[KCF’s Fanfiction Writing Competition] Of Butterflies and Honest Confession

FIX3Tittle : Of Butterflies and Honest Confession
Genre : Romance
Rated : PG
Casts : Lee Sooyeon (OC)
Kim Jong In (Kai EXO‐K)
Selamat pagi Sirius.
Hari ini jantungku masih berdebar begitu cepat ketika satu hal tentangmu melintas di
pikiranku.
Sudut‐sudut bibirku tertarik dengan sendirinya kala otakku memutar ulang kilasan‐kilasan
aku dan kamu.
Kamu itu seperti medan magnetku.
Semua duniaku seolah hanya terpusat padamu.
Kamu itu seperti hujan dan mentariku.
Menggodaku untuk mendekap sinarmu yang hangat namun sekaligus membuatku takut
untuk basah dan kedinginan.
Tapi kudengar hujan dan mentari bersahabat baik. Mereka akan berpelukan erat dan
bersama‐sama melukis warna‐warna yang indah di langit.
Jadi aku berpikir,
mungkin atau tidak,
kau akan jadi pelangiku?
Sooyeon meletakkan bolpoinnya di atas meja. Kedua bola matanya terpaku pada deretan deretan kata yang baru saja ditulisnya. Cukup lama, ia kemudian menarik nafasnya dalam,
diikuti dengan jari‐jari mungilnya yang kini bergerak terampil melipat kertas origami di
hadapannya. Lembaran kertas persegi berwarna kuning cerah itu kini berubah menjadi
seekor kupu‐kupu kertas yang cantik. Menyimpan rapi kalimat‐kalimat manis yang tertulis di
dalamnya.
Sooyeon kemudian menempelkan perekat pada badan kupu‐kupu itu. Ia lalu
menempelkannya di dinding kamarnya, menemani kupu‐kupu lain yang entah sudah berapa
lama bertengger di sana. Di dalam hati, gadis berambut panjang itu menghitung jumlah
kupu‐kupu di dinding kamarnya.
Sekali lagi, ia kemudian menghela napas.
.
Bias biru cerah di musim panas dan semburat oranye di musim gugur adalah rangkuman
dari hidup seorang Lee Sooyeon. Senyuman lebar dan candaan‐candaan konyol yang sering
ia lontarkan kepada teman‐temannya seolah menggambarkan warna‐warna terang dan
sinar matahari di musim panas. Sedangkan, berbaris‐baris rasa yang disimpan dalam kupu kupu kertas di kamarnya seolah mengingatkan akan suasana sore hari di musim gugur.

Sendu, penuh makna, namun tersimpan dalam diam.

Sooyeon tak pernah pintar dengan kata‐kata. Mengungkapkan apa yang dirasakannya
menurutnya adalah suatu hal yang rumit. Ia terbiasa mengatur ruang di otaknya dengan
sekat‐sekat imajiner bahkan sejak ia kecil. Memilah mana yang bisa ia bagikan dengan orang
lain dan mana yang harus ia simpan untuk dirinya sendiri. Meskipun ia akui, semakin ia
bertambah dewasa, maka semakin sulit pula baginya untuk mengontrol dirinya sendiri.
Terlalu banyak hal yang membuatnya kerepotan. Hal‐hal yang melibatkan pertentangan
antara logika dan perasaan.
Seorang konselor di sekolahnya pernah menjelaskan tentang berbagai jenis kepribadian
manusia dan untuk orang sepertinya, mereka biasa menyebutnya dengan seorang introvert.
Namun Sooyeon pikir ia bukanlah seorang introvert. Ia tak pernah merasa kesulitan ketika
harus bersosialisasi dengan teman‐temannya. Ia juga merasa nyaman ketika berada di
tengah‐tengah mereka. Ia hanya tidak suka ketika orang lain terlalu banyak bertanya
tentang dirinya. Ia selalu merasa tidak siap dengan kata‐kata ‘aku mengerti bagaimana
perasaanmu’ yang akan diterimanya jika ia membuka diri sedikit saja. Ia juga tidak siap
menerima sorotan mata menghakimi dari orang‐orang yang membuatnya merasa mual.
Karena baginya, tidak ada orang lain yang berhak berkata bahwa mereka mengerti dirinya.
Tidak seorang pun ketika akhirnya mereka tidak benar‐benar peduli dan hanya ingin tahu
saja.
Tidak pernah sekalipun Lee Sooyeon membiarkan seseorang masuk terlalu jauh dalam
kehidupannya. Ia hanya mengizinkan mereka untuk melihat sosok Lee Sooyeon yang normal
dan baik‐baik saja. Bukan seorang gadis yang penuh dengan rasa inferioritas dan terlalu
banyak berpikir. Atau diam‐diam menangis jika malam telah larut dan lelap tak kunjung
menjemput.
Sooyeon sangat yakin semua akan baik‐baik saja jika ia terus menjalani hidup dengan
caranya. Sampai pada satu sore ketika ia melewati salah satu koridor di kampusnya, sesosok
laki‐laki yang tengah berdansa membuat kedua kakinya memilih untuk berhenti sejenak.
Entah sudah berapa kali ia melihat orang menari di kampusnya, terlebih ketika ia melewati
koridor milik jurusan koreografi, namun yang ia lihat saat itu berbeda. Lengan dan kaki
pemuda itu seolah bernyawa dan dengan sendirinya mengikuti alunan musik bertempo
sedang. Kedua bola matanya terlihat fokus pada pantulan sosoknya di cermin, menarik
Sooyeon untuk ikut tenggelam dalam tiap gerakannya.
Ketika Sooyeon berpikir bahwa rasa kagum menguasai dirinya, detak jantungnya yang
terburu‐buru berkata lain. Tanpa ia sadari, kakinya selalu melangkah melewati koridor milik
jurusan koreografi tiap kali ia telah menyelesaikan jadwal kuliahnya. Hati kecil yang berulang
kali ia abaikan selalu berharap ia akan bertemu dengan si penari, yang beberapa hari
setelahnya ia ketahui bernama Jongin. Kim Jongin.
Sejak saat itu bayangan Jongin yang tengah menari tak pernah mau beranjak dari pikirannya.
Laki‐laki yang bahkan belum pernah berbicara dengannya itu seolah membangun tempatnya
sendiri di otaknya. Kemudian ketika pada satu sore ketika Sooyeon sekali lagi menelusuri
koridor jurusan koreografi, kedua bola mata yang tajam itu tak lagi memandang cermin,
namun memandang lurus pada bola mata hitamnya. Dan ketika “kau dari jurusan koreografi
juga? Aku sering melihatmu di sini,” keluar dari bibir Jongin, Sooyeon tak lagi dapat
memikirkan apapun selain suara Jongin yang berat dan entah bagaimana caranya
mengirimkan perasaan hangat di dadanya. Satu‐satunya hal yang menariknya kembali ke
dunia nyata adalah tatapan penuh tanya di wajah Jongin, membuatnya dengan refleks
menganggukkan kepalanya dan dengan cepat menggelengkan kepalanya ketika ia ingat
sudah tiga tahun ia belajar sastra Inggris.
Kemudian Jongin tersenyum.
Wajah Sooyeon memanas, dan ia dapat mendengar dinding pertahanannya yang perlahan
mulai runtuh.
.
Sooyeon bukan belum pernah jatuh cinta. Ia bahkan sudah pernah memiliki hubungan
dengan teman satu klubnya. Namun mengenal Jongin dan jatuh cinta padanya adalah satu
hal baru yang benar‐benar berbeda.
Di hubungannya yang terdahulu ia tak pernah ragu menampilkan sisi Sooyeon yang periang
dan baik‐baik saja. Seorang Sooyeon yang tidak terlalu sensitif dan selalu bisa memahami
pasangannya dan orang‐orang di sekitarnya. Sedangkan bersama Jongin, ketika sudut‐sudut
bibir pemuda itu melengkung naik dan matanya membentuk sepasang bulan sabit saat
mereka membicarakan tentang Pororo—ya, tentang Pororo—Sooyeon merasa ia sedang
berlaku tidak adil. Ia bahkan belum berpacaran dengan pemuda berkulit tan itu namun rasa
bersalah benar‐benar memukulnya telak ketika ia terus berpura‐pura dan tak sepenuhnya
menjadi dirinya sendiri.
Mengenal Jongin bukan merupakan perkara yang mudah bagi Sooyeon. Sudah berkali‐kali
logika dan perasaannya beradu. Tak jarang ketika ia benar‐benar merasa lelah, pilihan untuk
mundur dan menjadi dirinya yang biasa melintas di otaknya. Namun genggaman tangan
Jongin yang hangat di tangan mungilnya membuatnya menutup matanya rapat‐rapat dan
membuang jauh pikiran‐pikiran konyol itu.
Ingin sekali ia menyalahkan keadaannya, menyalahkan kedua orang tuanya yang harus
berpisah saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Menyalahkan teman‐temannya dulu
yang terus menyebutkan kata‐kata ‘cerai’ di hadapannya. Menyalahkan dirinya sendiri yang
hanya bisa terdiam dan tersenyum menyembunyikan sudut hatinya yang terisak.
Menyalahkan dirinya sendiri yang selalu berkata tidak apa‐apa. Menyalahkan dirinya sendiri
yang hidup untuk memenuhi ekspektasi‐ekspektasi orang lain.
Sooyeon terlalu terbiasa dengan aturan‐aturan hidup yang ia ciptakan sebagai sebuah
bentuk pertahanan. Ia selalu memilih zona aman dan mempertahankan prinsip‐prinsipnya.
Mengubur masa lalunya dari orang‐orang yang takkan pernah bisa ia percaya. Namun
mencintai Jongin membuat perasaannya memberontak dan mengikis segala aturannya.
Segala kejujuran Jongin tentang dirinya sendiri membuat Sooyeon semakin terpuruk dalam
kebimbangan. Ketika mereka berdua tengah duduk di salah satu meja coffee shop favorit
Jongin dan pemuda itu mengucapkan sebuah “ceritakan tentang dirimu,” satu senyuman
simpul melengkung di bibir Sooyeon. Dan berikutnya ketika, “aku adalah anak tunggal,
hobiku bersepada, dan aku sangat suka membaca novel” keluar dari mulutnya, Sooyeon
tahu ia benar‐benar sudah tak tertolong.
Saat itu pula pancaran di mata cokelat milik Jongin meredup, namun Sooyeon
melewatkannya. Ia terlalu tenggelam dalam ceritanya tentang salah satu novel yang pernah
dibacanya.
.
Sooyeon tahu Jongin menjauh darinya ketika sudah berhari‐hari komunikasinya dan Jongin
tak sesering minggu‐minggu sebelumnya. Rasa kehilangan sudah pasti merayap di dadanya,
namun perasaan takut juga tak kalah besar menyusup di hatinya. Ia terus mengingat‐ingat
jika mungkin ia telah salah berbicara ataupun bersikap di hadapan Jongin. Namun pikiran pikiran itu segera ditepisnya dan ia terus berkata bahwa semuanya akan baik‐baik saja.
Nyatanya semuanya memang tak baik‐baik saja saat malam itu ia mendapatkan pesan dari
Jongin. Pemuda itu meminta maaf dan berkata ia lelah untuk mencoba, dan saat itu juga
Sooyeon kembali menyalahkan dirinya sendiri.
Ia tahu Jongin telah mencoba dan cukup bersabar. Bukan sekali dua kali Jongin hanya
tersenyum dan mengacak rambutnya saat Sooyeon menghindar dari beberapa
pertanyannya. Bukan sekali dua kali pula Jongin mengangguk mengerti saat ia tak pernah
mau diantar pulang ke rumah. Dan tak jarang pula Jongin mengungkapkan perasaannya
meskipun tiap kali, ia hanya membalas dengan senyuman. Sooyeon tahu ia berada pada
posisi bersalah. Ia terlalu pengecut untuk keluar dari zona nyamannya.
Sooyeon memanggil Jongin dengan Sirius. Sirius adalah nama bintang yang paling terang
dan ketika Jongin tengah menari di atas panggung, tak akan ada bintang manapun yang bisa
bersinar lebih terang darinya.
Malam ini mungkin ia akan kehilangan Siriusnya.
Sooyeon beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju meja belajarnya. Ia mengambil
selembar kertas origami berwarna biru muda. Setelah terdiam sejenak dan mengusap air
mata yang beberapa waktu lalu mengalir deras di pipinya, jemarinya mulai berdansa
bersama pena.
Untuk Sirius,
Aku membuat sebuah pertaruhan.
Mungkin aku akan menang, dan mungkin juga tidak.
Hadiah terbesarku adalah sinarmu.
Aku tidak peduli lagi.
Apakah cahayamu akan memelukku, ataukah lenyap dan meninggalkanku dalam kegelapan.
Aku tidak peduli.
Lagipula aku bisa apa.
Aku terlalu menyukaimu.
Sooyeon melipat origaminya menjadi kupu‐kupu, namun kali ini ia tak menempelinya
dengan perekat. Ia mengambil kotak besar dari bawah tempat tidurnya dan melepas serta
memasukkan semua kupu‐kupu kertas yang tertempel di kamarnya ke dalam kotak itu.
Ketika ia hendak memasukkan kupu‐kupu kertas yang baru saja dlipatnya ke dalam kotak,
perasaannya kembali bergejolak.
Untuk terakhir kalinya, ia benar‐benar berharap Jongin akan menyelamatkannya.
.
Sooyeon dan Jongin kembali duduk berdua, namun kali ini bukan di coffee shop favorit
Jongin. Mereka duduk bersebelahan di studio tari tempat Jongin biasa berlatih. Pemuda
bersurai hitam itu masih sedikit terengah. Titik‐titik keringat masih terlihat di pelipisnya. Ia
baru saja menyelesaikan sesi latihannya. Kedua bola matanya memandang lurus ke depan,
seolah menerawang. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya.
Sedangkan Sooyeon menunduk, kedua tangan mungilnya menggenggam erat kotak besar
yang saat ini berada di pangkuannya. Ia belum menatap Jongin sejak memasuki studio.
Pundaknya bergerak naik turun dengan cepat dan tak jarang ia menghela napas panjang.
Kegugupan jelas terlihat dari sikapnya.
Sudah sepuluh menit mereka duduk bersama dan belum ada satupun yang berniat
memecah kesunyian. Suara hentakan musik dari studio di lantai atas bahkan terdengar
begitu nyaring, seiring dengan tarikan napas keduanya.
“Aku..minta maaf,” Sooyeon memulai dengan suara yang lirih dan sedikit bergetar, ia masih
menunduk meskipun ia dapat merasakan pandangan Jongin yang kini menoleh padanya.
“Tidak ada yang harus meminta maaf di sini Sooyeon‐ah. Kita hanya, kau tahu, tidak tepat
untuk satu sama lain,” jawab Jongin.
Kali ini Sooyeon mendongak, dan hal yang pertama kali ia tangkap adalah sorot lelah di mata
Jongin. Pemuda itu memberinya senyum simpul.
“Aku tidak bisa memahamimu dan kau tidak bisa memahamiku, itu saja yang terjadi di
antara kita dan banyak orang mengalami hal semacam ini, jadi kau tidak perlu khawatir.
Lagipula kurasa kita beruntung, semuanya terjadi saat kita belum memulai apapun,” lanjut
Jongin. Suaranya terdengar terlalu lantang, meskipun Sooyeon dapat mendengar ujungujung
kalimatnya yang bergetar.
Sooyeon mencoba menetralkan detak jantungnya sebelum menjawab perkataan Jongin.
“Mungkin kau belum memulainya, tapi kurasa aku sudah,”
Sebuah kilatan tidak percaya terbias di mata Jongin sebelum dua hazelnya kembali
meneduh.
“Apa yang kau bica—“
“Aku akan mengatakan sesuatu, kumohon dengarkan aku sampai selesai dan setelah itu
semuanya terserah padamu,” potong Sooyeon cepat.
Gadis berambut cokelat itu menarik napas panjang. Ia kemudian menghadap Jongin.
Menatap pemuda itu tepat di matanya. Bersiap untuk apapun yang akan terjadi nantinya, ia
memulai pertaruhannya.
“Tidak ada yang salah dengan kita Jongin. Aku memahamimu dan kau memahamiku.Hanya
saja aku terlalu takut untuk mengakui. Kau pernah memintaku bercerita tentang diriku dan
sekarang aku akan melakukannya,”
Sooyeon berhenti sejenak, tarikan napasnya semakin pendek dan cepat.
“Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku, aku tidak mempunyai keluarga yang sempurna.
Ayahku menikah lagi dan aku tidak tahu apakah dia masih mempedulikanku atau tidak. Aku
hidup dalam ketakutan, jika semua orang tahu tentang diriku mereka akan memandangku
dengan pandangan kasihan dan aku tidak suka itu. Aku sering menangis karena kupikir aku
tidak mempunyai teman yang benar‐benar mengerti diriku. Aku lelah karena terus hidup
agar orang lain bisa menyukaiku. Terkadang rasanya ingin meledak ketika semuanya
kusimpan rapat‐rapat seorang diri. Tapi aku terlalu terbiasa untuk diam meskipun itu
menyiksaku. Dan Jongin, aku mengatakan semuanya karena aku benar‐benar menyukaimu.
Aku hanya tidak tahu bagaimana melakukan hal yang benar di hadapanmu. Aku ingin
menjadi diriku sendiri namun otakku selalu memintaku untuk melakukan hal‐hal yang
membuat orang lain menyukaiku bahkan ketika denganmu. Dan semua itu membuatku gila,”
Di akhir kalimatnya, air mata sudah mengalir deras di pipi Sooyeon. Ia kemudian cepat‐cepat
menundukan kepalanya, bersiap menerima apapun yang akan Jongin katakan padanya. Ia
hanya tidak mampu jika harus mendapatkan pandangan yang ia benci dari orang‐orang pada
dirinya ,yang mungkin saja Jongin berikan untuknya saat ini.
Namun yang ia dapatkan adalah tangan Jongin yang membawanya dalam dekapan. Hangat
pelukan Jongin dan sentuhan tangannya di punggungnya yang bergetar justru membuat
tangisannya semakin meledak. Ia sudah mengatakan semuanya, namun ketakutan masih
saja melingkupinya.
“Katakan apa yang harus kulakukan, aku benar‐benar tidak tahu,” ujarnya bergetar di selasela
isakannya. Sooyeon merasa benar‐benar menyedihkan, ia terbiasa mengikuti orang lain
hingga ia lupa bagaimana harus jujur bahkan pada dirinya sendiri.
“Aku tidak ingin kau melakukan apapun. Tapi kumohon Sooyeon‐ah, tolong, jangan lagi
merasa takut padaku,” ujar Jongin yang kini membingkai wajah Sooyeon dengan tangannya.
“Belajarlah mempercayaiku, aku tidak akan menyakitimu,” lanjut Jongin.
Sooyeon memandang Jongin lekat, gurat ragu masih terbias di matanya, namun ia
mengangguk. Ia ingin belajar untuk percaya pada Jongin. Ia ingin mempercayai Jongin lebih
dari apapun.
Gadis berkulit pucat itu kemudian teringat pada kotak besar yang berada di pangkuannya. Ia
menarik dirinya dan kemudian membuka kotak itu, menuangkan cukup banyak kupu‐kupu
kertas ke lantai. Jongin memandangnya tak mengerti dan ia hanya tersenyum.
“Kupu‐kupu ini adalah seluruh perasaanku padamu, dan mereka menyimpan kejujuranku.
Aku ingin kau membacanya, karena aku ingin membalas semua kejujuranmu padaku.
Bahkan kejujuran terbesarmu tentang kau yang begitu menyukai Pororo,” ucap Sooyeon
sembari tersenyum, menggoda Jongin yang sedikit salah tingkah saat ini.
Jongin membaca satu demi satu tulisan di dalam kupu‐kupu kertas milik Sooyeon. Satu
tangannya tak pernah lepas menggenggam milik Sooyeon yang lebih kecil. Di setiap
lembarnya senyuman tak pernah lepas dari bibirnya, membuat perasaan Sooyeon menjadi
semakin ringan.
Ia telah membuka dirinya, ia telah belajar percaya. Ia telah menyatakan cintanya dengan
kejujuran dan ia benar‐benar merasa beruntung.
Jongin telah membantunya menyelamatkan dirinya sendiri.

47 responses to “[KCF’s Fanfiction Writing Competition] Of Butterflies and Honest Confession

Leave a reply to J.J Asprilla Cancel reply