terlontar oleh beberapa siswi didepannya. “Anak orang miskin kayak dia berani suka sama Joomyun? Ya Tuhan.. gak pantes tau gak?”

“Terlalu mengharapkan.. udah gak se-level sama kita,  apalagi sama Joomyun? Ha! Emangnya Joomyun mau selingkuh dibelakang Min Jung hanya karena si miskin itu?”

“Surat cinta yang terabaikan.. kasihan..”

Hana ingin sekali mencabut kertas yang terpajang dimading sekolah. Namun, langkahnya sudah didahului oleh seseorang yang mencabut kertas itu dengan cepat. Sontak Hana dan beberapa siswa dan siswi itu menoleh kearah seorang siswi yang baru saja mencabut kertas dari madding.

Dia Min Jung.

Siswi yang berani mempermalukan Hana dengan sepucuk surat cintanya yang telah tersimpan baik didalam lokernya. Beberapa siswa dan siswi yang melihat Min Jung dan Hana segera pergi menjauh dari hadapan mereka berdua. Sampai akhirnya, Min Jung segera memulai pembicaraannya.

“Bagaimana? Masih ingin mengataiku sinting?”

Hana terdiam sesaat disaat Min Jung mengayunkan kertas itu didepannya. Hana hanya bisa menunduk. Ia tak ingin tangisannya keluar begitu saja.

“Lihat bukan? Orang sinting saja bisa mengambil sepucuk surat ini dari dalam  loker si anak pendiam yang ternyata belagu dan sombong karena mendapatkan beasiswa. Ternyata orang sepintar kamu yang sangat tulalit menyimpan sebuah rahasia lebih gak selevel sama orang sinting tapi tahu rahasia orang lain.” Min Jung menyindir Hana dengan wajah angkuhnya.

“Dengar ya, orang yang sudah berani berhadapan denganku  enggak akan merdeka sebelum mereka sudah menyerah. Dan itu sudah menjadi tanda bahwa anak orang miskin kayak kamu itu pantas ‘ngaca dulu sebelum berhadapan sama aku.”

Tatapan demi tatapan seluruh siswa dan siswi disana mulai beralih menatap Min Jung dan Hana. Mereka semua hanya bisa terdiam melihat perdebatan yang Min Jung lakukan dengan Hana. Keangkuhan Min Jung menyita seluruh perhatian anak-anak disana.

“Hahaha,” Min Jung tertawa puas melihat semua tatapan-tatapan menuju kearah Hana dan Min Jung. “Sadar gak sih? Harapan kamu sama Joomyun itu terlalu tinggi!” Min Jung berteriak dihadapan Hana.

“Apalagi sama kita?! Udah jadi siswi sok pintar disekolah, belagu pula. Mau menjadi kekasih Joomyun lewat kertas kumuh seperti ini? Hah, konyol.”

Darah Hana telah naik pitam setelah Min Jung puas menyindir dihadapan semua mata yang sedang menatapinya. Dengan penuh sorot mata yang memanas, Hana mulai menyindir balik Min Jung.

“Hei! Maupun kamu bilang aku memang gak selevel sama kamu, bukan berarti aku  gak benci sama kamu! Kekayaan dan kecantikan juga bukan level diriku seperti kamu yang memang centil! Terkenal hanya menjadi pacar salah satu idol sekolah itu gak ada gunanya! Dan aku sangat-sangat mebencimu disaat aku mendengar kata-kata tidak bergunamu keluar begitu saja tanpa dipikir ulang. Dan kamu adalah salah satu perempuan tersinting yang pernah ada dimuka bumi! Yang hanya memikirkan kecantikan serta kekasih seorang lelaki mapan dan tampan.”

Wajah Hana terlihat memerah disaat ia mengeluarkan luapan emosinya.

Mereka semua yang memperhatikan Hana dan  Min Jung tertegun mendengar rentetan Hana yang lebih menyindir dari pada Min Jung. Terkenal pendiam, ternyata Hana memiliki kata-kata yang pedas bagi yang menyindirnya. Min Jung memasang wajah geram dan emosi. Sorot matanya sudah bisa ditebak bahwa ia naik pitam karena mendengar luapan emosi Hana yang terucap begitu saja didepan semua orang.

“KAU! ANAK MISKIN YANG TIDAK BERGUNA!”

Hana segera menutup kedua bola matanya disaat Min Jung bersiap menampar Hana.

Hap!

Namun, tangan kanan Min Jung yang sudah terangkat keatas terhenti seketika. Seseorang telah mencengkram tangannya. Dan dia adalah Joomyun.

“Apa-apaan kau, Min Jung?” Joomyun membentak Min Jung dengan pelan.

Perlahan-demi perlahan Hana membuka kedua kelopak matanya. Dia kembali melihat  seseorang yang tengah melindunginya.

Ya Tuhan.. dia datang kembali..

“Joomyun..k.k..ka..mu kenapa ada.. disini?” Min Jung terlihat gelagapan disaat Joomyun telah melindungi Hana lagi.

“Apa yang dikatakan Hana itu benar. Kau hanyalah wanita yang selalu memikirkan kecantikanmu sendiri.” Kata Joomyun sambil melepas lengan Min Jung yang ia cengkram.

“Dan.. kertas apa yang sedang kau pegang ini?” Secepat kilat Joomyun mengambil kertas yang masih digenggam tangan kiri Min Jung. Dengan cermat, Joomyun membaca secara teliti tulisan yang berada dikertas itu.

“Kau cemburu hanya karena kertas ini?” Joomyun menatap tajam Min Jung sambil melayangkan kertas digenggamannya tepat kearah wajah Min Jung.

Skat match. Min Jung terpojok sendiri oleh kekasihnya sendiri.

“Eng.. itu..itu..”

“Itu apa? Jika saja Hana memberikan surat ini dua hari yang lalu, mungkin aku akan segera memutuskanmu lalu menjalin hubungan dengan Hana.”

Serasa penuh ombak yang menghantamnya, Min Jung tidak percaya apa yang dikatakan oleh Joomyun. Kekasihnya sendiri  berani berkata seperti itu dengan wajar dihadapannya langsung. Dan juga Hana yang tidak percaya apa yang dikatakan Joomyun tadi.

“Untungnya kita belum pernah berciuman. Harga ciumanku ini lebih tinggi dari semua peralatan kecantikkan mu. ”

Hancurlah sudah.

Harga dirinya yang selalu dibanggakan bapak dan ibu guru  disekolah sudah hancur karena permasalahan yang dibuat olehnya sendiri.

Joomyun menjeda perdebatannya sebentar. Ia berbalik menatap Hana yang tengah menundukan kepalanya. “Hana-ya? Kau tidak apa-apa’kan?”  berbanding terbalik dari ucapannya yang menusuk hati Min Jung, Joomyun berkata lembut seraya mengkhawatirkan Hana.

Hana tidak kuat menahan tangisannya. Dengan cepat, Hana segera berlari menjauhi semua mata yang tengah melihat dirinya serta kedua orang dihadapannya. Berlari tanpa arah dan mengurungkan niatnya menuju kekelas.

“Hana!!” Joomyun segera menyusul langkah Hana yang perlahan-lahan mulai menjauh.

Min Jung yang juga mengejar Joomyun segera memanggilnya dan menangkap lengan Joomyun. “Joomyun! Tunggu sebentar—“

“Kau ingin apa lagi?” Joomyun membalikkan badannya dan melepas pegangan tangan Min Jung. “Sudah cukup bukan kau telah menyakiti Hana?”

“Mengapa kau selalu mengejar anak itu hah?”

“Karena aku cinta dengannya. Menyakiti Hana sama saja menyakiti diriku juga.” Min Jung kembali terdiam sesaat setelah Joomyun menjawab pertanyaannya.

“Tapi aku—“

“Mulai sekarang kita jaga jarak. Detik dan menit ini kita sudah tidak mengenal satu sama lain.” Joomyun kata dengan ekspresi datarnya dan segera berbalik arah lagi untuk mengejar Hana.

Min Jung yang tak rela kehilangan Joomyun segera berucap lagi. “Joomyun—“

“Kita putus.” Seolah beribu tombak besi menyerang bentengnya dengan liar, hati Min Jung hancur seketika. Ia diputuskan ditengah beberapa tatapan anak-anak satu sekolahan yang menyaksikan langsung drama kecil ciptaannya. Joomyun tidak peduli dengan Min Jung yang menangis dan akan mengadu kepada orangtuanya. Yang sekarang ia pikirkan  bagaimana ia bisa menemukan Hana secepatnya. Ia tak ingin kehilangan sosok gadis pencuri hatinya.

Karena ia sudah berjanji..

Untuk melindungi Hana dari jauh maupun dekat.

 

 

 

Hana sedang berjalan menuju kerumahnya dengan emosi yang tertahankan. Tangisannya tidak kunjung berhenti. Berjalan cepat seorang diri ditrotoar jalan yang ditemani sorotan cahaya lampu jalanan.

Langkahnya tidak berhenti. Kejadian tadi pagi selalu terulang dan terulang. Ia membolos semua pelajarannya dengan pergi dari sekolah menuju ke taman kota seorang diri. Sempat ia memainkan biola disana. Namun pelampiasannya terhadap biola yang ia mainkan tak juga berhasil.

Beruntungnya Hana tidak kepergok oleh banyak orang bahwa ia adalah salah satu murid SMA yang terkenal dikota ini karena membolos sekolah. Sekali-kali ia membolos sekolah apa salahnya?

Langkahnya tetap tak berhenti menyusuri jalanan aspal yang perlahan-lahan akan dingin karena udara malam yang mulai dingin. Tas biolanya ia pegang dengan erat.

Beberapa langkah kemudian, ia tersadar jika ia sudah sampai didepan rumahnya. Entah kenapa dayanya yang sudah ia pakai untuk berjalan cepat menuju kerumahnya sudah habis begitu saja. ia berjalan menuju kehalaman rumahnya lalu mengetuk pintu rumahnya dengan lemas.

Tok..Tok..Tok..

Tas biolanya terasa begitu berat saat ia memegangnya dengan satu tangan. Wajahnya yang tadi sembab tergantikan dengan wajah yang pucat. Matanya terlihat sayu. Hana merasakan tubuhnya akan melayang entah kemana. Tak ada jawaban.. ia kembali mengetuk pintu.

Tok..Tok..

–Kriek

Baru saja Hana akan mengetuk ketiga kalinya pintu rumah terbuka perlahan dari dalam. Menampakan siluet sang Ayah yang sudah menanti kedatangannya.

Aku...pulangg—.” salam Hana dengan lesu. Disaat Hana telah mengucap salam, tiba-tiba tubuhnya lunglai san tak sadarkan diri.

Dengan sigap sang Ayah langsung menangkap tubuhnya dan memposisikan tubuh Hana agar menyender didadanya. Tas biola yang Hana pegang terjatuh sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.

“Nggaaa-nhaaa?” Ayah menepuk pipi Hana dengan pelan. Tersirat diwajahnya jika sang Ayah mencemaskan anak semata wayangnya. Saat ia menyentuh kening dan urat nadi ditangan Hana, suhu tubuhnya dingin. Ia pasti kedinginan saat menuju kemari. Dengan perlahan dan hati-hati, Ayah segera menggendong Hana ala bridal style kedalam rumah.

 

Kukuruyuk!

Kokokan sang ayam jantan mulai mengiri sang surya terbit di ufuk barat. Mengawali embun dingin dipagi hari yang mengendap dikelopak-kelopak bunga serta daun-daun yang senantiasa menjadi oksigen alam bagi seluruh permukaan bumi.

Hari ini Hana sedang menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Tak lupa ia menyiapkan tas biolanya yang terpajang rapih didekat ranjang kasurnya. Rambutnya yang telah terkuncir rapih seperti biasanya sudah mencerminkan bahwa ia sudah siap kesekolah.

Seingatnya tadi malam ia belum menyiapkan baju sekolahnya untuk esok hari.

Ah..palingan aku saja yang lupa..

Baiklah.. Hana sudah siap berangkat kesekolah.

Kriek…

Hana membuka pintu kamarnya. Membawa tas biolanya dan menuju keruang tamu. Ia segera duduk disalah satu sofa rumah dan menyiapkan sepatu sekolahnya.

Saat ia akan memakai sepatunya, ia tak sengaja melihat secarik kertas putih yang terpajang diatas meja. Ia memperhatikan kertas itu dengan lekat. Dengan raut wajah yang penasaran ia segera membacanya dan mengejanya.

“Hana..maaf, hari ini Ayah tidak bisa mengantarmu ke sekolah. Ayah ada urusan mendadak. Karena Ayah takut pulang terlambat, Ayah titip kunci rumah kepadamu.” Hana melihat sebuah kunci yang tadi terletak disamping surat itu. “Ayah juga sudah menyiapkan sarapan pagi untukmu. Dan.. Ayah harap kamu baik-baik saja disekolah. Jangan nakal dengan teman-temanmu. Jika kamu takut pulang sendiri, kau bisa mencari teman yang akan mengantarmu. Dan jangan lupa berterimakasih kepadanya. Semoga harimu indah, sayangku.. Salam hangat, Ayah. Cih..indah? dunia ini sudah berbanding terbalik seperti yang kau bilang.” Hana memutar kedua bola matanya sehabis ia membaca semua tulisan yang ditulis Ayahnya.

“Nakal? Kau pikir aku anak kecil? Haha! Lelucon..” ia tertawa hambar disaat mengomentari surat yang dibacanya. Ia menoleh kearah ruang dapur. Disanalah harum makanan buatan Ayahnya tercium dari tempatnya. Perutnya sudah berbunyi. Ternyata tak bisa diajak kompromi. Akhirnya ia menyerah untuk mengisi perutnya terlebih dahulu.

 ***

            Ditengah sudut kota, terlihat sebuah kafe elit yang tengah didatangi oleh beberapa orang. Nama kafe itu V’eiko La Coffee. Racikan kopinya yang memang sudah dikenal oleh kalangan masyarakat disana tidak pernah sepi dikunjungi disaat hari weekend dan juga breakfeast.

Waktu memang menunjukan pukul enam lewat lima menit. Beberapa orang telah datang untuk sarapan pagi –bagi yang belum sarapan dirumah mereka.  Terdengar alunan piano lagu Canon in D yang terdengar sedikit nyaring nan lembut diseluruh penjuru dalam kafe tersebut. Piano solo itu terdengar menyenangkan untuk memulai aktifitas dipagi hari ini.

Dialah Ayah Hana.

Ayah berkerja dikafe ini sebagai pianis disaat shift pagi ataupun malam—walaupun Ayah sering sekali mendapat shift pagi. Ayah Hana lebih menyukai permainan klasik. Bukan berarti ia membenci semua genre lagu yang pernah ia dengar. Lagu yang sedang ia mainkan ini salah satu lagu favoritenya dan juga Hana saat anak gadisnya itu masih menginjak kelas dasar. Berduet bersama dengan dawai biola yang ikut serta memadu semua komposisi solois piano.

Pagi hari ia dijemput oleh salah seorang teman baik kerjanya bahwa sang manager ingin dia melayani shift pagi. Maksudnya dengan jam yang lebih pagi dari seperti biasanya. Dan ia mulai memainkan beberapa lagu-lagu klasik yang diminta oleh manager pemilik kafe ini. Katanya, seseorang pelanggan ingin mendengarkan beberapa lagu klasik yang biasa ia mainkan. Dan disana hanya ada dua orang yang bekerja sebagai pianis. Salah satunya Ayah Hana yang sangat menyukai dan pandai dalam memainkan lagu klasik.

Ayah Hana masih saja memainkannya dan juga menikmati setiap alunan yang dimainkan dengan lihai. Enteng dan santai. Itulah kesan semua orang saat mendengar alunan piano Ayah Hana.

Setelah lagu selesai, beberapa orang disana bertepuk tangan dengan meriah. Mereka semua yang sudah terhibur oleh permainan sang Ayah tersenyum riang dan mengapresiakan kekaguman mereka lewat tepukan demi tepukan tangan mereka.

Ayah segera beranjak berdiri dan membungkukkan badannya dengan hormat atas pujian dari mereka semua. Saat Ayah akan duduk kembali, ia dipanggil oleh managernya.

Kyung..bisakah kita bicara sebentar? Ada seseorang yang ingin berbicara denganmu.” Sang Ayah yang memang tidak tahu apa-apa kembali beranjak dan pergi menuju kearah managernya. Ia diajak oleh sang manager kafe untuk pergi duduk menuju kearah bangku seseorang lelaki paruh baya berkisar lima puluh tahunan.

“Pak..ini orang yang saya bicarakan kepada Anda,” seseorang yang tengah duduk bersama kopi pesanannya segera menoleh kearah Pak manager lalu berdiri. “Kyungsoo..ini Pak Seung Hyo. Beliau salah satu pemilik kafe kita.. dan Pak Seung Hyo, perkenalkan ini Kyungsoo. Salah satu pianis dikafe ini.”

Sang Ayah memandang seorang lelaki berjas hitam ini dengan ramah. Dilihat dari kepribadiannya, dia juga terlihat ramah jika berbicara dengan sopan. Lelaki yang bernama Seung Hyo itu segera tersenyum dan mengulurkan tangannya.

“Hai..Kyungsoo, namaku Seung Hyo. Silahkan duduk.. Pak Kim.. mari,” Ayah segera berjabat tangan kepada lelaki itu. Dan akhirnya sang manager dan juga Ayah segera duduk yang telah disediakan.

“Sebelumnya saya baru pulang dari Jepang. Dan karena saya rindu dengan tempat yang saya dirikan ini  bersama Pak Kim—managermu dikafe ini..saya mampir kesini. Maklum..orangtua seperti saya suka mencari tempat yang tenang dan..yah, seperti ini.” Ayah menampakan senyumannya dan tertawa kecil mendengar ucapan lelaki tua pemilik kafe. Sama sepertinya, kedua lelaki pendiri kafe dimana ia bekerja ikut tertawa –menertawai diri mereka sendiri.

“Kata Pak Kim, kau memiliki anak yang cantik. Apakah kamu yang menikah dengan Jeon Eun Ri?” Darimana lelaki tua ini tahu nama istrinya? Kyungsoo memandang laki-laki itu dengan lesu, Ia jadi teringat wajah Eun Ri yang tertawa dan tersenyum tulus tanpa paksaan.

“Oh..maafkan saya, saya tahu jika Eun Ri sudah meninggal. Saya adalah Ayah dari Ibu Eun Ri. Maaf jika kau kembali teringat dengannya.” Sang Ayah sedikit terkejut mendengar perkataannya bahwa ia adalah Kakek Eun Ri, istrinya. Akhirnya ia mengangguk. Memaafkan perkataan Kakek dari istrinya.

“Eun Ri pernah bercerita kepada saya, ia amat mencintai seorang pianis yang amat tampan dan ramah dibandingkan lelaki lain yang berusaha melamarnya hanya karena kepandaiannya. Dan akhirnya saya bisa bertemu dengan lelaki yang dicintainya.” Ayah Hana kembali mengangguk dan masih memasang wajah ramah.

“Dulu saya sangat menyesal karena saya tidak datang diacara pernikahan kalian. Dan pada saat acara pemakaman Eun Ri, saya sempat melihat kamu. Tapi, karena saya memiliki urusan mendadak sehingga saya harus menunda waktu saya untuk berbicara denganmu. Ngomong-ngomong bagaimana dengan cicit saya? apakah cicit saya cantik seperti Eun Ri dan manis seperti Ayahnya?” Sang Ayah tersipu malu mendengar ucapan Kakek dari almarhumah sang Istri. Mereka bertiga tertawa kembali.

“Tidak usah malu..aku yakin anakmu dan Eun Ri memiliki sifat yang baik dan cantik seperti Ibunya. Semoga kalian tetap menjadi keluarga yang bahagia.” Ayah Hana mengangguk kepalanya singkat agar tetap tegar.

“Soal yang lainnya.. saya benar-benar berterimakasih kepada kamu karena telah bekerja ditempat saya. Tanpa adanya pianis seperti kamu, tempat ini terasa hambar seperti kopi pahit. Betul? Pak Kim?” manager kafe yang dipanggil Pak Kim itu mengangguk dan tersenyum kearah Ayah Hana.

“Pak Kim sering bercerita kepada saya bahwa kamu adalah pianis muda yang handal dengan keterbatasan fisik kamu. Maaf..saya tidak bermaksud untuk menyinggung, tetapi saya sungguh bangga sekali dengan pekerjaan yang kamu lakukan. Untuk itu..saya ingin menawarkanmu untuk menjadi pengiring ditempat teman saya. Anaknya berulangtahun yang berumur lima belas tahun. Karena anaknya sungguh menyukai lagu-lagu klasik dan juga piano, ia sedang mencari seorang pianis handal. Dan akhirnya saya bisa membantunya karena saya sudah menemukan pilihan yang tepat.”

Tuhan..inikah anugrahmu?

Ayah Hana tidak percaya bahwa ia akan mendapatkan tawaran karena menganggumi kemampuannya.

“Tenang saja..bayaran kamu disini akan saya lebihkan atas izin saya dan juga Pak Kim. Ditambah kamu bersedia menjadi pengiring lagu diperayaan ulang tahun anak teman saya. Apakah kamu bersedia?”

Betapa bahagianya sang Ayah mendapatkan uang yang cukup banyak dari hasil kerjannya selama ini. Ternyata permintaan kecilnya didengar oleh Tuhan. Ayah Hana mengangguk mantap tanpa ada persyaratan. Ia sangat senang sekali. Kebutuhan kedepannya akan sangat cukup untuk memenuhi segala macam ekonomi keluarganya. Terutama hadiah ulang tahun untuk gadis kecilnya.

 

Disisi lain, Hana sedang memainkan biolanya seorang diri diruang music sekolahnya. Ia memainkan biolanya dengan raut wajah serius saat memainkan lagu klasik Canon in D. Hana sangat ingat pertama kali ia dikenalkan lagu ini oleh Ayahnya saat Hana tertarik dengan benda peninggalan almarhumah Ibunya. Ia belajar bersama teman Ayahnya seorang violin. Sampai ia benar-benar sudah handal bermain, Hana dan Ayahnya berduet memainkan lagu klasik favoritnya dan juga Ayahnya.

Itu semua telah berlalu.

Hana sudah jarang bermain lagu favorit mereka disaat waktu senggang. Umurnya yang mulai dewasa mulai merubah pikiran dan emosinya. Ia menjadi anak yang pendiam. Disekolah maupun bersama Ayahnya sendiri.

Ngiek!

Hana telah menyelesaikan lagunya. Tetapi masih saja memasang wajah dingin dan begitu datar.

Ia membawa biolanya kesekolah disaat ada jam pelajaran tambahan serta ingin memainkannya. Ekstrakulikuler sekolahnya memang sudah berakhir. Ia lebih memilih pulang lebih belakangan dari pada memasuki rumah disaat dia benar-benar kesepian.

Tes..tes..

Perlahan-lahan, butiran bening miliknya keluar begitu saja. ia tidak tahu apakah ia memang sangat menyesali dirinya sebagai anak yang egois terhadap dirinya sendiri dan juga Ayahnya. Kejadian disekolah kemarin berputar selayaknya jarum jam yang rusak dikepalanya.

Mengapa hidupku penuh dengan kesedihan seperti ini…

Ia menurunkan biola serta gesekan biolanya. Menundukan kepalanya dengan dalam dan isakan kecil mulai terdengar.

Ia benci terhadap dirinya sendiri. Setiap harinya ia berusaha agar menjadi anak yang memiliki masa-masa yang bahagia. Namun apa yang diharapkannya berbanding terbalik seperti didunia cermin. Andai ia bisa mengetahui dimana cermin hidupnya berada, ia ingin bertukar jiwa dengan cermin itu.

Itu mustahil..

Sebab dirinya sendiri yang telah menciptakan egonya penuh kegoisan sendiri. Dimana ia memang tidak menyukai dirinya, dan juga Ayahnya yang berbeda –sangat berbeda dari teman-temannya yang lebih mapan darinya.

Tangisannya teredam didalam ruang music ini yang kedap suara. Ia terjatuh berlutut ditengah ruangan yang cukup besar itu. Cermin panjang yang terpajang tak jauh dari hadapan Hana memancarkan siluet gadis yang tengah bersedih.

Ia menyesal bahwa ia harus terlahir dalam kehidupan yang amat menyedihkan.

 

 ***

Hari sudah menjelang malam. Bintang-bintang mulai tampak menyinari kelamnya bumi. Seiringnya dengan detik jam, Hana melangkahkan kakinya dengan gontai.

Setelah ia memuaskan diri dengan alunan sedihnya disekolah, Hana segera pulang menyusuri trotoar seperti biasanya. Wajahnya sedikit sendu dengan rambut kepangnya yang sedikit berantakan. Ia berjalan pelan sambil menatap jalanan trotar yang sedang ia tapaki sekarang. Tas biolanya ia tenteng dengan kedua tangannya dibawah lututnya.

Ia tidak tahu bahwa ada segerombol anak laki-laki yang tengah menongkrong dibawah sinar lampu jalan dengan sebuah mobil. Hana tidak peduli mereka siapa, yang Hana inginkan bahwa ia harus membuka pintu rumah duluan.

“Apakah aku tidak salah liat? Seorang wanita cantik berjalan sendiri tengah malam?” Hana mendongak kepalanya keatas untuk melihat siapa yang tengah menyapa. Seseorang yang menyapanya  salah seorang teman disekolahnya yang berteman dengan Min Jung.

“Ah..Nǐ hǎo Luhan, nǐ wèishéme zài zhèlǐ? Rúguǒ nǐ de fùmǔ wèi nǐ dānxīn qù yè tōngxiāo?–Hai Luhan, kenapa kamu disini? bagaimana jika orang tuamu khawatir kau pergi malam-malam seperti ini?

Hana menundukkan kepalanya sekilas untuk mengucapkan salam kepada seseorang dihadapannya yang bernama Luhan. Luhan salah satu teman murid pindahan China yang mempunyai alasan karena Ayahnya sedang bertugas disini. Yang Hana ketahui Ibunya tinggal bersama adiknya di China. Ia sedikit bingung, Luhan yang baru satu tahun bersekolah ditempatnya sudah sangat akrab ditempat ini ditambah statusnya disekolah sebagai anak terpopuler seperti Min Jung. Walaupun Hana seangkatan dengan Luhan, ia tidak terlalu dekat dengan Luhan.

“Mengapa kau  berbicara bahasa Mandarin? Aku juga bisa berbahasa sepertimu. Jangan seformal itu’lah dengan ku. Masalah khawatir? Mereka sudah tahu bahwa aku butuh bersosialisasi.” Jawab Luhan menggelengkan kepalanya dan tertawa geli seolah-olah menertawai anak yang sedang belajar berjalan lalu terjatuh dan menangis.

“Maaf jika bahasaku terlalu formal untuk didengar.” Kata Hana sambil tersenyum kecil.

Well..gadis cantik sepertimu mengapa pulang selarut ini? Aku pikir hantu-hantu sudah berkeliaran memakan siapapun yang masih berada disekolah itu..” Luhan mengisap rokoknya yang berada dijepitan dua jari kanannya dan mengeluarkan asap berbau nikotin itu dari mulutnya. Hana yang sedikit menghirup asap rokok milik Luhan terbatuk-batuk karena tidak kuat menghirup asap yang mengandung nikotin itu.

“Tidak..aku memang selalu pulang belakangan. Ada pelajaran tambahan disekolah.” Hana mengipas pelan wajahnya untuk menghindari masuknya asap keindra penciumannya.

“Bagaimana jika kau ikut denganku. Lumayan bukan untuk melepas penatmu selama pelajaran disekolah?” Tawar Luhan dengan wajah manis andalannya yang dapat meluluhkan hati setiap wanita. Tetapi tidak bagi Hana. Sejauh ini, hanya Hana perempuan satu-satunya yang tidak terpengaruh dengan wajah manis nan imut milik Luhan.

“Kemana? Maaf..aku tidak punya banyak waktu untuk ikut bersamamu,” tolak Hana dengan halus. Masih tidak terpengaruh dengan wajahnya? Luhan mulai merayu Hana dengan andalannya seperti setiap wanita yang akan ia jadikan kekasihnya.

“Aku tidak akan menyentuhmu. Kita hanya minum bersama saja..” Tawar Luhan dengan lembut. Luhan mengajak Hana agar mendekati mobilnya yang terpakir bersama beberapa teman-temannya Tetapi Hana masih saja menolak lembut dengan cara menurunkan kedua tangan Luhan yang merangkul bahunya.

“Maaf, Luhan. Aku juga tidak terlalu biasa meminum-minuman seperti itu. Aku harus segera pulang..”

Luhan menatap Hana dengan sendu. Mengapa perempuan seperti Hana benar-benar tidak bisa teroengaruh seperti perempuan lain yang pernah ia temui selama ini? Luhan tertawa kecil lalu menggeleng-gelengkan kepalanya seperti ada yang lucu.

“Hana..Hana. Kenapa kau selalu menolak semua permintaan baikku? Padahal para wanita genit disekolah sialan itu saja tidak pernah menolak permintaan baikku.” Luhan tertawa pahit kearah Hana yang memasang wajah bingung. “Bahkan diantara mereka mau aku tiduri tanpa paksa sekalipun. Oh..maksudku mereka yang ingin merasakan bagaimana mereka bisa menciumku sepuas hasratnya.” Perasaan Hana mulai tidak enak. Luhan semakin meracau tidak jelas.

“Kenapa kau selalu milih anak yang bernama Joomyun itu..huh? apakah aku kurang mapan untuk membelimu sebuah make up dan juga baju-baju keluaran terbaru yang kau inginkan? Apakah wajahku juga kurang tampan seperti yang kau inginkan? Mengapa Hana..?” Satu langkah Hana mundur. Luhan sudah meracau tidak jelas. Ia tahu pasti Luhan juga melihat perdebatannya dengan Min Jung dimana Min Jung menyebarkan aibnya lewat surat cintanya untuk Joomyun.

“Maaf Luhan-ssi, aku belum terbiasa untuk melakukan hal-hal seperti itu. Jadi..kau bisa mengajak wanita lain selain diriku. Permisi—“

“Sudahlah Hana..ayo kita minum terlebih dahulu, pasti kau lelah karena pelajaran tambahanmu itu.” Luhan menyeret Hana dengan halus ketempat teman-temannya yang berada ditempat sana. Hana tidak bisa menolak lagi. Ia tidak mau jika Luhan kembali meracau tidak jelas karena pengaruh alcohol dari minuman yang Luhan minum—itu sudah jelas.

 

Ayah duduk dengan perasaan yang resah. Jam dinding yang tergantung diruang dapur sana menunjukan pukul tujuh kurang lima belas menit. Detik dan menit itu menunjukan larut malam yang kian malam disetiap poros bumi yang berputar. Ayah masih duduk sendiri dimeja makan dengan beberapa hidangan makanan yang sudah siap disantap kapanpun.

Asap panas masakannya mengepul begitu saja. Ayah hanya bisa menatap semua makanannya dengan cemas. Dia cemas mengapa Hana belum pulang sesaat ia sudah pulang saat pukul setengah tujuh tadi. Ayah memang memiliki kunci duplikat rumah yang digantung bersama kunci motornya.

Ayah tidak mempermasalah mengapa rumah masih terkunci. Beberapa menit, ia kembali melirik jam dinding bewarna putih itu. Hatinya sungguh resah.

 

“Huft..untung saja masih ada apotek yang buka.”

Joomyun yang sedang mengendari mobilnya mendesah pelan melihat sekantung obat yang tergeletak disampingnya. Ibunya menyuruh beli obat merah dan beberapa obat lainnya karena persediaan yang sudah habis. Untung saja hari ini pekerjaan sekolah hari ini hanya ada satu mata pelajaran.

Disaat ia tengahmenyusuri jalanan lebar nan gelap ini. Joomyun melihat sosok wanita dan segerombol laki-laki sedang meminum sesuatu didekat salah satu mobil. Saat ia menajamkan kedua bola matanya, Joomyun mengenal sosok mereka semua.

“Hana? Mengapa dia bersama anak pindahan itu? Aku harus menolongnya.”

Jalanan disana cukup sepi. Sehingga Joomyun bisa memakir mobilnya dengan asal. Setelah ia memakir mobilnya cukup dekat dari objek yang dilihat Joomyun, ia segera turun dari mobilnya.

“Hei! Kalian! Jangan menyentuh Hana sembarangan!” Joomyun berteriak kearah segerombol anak laki-laki yang seumuran dengannya. Disana ia melihat Hana yang memakai baju sekolah dan mabuk akibat meminum minuman keras yang tak biasa diminumnya. Luhan terlihat geram oleh kehadiran Joomyun. Tanpa aba-aba Joomyun memukul pipi Luhan dengan keras.

Bugh!

Tubuh Luhan terjatuh begitu saja. teman-temannya yang tengah terdiam tadi segera membantu Luhan agar berdiri kembali. Sementara Hana ia tuntun untuk berjalan menuju kemobilnya.

“Ayo aku antar pulang,” Joomyun membantu Hana dan membawa tas biola Hana kedalam mobil. Ia segera membuka pintu mobil depan untuk Hana dan memasukan  tas biola Hana dikursi penumpang belakang.

Luhan yang sudah kembali berdiri dengan semula menatap geram sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah dan membiru itu. “Sialan kau! Berani-beraninya kau menghancurkan acaraku—“

“Jauhi Hana detik ini jika kau tidak ingin kubocorkan soal kehamilan Sujin yang menyebabkannya bunuh diri.” Perkataan Joomyun menghentikan langkah Luhan yang akan mendekatinya. Luhan tidak percaya bahwa Joomyun mengetahui kesalahan terbesarnya yang terumpat sangat rapih itu.

Akhirnya Joomyun segera memasuki mobilnya dan melaju kencang menuju kerumah Hana. Luhan hanya bisa berdiam diri ditempatnya. Ia tidak bisa membayangkan jika Joomyun membocorkan rahasianya kepada seluruh sekolah serta keluarga salah seorang wanita yang disebutkan Joomyun.

 

Tok..Tok..Tok..

Disaat kecemasan sang Ayah masih melilit semua relung hatinya, seseorang telah mengetuk pintu rumahnya. Sontak Ayah menoleh kearah pintu itu dan segera menuju kearah sana. Setelah ia membuka pintu rumahnya, betapa terkejutnya tamu yang datang adalah Joomyun yang sedang membopong Hana dan membawa tas biola Hana.  Sang Ayah melihat Hana dengan penuh tatapan khawatir sekaligus cemas melihat anaknya mabuk seperti ini.

“Selamat malam Paman. Maaf jika kedatangan saya menganggu Paman. Tadi, saya melihat Hana mabuk didekat jalan. Saya juga tidak tahu mengapa Hana berada disana, tetapi keadaannya baik-baik saja.”

Joomyun meyakinkan Ayah Hana agar kecemasan Ayah sudah mereda. Sebelah tangannya menyerahkan tas biola Hana kepada Ayah.

Ayah sangat berterimakasih kepada Joomyun. Ia membungkukkan badannya dan mengucapkan terimakasih  walaupun suara Ayah yang memang tidak jelas untuk didengar. Joomyun mengerti apa yang dikatakan oleh Ayah Hana. Dengan senyuman, Joomyun menundukkan kepalanya.

“Tidak apa-apa Paman, kehormatanku untuk membantu Paman. Saya hanya ingin Hana baik-baik saja. Saya permisi dulu Paman..selamat malam,” Akhirnya Joomyun menyerahkan Hana kepada sang Ayah. Ayah yang masih memegang bahu Hana memperhatikan mobil Joomyun pergi ditengah kelamnya angin malam. Ayah segera menutup pintu rumah dengan sebelah tangannya karena menepong Hana agar tidak terjatuh.

Huk! Aku dimana..apa aku masih bersama anak itu huh?” efek alcohol yang Hana minum masih bereaksi disaraf otaknya. Tersenyum-senyum sendiri dengan kedua matanya yang sayu.

Nhaa.. ngaahaaaa..ngahaaangaa..” –Nak..sadar, sadarlah..

Ayah berusaha menyadarkan Hana dari efek mabuk. Sebenarnya Hana memang sudah sadar, namun karena masih terpengaruh oleh minuman keras, Hana masih meracau tanpa meperdulikan keadaan dirinya.

“Oh..aku sudah pulang—huk!” sesekali Hana berkata sambil cegukan. Ayah hanya menggelengkan kepalanya sebentar dan berusaha menuntun tubuh Hana yang masih sempoyongan.

“Menyingkirlah..” Hana berusaha melepas kedua tangan Ayahnya yang berada dimasing-masing pundaknya. Ayah melepas kedua tangannya dari pundak Hana.

“Nggaaa-nhaaa?” Ayah memanggil Hana dengan pelan. Langkah Hana yang sempoyongan itu berhenti. Lalu menoleh kearah Ayahnya yang masih mematung didekat pintu.

“Ada apa? Huh? Kau senang melihat tampilanku yang cantik ini? Hahahaha,” Hana menertawakan ucapan sendirinya yang terlihat seperti orang bodoh.

Ngewaaangaee ngaauu nguuw uullhaa aaam ngengiyae?” –Mengapa kamu baru pulang jam segini?

Dengan Bahasa isyaratnya, Ayah menanyakan kepulangan Hana yang baru saja diantar oleh Joomyun.

“Ngaaauuu mungeyaaaa amayah aawwuu?” –Kamu punya masalah apa? . “Ngeyiyahh aangaee aaayyaahh.” –ceritalah kepada Ayah.

Hana sama sekali tidak memperhatikan Bahasa isyarat Ayahnya yang terlalu cepat karena cemas terhadap dirinya. Seolah memandang remeh kecemasannya, Hana kembali tertawa dan meracau.

“Kau khawatir denganku? Huh? Hahahaha!” Hana tertawa lucu melihat ekspresi wajah Ayahnya.

“Aku akan cerita mengapa aku bisa pulang semalam ini.” Hana masih memasang wajah gembiranya yang masih terefek dengan minuman alkoholnya. Sebelum berkata lagi Hana menyibakkan beberapa poni rambut yang menghalangi wajahnya. “Ayah mau tahu’kan mengapa aku pulang malam setiap harinya juga? Heh?”

Ayah diam ditempat sambil melihat Hana dengan tatapan sedih. Hana tidak peduli dengan tatapan Ayahnya itu. Ia hanya ingin bercerita seperti yang Ayah tanyakan setiap hari disaat ia telah pulang kerumah.

“Karena aku sedih mengapa kehidupanku sangat menyedihkan. Dan terlahir didalam keluarga seperti ini.”

Deg..

Entah apa yang dirasakan Ayah Hana, bibirnya bergetar pelan.

“Lalu..” Hana memainkan kepangan rambutnya yang terletak didepan bahu kanannya. “Aku juga bingung mengapa aku mempunyai Ayah yang hanya bisa berbicara seperti lebah. Haha! Menyedihkan..” Hana memasang wajah sedihnya dan menundukkan kepalanya.

“Karena itu..aku selalu berpikir bahwa aku memang sudah membencimu, Ayah. Karena kau, teman-temanku disekolah tidak ada yang mau bermain bersamaku dan juga tidak ada yang pernah menganggapku ada dimuka bumi ini!!” Hana berteriak disaat kata terakhirnya didepan Ayahnya walaupun hanya berjarak beberapa senti. Wajah Hana memerah dengan kedua bola matanya yang mulai berkaca-kaca.

Ayah Hana tidak bisa bergerak dari posisinya. Ia paham jika setiap harinya Hana mengumpatkan masalahnya karena secara tidak langung juga bersangkutan dengan dirinya sebagai Ayah Hana. Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca.

Hana menarik nafasnya dalam-dalam sehinga dada dan bahunya naik turun. Emosinya meluap begitu saja. walaupun sepenuhnya Hana sudah sadar, Hana masih ingin mengatakan dengan jujur apa yang sebenarnya ia alami disekolahnya –setiap hari.

“Dari kecil hingga sekarang, Ayah tidak tahu’kan aku selalu diolok-olok oleh semua orang huh? aku hanya ingin bermain bersama mereka tetapi mengapa mereka selalu menghindar dariku? Mengapa Ayah..mengapa..? apakah aku memang anak orang bisu sehingga mereka merasa sial jika aku berada disekitar mereka?” Hana mencurahkan isi hatinya dengan isakkan kecil yang tertahankan.

“Aku malu Yah..aku malu. Karena Ayah yang selama ini begitu memperhatikanku dan selalu memanjakanku. Aku malu kenapa aku juga mempunyai Ayah yang bisu seperti kau! Kenapa?!”

Ucapan yang tidak pantas dikatan Hana itu telah menyayat hati Ayah perlahan-lahan disaat Hana menceritakan curahan hatinya. Butiran bening yang ia tahan terjatuh begitu saja tanpa ia sadari. Betapa sedihnya gadis kecil yang ia rawat mengucapkan kata-kata kasar kepada Ayahnya sendiri.

“Setiap hari teman-temanku selalu berucap dan mengumpat dibelakang punggungku bahwa aku adalah anak si bisu yang tidak pantas masuk disekolah elit! Kerja kerasku selama yang Ayah dukung kepada Hana tetap tidak menghasilkan kebahagian untuk Hana, Kenapa, Yah..”

Perlahan-lahan air mata Hana mengalir bersama isakannya yang ia tahan.

“Mengapa Ibu jahat meninggalkan kita? Mengapa? Apakah aku  anak yang tidak diharapkan oleh Ibu sampai aku harus tinggal bersama seorang Ayah bisu..? hiks..”

Hana tidak kuat menahan tangisannya. Ia segera membalikkan posisi tubuhnya dan mulai melangkahkan kakinya.

Ngaaa—“

“Aku membencimu Ayah.”

Hana segera berlari sempoyongan kekamar. Dan Ayah hanya bisa menatap kepergian anaknya ditempat ia berdiri.

BRAK!

Pintu kamar tertutup dengan keras. Selama beberapa detik suasana hening mulai muncul, Ayah jatuh terduduk dengan lemas. Kepalanya menunduk menatap lantai marmer rumahnya. Butiran air matanya jatuh satu persatu dan kemudian mengalir dengan deras layaknya bendungan yang runtuh. Matanya terpejam erat sambil terisak pelan.

 

 

“Tuhan..tolong maafkan semua dosa anakku, aku yakin suatu saat ia akan menjadi anak yang lebih baik seperti dimasa kecilnya..”

 

 

 ***

            Hari-hari mulai berlalu. Melupakan masa lalu yang buruk dan menyenangkan bagi semua orang yang melupakan arah jam berhenti dihitungan detik dan menit seiring berputarnya poros bumi.

Hana yang sekarang bukanlah Hana kecil yang selalu tertawa riang meskipun ada masalah disekolahnya. Setiap Ayah menunggunya untuk sarapan bersama, Hana sudah pergi meninggalkan rumah terlebih dahulu. Masakannya terbengkalai sampai masakan sudah dingin dan terpajang begitu saja diatas meja makan.

Malam-malam berikutnya Hana selalu pulang malam disaat Ayah sudah pulang pada waktunya. Kecuali pada hari sebelum Hana ulang tahun dimana ada pekerjaan sampingan yang ditawarkan oleh Kakek dari istrinya.

Hana tetap saja tidak peduli dengan Ayahnya yang pulang larut malam tidak seperti biasanya.

Saat malam itu terjadi, Hana sama sekali tidak bertegur sapa sedikitpun kepada Ayahnya yang selalu menunggu\dimeja makan maupun diruang tamu sampai tertidur nyenyak.

Dihati kecilnya ia  merasa bersalah setelah ia mengucapkan umpatan-umpatan kasarnya terhadap Ayahnya langsung disaat ia mabuk. Hah..waktu selalu saja berjalan seiringnya Hana merasakan dosa yang amat besar karena membentak orangtuanya sendiri.

Ia tidak tahu apakah Ayahnya juga membencinya. well..anak pendiam sepertinya tidak tahu menahu tentang keluarganya terutama Ayahnya. Ia akan tahu semua kebenaran itu disaat yang tepat.

 

Jam masih tak berhenti untuk mengelilingi setiap aktifitas yang berjalan setiap detiknya. Tidak lain juga dari sang Ayah yang duduk dimeja makan. Matanya sesekali menoleh kearah jarum jam berputar searah bumi berputar setiap menit dan detiknya. Kedua tangannya dikepal diatas meja karena kedinginan. Diatas meja terlihat sebuah kue tart coklat manis yang ia beli ditempat kerjanya sendiri.

Hari ini.. merupakan hari kelahiran buah hatinya yang bertambah umur.

Hana selalu menginginkan kue tart cokelat disaat ia memohon kepadanya diulang tahun ke-enamnya.

Tetapi.. Dia memungkinkan bahwa Hana memang sudah lupa atas janjinya untuk membelikan kue tart cokelat.

Dengan perasaan yang sedikit resah, Ayah sedikit menundukkan kepalanya sambil melirik kue didepannya yang bertuliskan ‘Happy Birthday my little Butterfly!” dengan lilin berangka ‘17’.

 

Terlihat kedua kaki Hana berjalan lunglai dijalan besar yang begitu sepi. Malam sudah semakin larut ditambah angina malam yang begitu dingin. Setapak demi setapak ia langkahkan menuju perkarangan rumahnya. Sesekali tubuhnya yang amat begitu lemas itu tersorot oleh lampu-lampu disepanjang jalan. Wajahnya terlihat kusut.  Tanpa ia sadari disaat ia berjalan ada setetes darah yang berjatuhan dijalan.

 

Ayah memperhatikan salah satu foto berbingkai tua yang menyimpan banyak kenangan. Digambar itu terlihat jelas seorang lelaki dan gadis kecil yang tersenyum riang dipunggung belakang lelaki itu.

Gambar itu adalah dirinya dan anaknya.

Seorang temannya yang baik hati mengizinkan mereka untuk foto bersama yang berlatarkan padang ilalang. Dan ia sangat berterimakasih kepadanya.

Walaupun sang istri sudah pergi mendahului mereka sebelum anaknnya tumbuh besar, Ayah tetap melaksanakan tugas wajib bagi sang kepala keluarga.

 

Langkahnya yang lunglai telah sampai didepan pintu rumah. Kedua kakinya yang tertutupi oleh kaos kaki dan sepatu hitamnya menapak pelan didepan pintu. Beberapa detik kemudian ia mengetuk pintu rumah dengan pelan

 

Tok… Tok.. Tok..

 

Ayah mengalihkan pandangan kedua matanya dari bingkai foto yang ia pegang. Ia menatap pintu rumahnya itu dengan penuh harapan.

Akhirnya Hana telah pulang.

Ayah segera beranjak dari kursinya dan meletakan bingkai foto itu secara tengkurap.

Seiringnya suara alas kakinya bersama kedua kakinya berjalan,  ada satu perasaan yang janggal hinggap dipikirannya sekarang.

Sampai pintu terketuk kembali…Ayah baru sampai didepan pintu.

 

Tok… Tok.. Tok..

 

Disaat ia membuka pintunya dari dalam, betapa terkejutnya seseorang yang mengetuk pintu rumahnya terjatuh tak sadarkan diri dengan hidungnya yang mengalirkan cairan bewarna pekat.

“Nggaaaa—Nhhaaa?”

Hana—anaknya—tergeletak diteras rumah yang begitu dingin. Masih dengan tas dan seragam sekolahnya yang sedikit ternoda oleh beberapa bercak darah yang berasal dari cairan pekat dihidung Hana.

 

Terlihat siluetseorang lelaki yang sedang menggendong seorang gadis berseragam SMA ditengah kelamnya malam yang sunyi. Sosok itu perlahan-lahan berlari membawa seorang gadis yang ia gendong sambil menangis tersedu-sedu.

Siapakah dia..?

Sosok itu adalah Ayah.

Ayah membawa seonggok tubuh Hana yang terlihat tak berdaya.

 

Kedua kakinya  melangkah tanpa henti. Ayah tidak memperdulikan tubuhnya yang mulai terselimuti angin malam. Ia hanya berpikir penuh bagaimana nyawa Hana dapat diselamatkan. Jarak dari rumah mereka menuju kerumah sakit cukup jauh. Hal itu bukanlah halangan bagi sang Ayah untuk menyelamatkan nyawa anaknya.

Ayah percaya bahwa Hana dapat diselamatkan.

Walaupun jarak yang ditempuh tidaklah dekat dari rumahnya.

Ayah berteriak meminta bantuan seseorang yang berada disekitar jalanan sana.

Tetapi… hanya ada angin malam yang menyahuti suaranya yang hampir habis karena terus berteriak saat Ayah menyusuri jalanan menuju kerumah sakit.

Dan Ayah tidak menyerah begitu saja.

Air matanya masih mengalir deras melewati kedua pipinya karena melihat kondisi Hana yang semakin memburuk.

Cairan pekat yang keluar dari hidung Hana masih saja mengalir sampai menodai seragam sekolah Hana.

Nafas Ayah sedikit terenggah-enggah karena terus melangkahkan kakinya tanpa henti sambil meminta pertolongan.

Pandangan matanya mengisyaratkan bahwa ia sangat takut kehilangan gadis kecilnya.

Inikah perjalanan takdirnya? Ayah percaya…takdir yang telah menimpannya akan menjadi suatu kenikmatan baginya.

Walaupun sedetik jarum jam yang akan kembali mengulang masa lalu ke masa kini.

 

Akhirnya tubuh Hana diletakkan disalah satu ranjang rumah sakit yang akan membawanya keruang UGD. Beberapa perawat bertugas mendorong ranjang dan membawa infus. Kini, pernapasan Hana dibantu alat pernapasan yang dipasang dihidungnya.

Ayah yang ikut menggiring ranjang Hana menatap dengan sedih.

Gadis kecilnya harus terbaring diranjang rumah sakit.

Ayah tak peduli dengan kedua matanya yang  mulai membengkak.

Dan Ayah tidak peduli dengan pakaiannya yang sedikit berantakan ditambah noda darah dibajunya.

Beberapa orang yang berada disekitar koridor melihat para perawat yang membawa tubuh Hana.

Beberapa menit kemudian setelah sampai diruang UGD salah satu perawat memberitahu Ayah agar menunggu diluar ruang UGD.

 “Maaf Pak anda harus menunggu diluar..

Mau tidak mau Ayah harus menunggu hasil pemeriksaan gadis kecilnya.

 

Disisi lain, ranjang rumah sakit yang membawa tubuh Hana segera diposisikan dengan benar. Selang hidungnya yang dipakai Hana telah tergantikan alat bantu pernapasan yang menutup hidung dan mulutnya.

Beberapa alat medis tengah disiapkan disaat pakaian Hana perlahan-lahan dilepas dan diganti baju rumah sakit.

Lampu penerang telah dinyalakan tepat menyoroti wajah Hana yang sangat pucat itu.

 

“..Anak anda positif mengalami leukemia kronis stadium lanjut.”

Apa..

Tetesan beningnya mulai terjatuh perlahan-lahan.

Hana… gadis kecilnya mengalami penyakit yang diidap oleh Ibunya dulu.

Kekhawatirannya yang selama ini ia pikirkan menjadi kenyataan.

Saat Hana pingsan saat akan memasuki rumah, Ayah sempat mengganti baju Hana dengan baju tidur. Namun..disaat ia melihat noda coklat dikerah baju seragam anaknya, perasaan Ayah semakin cemas.

Hana telah berbohong..

Ayah sudah menebak bahwa noda itu adalah darah.

Tetapi ia tidak tahu bahwa kekhawatirannya terulang seperti dulu.

“ ..Dan kondisinya semakin kritis.”

Tangisannya mulai pecah.

Ayah  meracau ‘tidak mungkin’ didepan salah satu dokter yang memeriksa kondisi Hana diruang UGD.

Seorang perawat perempuan yang berada disamping dokter menatap iba sang Ayah.

 “Tolong dokter..”

“Selamatkan nyawa anak saya..”

Ayah melakukan bahasa isyarat sesuai kata hatinya dan juga omongannya yang terpendam dilidahnya yang kelu.

Memohon kepada kedua orang yang menjadi harapannya untuk menyelamatkan buah hatinya.

Tangisannya sangat pilu didengar. Dan Ayah merasakan dunia runtuh seketika saat dokter mengatakan bahwa kondisi Hana sekarang kritis. kedua tangannya segera menutup seluruh wajahnya sambil terduduk meringkuk dikursi tunggu daerah koridor sana .

 

“Tolong selamatkan nyawa anaknya, dok..”

Saat Ayah masih menangis, Ayah mendengar suara seseorang yang sepertinya tidak asing baginya.

Perlahan-lahan Ayah membuka kedua tangannya dari permukaan wajahnya. Betapa terkejutnya Ayah melihat seorang pemuda yang sangat ia kenal.

Joomyun…

Wajahnya yang sembab tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang ia alami sekarang. Dan lelaki ini…selalu ada disaat yang tepat.

“Tolong lakukan pengobatannya dokter..saya mohon..”

Ujar lelaki itu bermohon menggantikan posisi Ayah yang masih meringkuk sedih sambil menatapya.

“Maaf tuan..sebelumnya kita butuh sorang pendonor untuk melakukan transpilasi sumsun tulang belakang—” ujar sang dokter kembali. Pikiran Joomyun mulai sedikit kacau. Sementara sang Ayah yang sudah menghentikan tangisannya segera memanggil Joomyun dengan pelan.

Nhaaee…” –Nak..

Joomyun yang mendengar panggilan parau Ayah segera menoleh dan duduk disamping Ayah.

“Paman..” Joomyun membalas jawaban Ayah dengan senyuman. Setelah Joomyun duduk disampingnya, Ayah segera berbicara bahasa isyarat.

“Ngeeeww—nyaw..nhgiyaee engga—u mhheyingaa… aahaanguu amanggaee enganyyiiee eongguee,” –tolong bilang kepada mereka..aku akan menjadi pendonornya,

Joomyun sempat berpikir sebentar untuk memahami maksud perkataan sang Ayah. Begitu tulusnya Ayah ingin mendonorkan sumsun tulang belakangnya disaat ia masih bersedih.

“Paman yakin?” Tanya Joomyun dengan pelan. Ayah mengangguk pelan dengan pasti. Joomyun memang bukan anak kandung Ayah Hana, namun Joomyun telah menganggapnya sebagai Ayah keduanya walaupun ia masih menyebut nama Ayah Hana dengan sebutan ‘paman’.

Kasih sayang Ayah terhadap Hana dirasakan sendiri oleh Joomyun. Ayahnya yang juga berkerabat dengan Ayah Hana pernah berkata bahwa Ayah Hana sangat sayang terhadap anaknya. Selama ini Ayahnya selalu dibantu oleh Ayah Hana walaupun memiliki keadaan yang sedikit tidak memungkinkan.

Sedikit dengan berat hati, Joomyun berkata kepada dokter yang memeriksa Hana. “Paman saya bilang, ia akan menjadi pendonornya dok, saya akan membayar biaya rumah sakitnya berapapun biayanya. Saya mohon..selamatkan nyawa anaknya dok.”

Sang dokter dan perawat yang berada disampingnya itu saling menatap. Dan akhirnya mereka berdua mengangguk kecil.

“Baik..kami akan memulai operasinya. Soal biaya..tuan bisa mengurusnya di administrasi. Suster, siapkan peralatan operasinya.”

“Baik dokter.”

Akhirnya Hana dapat disembuhkan melalui transpilasi sumsun tulang belakang yang akan didonor oleh Ayah.

Ayah segera mengucapkan kata ‘terima kasih’nya dengan menggenggam kedua tangan Joomyun erat dan kembali melelehkan air matanya.

Suaranya memang tidak jelas didengar, namun Joomyun mengerti apa yang disampaikan oleh Ayah Hana.

“Seharusnya saya yang  berterimakasih banyak kepada Paman karena telah membantu Ayah sejauh ini. Tanpa adanya Paman, mungkin Ayah saya masih terbaring dirumah sakit. Saya sangat berhutang budi kepada Paman atas nama keluarga saya..”

Ayah tersenyum tulus walaupun suasana hatinya yang masih bersedih. Lelaki itu langsung mengerti apa arti senyuman Ayah.

Ayah  melakukannya dengan tulus walaupun keadaan yang tidak memungkikan pada saat itu. Dan inilah alasan Joomyun untuk melindungi Hana dari kejauhan walaupun hanya sepuluh langkah ia bisa melihatnya dengan dekat.

 

Akhirnya tubuh Ayah yang sudah berpakaian baju operasi berposisi tidur diranjang sudah bersampingan dengan tubuh anaknya yang terlihat lemah itu. Wajah Ayah sedikit cemas, namun disaat ia melihat wajah tenang Hana..ia yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja..

Walaupun setetes darahnya bisa menghilangkan nyawanya.

Dan semuanya kegiatan pengoperasian akan dimulai disaat Ayah telah diberi obat bius.

Perlahan-lahan kedua matanya menutup seiring cahaya putih yang menerangi wajahnya sampai semuanya menjadi gelap.

Tanpa ada sebersit cahaya kembali.

 

 

Pandangan Hana terlihat buram. Matanya yang terlalu lama terpejam harus menyesuaikan cahaya disekitarnya. Beberapa kali ia mengedipkan mata sampai akhirnya terlihat nyata. Cahaya lampu memasuki indra penglihatannya seketika. Sampai ia bisa mencium aroma khas rumah sakit disana.

Kedua bola matanya terlihat mencari sesuatu. Namun ia hanya menemukan tubuhnya yang terbalut baju rumah sakit. Tangan kanannya perlahan ia angkat. Memperlihatkan selang infus yang tertancap sempurna dipunggung tangannya.

Hana? Kau sudah sadar..”

Hana melihat seorang lelaki yang menyapanya dari tidur panjangnya. Seolah-olah Hana bingung siapa lelaki itu. Dan Hana segera menyadari lelaki yang sedang menyapanya.

“J..j..j..ommyun..” Lirih Hana dengan menyipitkan kedua bola matanya. Benarkah ini Joomyun? Wajahnya terlihat cemas.  Ia duduk disamping ranjang Hana.

“Apakah keadaanmu baik-baik saja?” Tanya Joomyun kepada Hana.

“A..a..apa maksudmu? Mengapa aku ada disini?” Tanya Hana lagi dengan suara yang parau.

Joomyun menjawabnya sambil tersenyum. “Saat kamu sedang pulang, tiba-tiba kamu jatuh pingsan. Ini di rumah sakit, Hana.”

Sebersit bayangan terakhirnya saat ia belum menutup matanya. Hana hanya mengingat bahwa ia sudah sampai didepan rumah. Tetapi, ia tidak ingat apa-apa lagi.

“Hana..kenapa kamu tidak bilang denganku dan juga Ayah? Kami sangat mengkhawatirkanmu. Darah yang selalu keluar dari hidungmu adalah darah penyakit.” Joomyun kata dengan pelan sambil menatap Hana sendu.

Hana terlihat berpikir sebentar. Dan bahwasannya ia memang tidak mengerti apa yang Joomyun katakana. “Apa maksudmu?”

“Hana, dokter bilang kamu divonis leukemia kronis. Darah yang sebenarnya selalu keluar dari hidungmu adalah darah penyakitmu sendiri. Tanpa kamu ketahui, bahwa kamu sudah mengidap penyakit itu saat kamu berumur sepuluh tahun.”

Hana mengisyaratkan kedua matanya tidak percaya. Selama ini…

Ia sudah mengidap penyakit yang merenggut nyawa Ibunya dulu.

“A..a..pa?” Hana menundukkan kepalanya sambil berpikir secara logika. Pertanyaan dan pertanyaan muncul didalam benaknya. Saat ia akan bertanya kembali, Joomyun kembali berkata.

“…Biaya operasi sudah aku bayar, jadi jangan cemaskan hal itu.”

Walaupun pertanyaan yang sempat tidak terpikirkan olehnya sudah terjawab. Hana kembali mengeluarkan pertanyaannya yang berputar mengelilingi hatinya.

“T..t..erimakasih, Joomyun. Tapi…operasi apa yang tadi dilakukan?”

Joomyun membuang napasnya dengan pelan. Dengan senyuman, Joomyun menjawab. “Operasi dilakukan dengan cara transpilasi tulang sumsum. Dengan ini, kamu akan kembali sehat.”

Jika operasi telah dilakukan, berarti ada seorang pendonor yang rela mendonorkan salah satu tulang anggota badannya kepada Hana. Ia tak menyangka bahwa masih ada orang yang berbaik hati menolong nyawanya.  Walaupun sedikit ganjal seperti yang dikatakan Joomyun. Ia sungguh berterimakasih kepada sang pendonor tersebut.

“Aku harus berterimakasih kepadanya Joom, iya..aku harus berterimakasih karena masih ingin menolongku.” Seakan semua tenaganya telah terkumpul, Hana berusaha turun dari ranjangnya. Namun langkahnya ditahan oleh Joomyun.

“Tunggu..jangan banyak bergerak. Kondisimu masih belum pulih…”

Hana menunda niatnya saat melihat wajah Joomyun yang berubah menjadi sedih. Nada suaranya yang ia ucapkan begitu parau. Seperti kehilangan sesuatu.

“K..ke..kenapa? aku hanya ingin mengucapkan terimakasih kepadanya Joomyun. Dia sungguh berhati mulia, aku tidak mau berhutang budi karena sudah menyelamatkan nyawaku.”

Perlahan-lahan Joomyun mengalihkan pandangannya kearah lain. Wajahnya terlihat sedih disaat Hana memiliki niatan baik.

“Apakah..ada yang salah..?” Tanya Hana dengan pelan. Lelaki itu tidak mengubris Hana.

“Joomyun. Jawab pertanyaanku. Apakah..ada yang salah?” Tanya Hana lagi dengan nada yang ditinggikan.

Pemuda berambut hitam itu tetap saja tidak menjawab pertanyaan Hana. Hana bisa melihat raut wajah Joomyun yang terlihat sedih dan merasa kehilangan walaupun Hana masih melontarkan pertanyaannya.

“Joom..”

“Apakah kau yakin..” Joomyun kembali menatap Hana dengan pandangan sendunya. “Untuk mengucapkan kata terimakasih kepadanya?”

“Ya. Mungkin tanpa adanya dia, aku sudah pergi.”

“Jika dia sudah pulang?”

“Pulang..? apa maksudmu?”

“Iya.. jika dia sudah pulang? Apakah kamu tetap akan mencarinya sampai kau bertemu dengannya?”

“Tanpa adanya dia aku sudah ‘pergi’ Joom. Walaupun dia juga sudah pulang..aku akan terus mencarinya. Karena aku sangat berhutang budi kepadanya.” Hana menjeda perkataannya. “Kumohon..aku merasa dialah harapan terakhirku untuk kembali hidup. Tanpanya aku sudah tidak berdaya lagi. Aku sangat berterimakasih kepadanya. Dimana dia Joomyun..?”

Setelah Hana meyakinkan dirinya, Joomyun memejamkan matanya dan menghirup semua udara yang ia butuhkan lalu dihempasnya dengan berat. Akhirnya Joomyun menuruti permintaan Hana.

“Baik. Aku akan mendampingmu untuk bertemu dengannya.”

Akhirnya Joomyun membantu Hana untuk turun dari ranjang rumah sakit. Kantung cairan infusnya yang tergantung ditiang segera dilepas dan dibawa oleh Joomyun. Setelah Joomyun telah membantu Hana untuk berdiri, satu dua langkah Joomyun menuntun Hana menuju korden hijau yang membatasi rawat inapnya.

“Kamu sudah siap?” Tanya Joomyun meyakinkan Hana kembali.

“I..i..ya tapi, mengapa kita berhenti disini?” Tanya Hana pelan menatap Joomyun.

“Karena..seseorang yang telah menolongmu ada dibalik korden ini..” Jawab Joomyun dengan lirih. “Kau sudah siap..?” Hana mengangguk kecil. Hatinya berdegup kencang disaat lelaki yang sedang menuntunnya memegang korden bewarna hijau itu dengan erat.

 

 

Sret!

 

 

Korden sudah terbuka lebar. Menampakan sosok lelaki yang sedang tertidur damai diranjang rumah sakit. Setelah Joomyun menyibakkan korden itu dengan cepat. Betapa tidak percayanya Hana menatap sosok lelaki itu.

Tubuh Hana seketika membeku dan menatap lurus kearah sosok lelaki tersebut.

Memastikan indra penglihatannya tidak salah menangkap bayangan yang ia sangat kenal.

Udara yang ia hirup seketika menghilang begitu saja.

“Apa yang kau lihat sekarang adalah fakta. Bukan halusinasimu sesaat setalah kau terbangun dari tidurmu.”

Hana mendengar jelas perkataan Joomyun yang kembali terdengar parau. Dan Hana tidak bisa mempercayai perkataan Joomyun begitu saja karena kenyataannya ia memang tidak percaya apa yang dipandangnnya detik ini.

Relung hatinya terus berkata tidak mungkin. Tetapi inilah fakta.

“Dia ingin kau memiliki kesempatan kedua.”

Perlahan demi perlahan Hana memajukan tubuhnya mendekati sosok yang sedang terbaring itu. Matanya tidak bisa terlepas dari pemandangannya yang ia lihat sekarang. Ini sangat tidak mungkin bagi hati kecilnya.

A—ayah..”

Bibir pucat Hana mulai berucap satu kata meskipun begitu lirih untuk didengar olehnya sendiri.

“A—yah..”

Satu kata lagi terucap kembali. Sosok lelaki yang sedang tertidur damai itu adalah Ayahnya sendiri.

Tubuhnya terlihat tidak teraliri lagi oleh darah. Wajahnya yang terlihat sangat pucat, kedua kelopak matanya yang tertutup seakan sedang tertidur lelap terbang kealam mimpi yang begitu jauh, serta kaku dan dingin terbaring tenang disana.

Dia sudah pulang..

Setetes air bening jatuh perlahan tanpa ia sadari. Pandangannya mulai berkaca-kaca. Tubuhnya mulai merosot kebawah memposisikan tinggi ranjang rumah sakit.

Joomyun mengumpatkan kesedihannya dibalik tundukan kepalanya. Bersedih tanpa suara dengan isakan kecilnya.

Disaat kedua matanya masih menatap lekat tubuh Ayah, beberapa puzzle kecil yang terlupakan muncul mengitari kepalanya. Puzzle itu memperlihatkan seorang gadis kecil berumur empat tahun bersama seorang lelaki dewasa sedang bermain dipadang ilalang.

Ia melihat gadis kecil itu sedang berputar-putar diatas udara didalam genggaman lelaki dewasa itu. Wajah mereka berdua terlihat sangat bahagia seolah dunia hanya milik mereka.

Potongan-potongan itu berbanding terbalik dari kehidupannya sekarang.

Hana mengambil salah satu tangan Ayahnya yang sudah kaku dan dingin itu. Raut wajahnya tidak menerima kepergian Ayahnya sekarang.

“Ayah..bangun.”

Hana menggoncang tubuh Ayah pelan.

“Ayah, ayo bangun..” Goncangannya mulai kencang. Hana ingin Ayah menjawab perkataannya.

“Ayah!! Tolong bangun!! Hana ingin berterimakasih kepada Ayah!! Ayah bangun!!” Hana mengguncang tubuh Ayah lebih keras dari sebelumnya. Tangisannya yang ia bendung sudah pecah begitu saja.

Hana meluapkan kesedihannya didepan mayit sang Ayah. Ia masih berharap bahwa Ayah masih bisa mendengar dan bangkit kembali.

Tubuhnya tergoncang dengan hebat. Isakannya begitu pilu untuk didengar langsung. Tak terkecuali bagi Joomyun yang turut berduka cita atas kepergiannya Ayah Hana.

“Aku minta maaf Ayah..aku minta maaf…aku minta maaf karena aku selalu membencimu disaat kau berniat baik kepadaku. Aku minta maaf Ayah..”

Kepalanya tertunduk kebawah. Ia baru mengerti apa arti penyesalan yang selalu datang terakhir. Dan Hana benar-benar menyesali perbuatannya disaat kepergiannya sang Ayah.

“Ayah!!! Bangun!!! Kumohon…beri aku waktu untuk mendengar kata-kata terakhirmu Ayah..aku mohon..”

Kepalanya kembali menatap tubuh kaku sang Ayah. Lalu ia langsung memeluk tangan Ayahnya erat. Memohon roh Ayahnya untuk kembali kedalam raganya. Hana mencium punggung tangan Ayahnya yang mulai basah karena air matanya.

Setiap detik penyesalannya,  kenangan kecilnya yang dulu menghilang berputar begitu saja seperti roll film tua.

Gadis kecil dan lelaki dewasa itu sedang memperhatikan sepasang kupu-kupu bewarna jingga berterbangan kesana-kemari. Berjalan-jalan menyusuri luasnya padang ilalang ditengah sepoi-sepoi angin yang lewat begitu saja.

Layaknya berputar slow motion tangan mereka saling menggenggam satu sama lain seakan tidak pernah mau lepas sampai kapanpun.

Dan disaat tangisan penyesalannya masih berlanjut, Hana melihat bayangan terakhirnya seolah-olah gadis kecil dan lelaki itu pergi menyusuri indahnya kenangan mereka tanpa melepaskan genggaman mereka. Tanpa paksaan juga kebahagiaan yang terpampang jelas diwajah mereka saat berbagi senyuman keceriaan.

 

“Ayah..ayo bangun…Maafkan aku, Ayah..”

 

 

 

…18 April 2019…

 

..18 April 2012

Dear My Daugther…

 Selamat ulang tahun gadis kecil Ayah yang manis…

Tak terasa waktu sudah berjalan sendirinya tanpa memperdulikan umur seseorang yang perlahan-lahan melupakan semua kenangan kecil yang kita lalui walaupun Ibu sudah tiada.

Hei..gadis kecil Ayah sudah mulai dewasa seperti yang diharapkan Ibu dan juga Ayah. Ayah bahkan hampir lupa tahun berapa kau lahir, sungguh aneh. Tulisan Ayah memang tidak sebagus tulisan Ibumu nak, jadi maklumi tulisan tangan Ayah yang begitu tidak enak dipandang ini sama seperti kau yang sangat membenci ulat.

Sejujurnya ulat tidak seburuk yang kau bayangkan sayang..Kupu-kupu yang sangat kau sukai itu berasal dari ulat. Sama seperti kau yang perlahan-lahan menjadi kupu-kupu cantik kesukaan Ayah, Do Han Na. Seorang gadis kecil yang memiliki sifat cantik sama seperti kupu-kupu.

Ah..lupakan masalah kecil itu.

Ayah sangat berharap kupu-kupu kecil Ayah dapat terbang bebas kemanapun yang disukainya setelah Ayah sudah tidak disampingnya lagi.

Menemukan pasangan hidupnya dengan penuh kasih sayang.

Serta lebih semangat mengejar impian yang setinggi bintang itu menjadi kenyataan.

Ayah hanya bisa menghadiahkan tulisan dan kue kecil ini kepadamu.Sederhana..Ayah harap kau menyukainya.

Hana…

Jika esok hari Ayah pergi dan tak kembali, jangan pernah membenci hal yang berkaitan dengan masa lalu hanya karena kau menyesal. Kenangan masa kanak-kanak yang telah kau lalui begitu banyak kebahagiaan yang jelas terpampang disaat kita bermain dipadang ilalang dulu. Pasti kamu sudah lupa.

Walaupun kau sudah lupa..foto-foto ini adalah bukti dimana hari-hari keceriaanmu selalu terpampang dikenangan masa kecilmu dulu. Umurmu yang  perlahan-lahan bertambah justru membuat Ayah senang karena hidup barumu akan segera dimulai.

Dibalik keseharianmu, sekarang Ayah tahu. Sebenarnya kau dijauhi oleh teman-teman disekolahmu sejak duduk disekolah dasar karena kau adalah anakku. Kau bercerita keseharianmu dulu disekolah bahwa guru wali kelasmu selalu memberikanmu point tambahan karena adalah anak disiplin.

Tetapi disaat kau bercerita kepadaku pada malam hari itu.. Aku sadar bahwa kau tidak menyukai Ayah karena fisik Ayah yang kurang sempurna. Namun dihati Ayah selalu berjanji akan menjagamu sampai waktu perjalananku benar-benar habis.

Dan satu lagi yang perlu kau tahu.

Ibumu telah menghadiahkanmu sebuah benda antik yang amat indah sekali. Ya..Indah, lebih indah dari apa yang Ayah berikan padamu. Bagaimana? Cantik bukan?

Walaupun Ibu telah pergi terlebih dahulu,  kebahagiaan Ibu sama seperti Ayah. Janji Ayah terhadap Ibumu akan selaluku lakukan sekuat tenagaku walaupun suatu saat akan berhenti ditengah jalan.

Sepertinya tulisan ini sudah sangat panjang. Ayah tidak ingin kau kewalahan karena membaca tulisan Ayah ini. Rajinlah belajar sampai kenegeri China sekalipun. Ayah selalu mendoakanmu agar menjadi anak yang dewasa dan lebih sukses dari Ayah dan juga Ibu.

Happy Sweet Seventeen my little butterfly, Mom and Dad always love you..

Love,

 Ayah

 

 

Wanita itu menunduki kepalanya dengan dalam. Secarik kertas tua dan beberapa foto yang yang ia genggam sedikit teremas oleh jari-jari lentiknya. Seketika itu tangisannya keluar dengan amat pelan.

Pagi yang cukup cerah diluar sana tidak seperti suasana hatinya sekarang. Hati nuraninya sedang menyesali perbuatan tidak baiknya dulu terhadap sosok laki-laki yang sangat berjasa menyelamatkan nyawanya dulu.

Hana remaja sudah beranjak menjadi wanita dewasa. Tetapi sifat kecengengannya dulu tidak bisa dihilangkan saat barang-barang lamanya yang telah ia simpan dulu kembali dilihatnya.

Dikamar itu cukup sepi. Hanya ada sekotak kardus yang dekat dengan kaki ranjang dan juga sebuah biola tua yang`tergeletak disisi tubuhnya yang duduk disisi ranjang.  Beberapa foto tua dan satu buah buku hitam terbengkalai dibelakang tubuhnya.

Sinar mentari hari ini cukup indah. Cahayanya yang menelusup masuk lewat jendela sedikit menyilaukan pandangan Hana yang mulai tertuju kearah barang-barang didalam kotak tersebut. Salah satu tangannya ia ulurkan untuk mengambil benda yang akan diambilnya. Setelah mengambilnya, Hana segera meletakkan kertas dan foto yang ia pegang tadi.

Sebuah kotak musik bewarna coklat gelap berbentuk love berada digenggamannya sekarang. Didalam surat Ayah bilang Ibu telah menghadiahkan benda ini jauh sebelum menginjak umur tujuh belas tahun. Perlahan-lahan kunci kotak musik mulai diputar beberapa kali, lalu ia membuka kotak tersebut.

Bunyi alunan merdu yang keluar dari kotak musik itu begitu indah. Tak lupa lagu itu diikuti tiga boneka kecil yang terdiri dari Ayah, Ibu, dan perempuan kecil saling bergandengan tangan beputar seiring lagu tersebut.

Wajahnya yang tadi bersedih mulai tersenyum perlahan. Hatinya mulai tenang perlahan mendengar lagu dari kotak musik tersebut. Tersadar air matanya masih turun, Hana segera mengusap wajahnya dengan punggung tangan kirinya.

Sekarang Hana akan berencana mengunjungi suatu tempat. Dimana Ayahnya telah tertidur damai.

 

Kedua kakinya perlahan mengayun pelan menuju salah satu gundukan tanah yang dihiasi beberapa taburan bunga lama. Setelah sampai, ia segera terduduk dengan kedua dengkul tanpa memperdulikan baju putihnya yang akan kotor terkena tanah. Hana mulai menaburkan bunga-bunga diseluruh gundukan tanah tersebut. Setelah sudah cukup, Hana menaruhkan setangkai bunga lily yang harum didekat batu nisan kuburan tersebut.

.RI.P.

Do Kyungsoo

07.12.1971

18.04.2012

“Halo Ayah..aku datang kembali tepat ke lima puluh sembilan kalinya.” Hana mulai berbicara dengan batu nisan Ayahnya.

“Tak terasa Ayah sudah pergi selama delapan tahun.”

“Tepat dihari ulang tahun anakmu sendiri.”

“Seandainya waktu bisa berputar, aku ingin Ayah ada disisi Hana saat ulang tahun saat ini.”

“Ternyata Ayah benar…Hana bisa mencapai semua binta-bintang dilangit yang Hana impikan dulu. Walaupun dimulai dari gegalan.”

“Apakah Ayah sudah bertemu Ibu? Bagaimana keadaannya? Aku benar-benar merindukan kalian.”

Hana meneteskan air matanya perlahan. “Ibu pasti sangat cantik seperti yang Ayah bilang dulu. Aku harap kalian tidak melupakanku.” Seulas senyuman kecil tersungging dibibir Hana.

“Luna—cucu’mu sudah bertumbuh besar, Yah. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana waktu Ibu mengurusku disaat masih balita. Sedikit  repot dan menyenangkan..”

“Apakah Ayah masih mengingat ulang tahunku? Aku harap Ayah bisa menjawabku. Aku meminta restu darimu agar keluarga Hana berjalan baik seperti Ayah dan Ibu dulu.”

“Oh..aku lupa,” Hana mengeluarkan secarik kertas dari keranjang bunganya. Kertas putih yang terlipat rapih itu segera ditaruh dekat batu nisan Ayahnya. “Hana tidak tahu apakah Ayah akan menungguku nanti atau tidak. Tetapi aku benar-benar menyesal atas kejadian dulu Ayah..Hana benar-benar minta maaf.”  Air mata Hana kembali turun sambil menyesali perbuatannya dahulu.

“Mamaaa…”

Hana mendengar suara anak kecil yang berteriak memanggilnya. Ia baru tersadar bahwa ia sedang bersedih. Punggung tangan kirinya segera mengusap jejak-jejak air matanya. Setelah itu, Hana memutar kepalanya kearah gadis kecil yang tengah berlari menghampirinya.

“Hei..sayang,” Hana mengulas senyuman kasih sayang terhadap anaknya.

“Anak cantik..dimana Papa? Hmm..?” Hana segera mengecup dahi anaknya serta mengusap rambutnya. Anak itu hanya tersenyum-senyum, senyuman anaknya persis seperti Ayah dan juga suaminya.

“Nah..rupanya disini gadis kecil papa..” terlihat seorang laki-laki berpakaian kemeja putih menghampiri mereka berdua dan mengusap anak rambut anaknya dengan lembut dan gemas.

“Hah..rupanya kau mengikutiku lagi?” Tanya Hana pelan dengan senyuman yang masih terukir dibibirnya. Lelaki yang juga menjadi Ayah gadis kecil itu segera tersenyum.

“Aku tidak mau jika kau kenapa-napa. Lagipula aku dan Luna juga ingin menjenguk Ayahmu, sayang.”

“Kau kira kita masih anak SMA? Baiklah, aku sangat berterimakasih atas kedatangan kalian,”

“Pa..,Ma.., Luna ingin adik.” Kata gadis kecil itu dengan polos. Hana dan suaminya menatap anak mereka yang berucap secara tiba-tiba.

“Mengapa kamu berkata seperti itu?” Tanya Hana pelan dengan penuh kasih sayang.

“Aku ingin menunjukan kepada kakek selta teman-temanku kalau aku juga punya adik.” Setelah gadis kecil itu berkata,  Ayahnya segera menarik kedua sudut bibirnya keatas dengan manis.

“Bagaimana jika adik kecilmu kita sambut dihari ulang tahunmu saja?” anak kecil itu segera tersenyum riang memeluk Ayahnya.

telima kasih..Papa..aku menyayangi kalian beldua..” Hana tersenyum malu melihat suaminya sendiri saat mengedipkan sebelah mata kearahnya

“..eng..bagaimana kalau mama mengajak kalian ketempat makan Pak Jim? Bukannya makanan seafood dan sop daging disana terkenal enak dikota ini?”

“Waahh..kau sungguh baik sekali sayang..kalau begitu aku dan Luna tidak akan menolak tawaranmu.” Lelaki itu segera menggendong gadis kecilnya dan kembali berdiri seperti semula. Diikuti Hana yang mulai beranjak sebelum mengucapkan salam perpisahan kepada makam Ayahnya.

“Ayah..kami bertiga pamit dulu, besok kami akan kembali lagi. Sampai jumpa Ayah,” Hana menyunggingkan senyuman perpisahannya kearah makam tersebut. Lalu ia mulai berdiri dan segera pergi meninggalkan pemakaman bersama kedua orang yang menjadi keluarga kecilnya.

Setelah area pemakaman kembali sunyi, sapuan angin yang begitu damai menerbangkan lipatan kertas yang berada didekat batu nisan makam Ayah Hana. Perlahan-lahan kertas itu lenyap terbawa angin. Terbang bersama angin yang tidak bertentu kearah mana.

Dimana langit biru  menampakan kapas-kapas bumi yang melayang, perlahan-lahan langit biru yang cerah itu tergantikan dengan sebuah padang ilalang. Hembusan angin yang sangat kencang menyapu semua rumput-rumput disana.

Terlihat seorang lelaki berpakaian kemeja dan celana putih duduk dikursi piano hitam yang sedang ia punggungi. Ia sedang membaca secarik kertas putih yang sehabis terlipat-lipat itu. Bersama helaian daun pohon yang berjarak lima langkah dari posisinya sekarang, lelaki itu membaca secara seksama tulisan demi tulisan dikertas tersebut.

Setelah ia membaca kertas tersebut, lelaki itu tersenyum manis dan berkata. “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, nak. Kesalahanmu sudah kumaafkan sejak dulu.” Sambil memandang rerumputan ilalang tersebut, dia berkata lagi.

“Ibumu masih cantik seperti dulu. Kami bahkan sangat merindukanmu.”

Lelaki itu menatap keatas. Melihat langsung langit biru yang berawan arak-arakkan.

“Ayah akan selalu menunggu kedatanganmu.”

“Dan juga..” dia menatap surat ditangannya kembali tanpa melepas senyumannya. “Aku tidak pernah melupakan hari ulang tahun gadis kecilku sendiri.”

“Semoga keluarga kecilmu berjalan dengan baik.” Dia kembali menatap langit biru itu. Seulas senyuman tulus mengakhiri semua tulisan disurat genggamannya.

 

“Selamat ulang tahun…Anakku,”

 

 

 F . I . N

 

#ngelapingus# Aaaakkhiirnyaa…ceritanya sudah tamat 😀 maafkan saya jika cerita ini terlalu panjang seperti cerita oneshoot yang biasa kalian temui. Ada yang tahu siapa suami Hana? iyaa.. ayo tebak ._. #gakjelas

Nah…dari cerita ini, apa yang bisa kalian dapat? Apa kalian mendapatkan moral baik atau buruk? Kalian bisa pikirkan sendiri. Jangan lupa positif thingking yaa 😉 ada yang muter-muter saat membacanya? Saya sungguh minta maaf sekali lagi. Maaf ya.. #melototaladakocan

Cerita ini terdiri dari 13.000 kata lebih. Yah..hitung-hitung bisa menjenuhkan segala pikiran yang penat. Akhirnya terciptalah cerita ini.  

Review dan likenya boleh dong :3 jangan sungkan memberi tanggapan cerita ini. Saya sangat menghargai kalian yang membaca cerita ini. Tapi please….bagi kalian yang siders setidaknya komentar. Gak harus panjang-panjang kok~

Cerita ini hanya fiktif belaka yang dibuat oleh saya : AmmL17.  Apabila ada kesamaan alur cerita saya benar-benar tidak tahu dan cerita ini 100% karangan SAYA.

Baiklah, dari pada bacotan saya ini enggak berhenti-henti,  saya mengundurkan diri dulu dan terakhir kali saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalakannya. Mohon dimaafkan jika ada kata-kata yang tidak mengenakan. Serta typo dalam cerita ini. Saya selaku author cerita gaje ini mau pamit dulu.  Siii yuu ^^ 

82 responses to “[Oneshot] The Last Wish

  1. Huuu sedih thee;’) Aku br liat trailer film yg jd motivator kamu. Nonton dimanaa? T_T
    kece badai deh thor! Keep writing yaaa
    Hwaiting!^^

    • MasyaAllah sarah ;-; kamuu makasih sudah menyempatkan untuk melihat cerita ini 😀 hehehe kamu manggil nama aku kenapa dipanggil author juga -_- ‘tak apalah..’ thankyou sar udah mau review cerita ini ^^

  2. OMG DEEEK ALEEEEEEE AKU NANGIS BENERAN BACANYA LHOOO TT_TT sedih bgt ceritanyaaaa hiks, walaupun panjang tapi seru kok! diksinya bagus banget buat angst gini hehee, tapi kayaknya ini cerita dari iklan thailand yang pernah saya tonton hehehehe, cuman ini lebih medetail!! huuuu suka banget :’)

    btw si hana nikah sama joonmyun kan dek? jangan bikin hopeless yaaaa nanti aku jatuuuh huhuhu /kicked/ XD aku suka banget sama ending beeeeeuh ngenaaa ih ;-; aku ngebayangin suaminya joonmyun omg bias aku nih ;A; hahahahaha

    POKOKNYA GOOD JOB LAH DEK UDAH BIKIN AKU SUKSES MENETESKAN AIR MATA!!!! KEEP WRITING YAAAA ‘-‘)9

    LOVE ❤
    NAVOLER

  3. Yomiyamaaaa kakak thankyou kak udah komentar di cerita alay ku ini :” aku jadi terhuraaa >< iya ini aku ambil /bukan ambil sih -_-/ referensinya dari sana wkwkwkw pasti yang udah pernah liat iklan thailand itu tau aku terinspirasi dari mana :'

    Makasih banyak loh kak :3 iyapp dia suaaminya XD kalau jatuh pegangan taangan oke? Wkwkwk lope yu back kak ❤

  4. KAK AL JAHAT!!!! Aku nangis Kak T.T walau ini ff panjang buangeeettt tapi akhirnya aku selesai bacanya. Bagus kok kak ff-nya, aku suka sama kalimat yang ini: “jangan pernah membenci hal yang berkaitan dengan masa lalu hanya karena kau menyesal” Kalau nulis yang baru aku kasih tau ya~ hehehe :p
    keep writing Kak!

    • eh si adek ‘-‘)/ kamuuu makasih sudah baca hahahah /aku yang bilang -_-/ panjang ya? wakaww nikmati aja dek 😉 sipp lah hahahah terimakasih sudah berkomentar ^^

Leave a reply to Yurisistable Cancel reply