[Sequel of Married wiith a Gay] Tian Mi Mi (Chapter 6)

1x

Title     : Tian Mi Mi

Genre  : AU, Romance, Marriage Life

Main Cast: Lu Han, Ariel Lau (OC)

Other Cast : Find by yourself

Rating : 17 +

Length : Multi chapter

Auhtor : Chang Nidhyun (@nidariahs)

Cover by : Zesavanna @saykoreanfanfiction

 

***

Harusnya Stephen peka. Ariel terus menggerutu selama perjalanan mereka menuju restoran terdekat dari CN Tower. Harusnya Stephen tahu jika raut wajah Luhan menunjukkan bahwa ia tidak senang dengan keberadaan Stephen. Harusnya Stephen sadar dengan raut wajah Luhan yang begitu kentara menunjukkan betapa tidak senangnya ia terhadap Stephen.

Tapi, seperti dibutakan tingkat pekanya, Stephen terus saja berceloteh seolah Luhan juga tengah bersuka cita. Padahal, jelas sekali jika Luhan tengah menekuk wajahnya yang sudah kusut itu.

“Kalian akan pergi ke Niagara juga, kan? Bertemu ayahmu,” kata Stephen dengan nada tak acuh –sangat kontras dengan wajah Ariel yang berubah kaku.

Ariel masih tidak memberi komentar sampai mereka duduk di salah satu meja dengan empat kursi. Tanpa diminta, Stephen langsung memesan beberapa menu yang kemudian ia jelaskan bahwa menu tersebut menu yang paling banyak dipesan.

“Kau bisa minum alkohol?” tanya Stephen pada Luhan setelah ia menyebutkan bir untuk dipesannya.

“Aku…”

“Tidak. Luhan tidak minum alkohol,” potong Ariel cepat.

Luhan langsung memutar wajahnya tidak setuju, “Aku mau pesan satu.” Sanggahnya cepat.

“Tidak ada alkohol, Luhan. Tidak baik untuk lambungmu.”

“Tapi ini hanya bir.”

“Apa bir bukan alkohol?”

“Tapi…”

“Alkoholnya tidak jadi, ganti dengan jus jeruk saja,” kata Sehun memotong perdebatan antara Luhan dan Ariel, “Dan…kalian?”

Luhan hendak membuka mulut untuk menyebutkan pesanannya, namun sekali lagi Ariel menyela suara Luhan, “Kami juga jus jeruk.”

“Aku tidak mau jus jeruk,” bantah Luhan kali ini dengan bahasa cina. Ia jengah harus menggunakan bahasa inggris yang membuat lidahnya terasa kacau. Sekacau pikiran dan perasaannya.

Ariel pun melempar pelototan matanya, “Lalu apa? Kau mau minum alkohol? Lalu mabuk? Begitu?”

“Kenapa malah kau yang marah-marah,” Luhan pun menyandarkan punggungnya dengan kesal. Ia pun membuang pandangannya saat Stephen memperhatikan Ariel dan Luhan yang mulai menggunakan nada tinggi –Stephen tidak bisa bahasa cina. Bahkan bahasa korea pun ia tidak tahu.

“Aku mohon Luhan, kali ini saja jangan kekanakan.” Pundak Ariel mulai merosot, menekan emosi agar selalu berada di titik normal itu sulit.

“Apa membohongiku tidak kekanakan? Apa bertemu dengan mantan kekasihmu dan membiarkan suamimu seharian di kamar hotel tidak kekanakan?”

Stephen menggaruk tengkuknya tidak nyaman. Stephen tidak tahu apa yang membuat Ariel dan Luhan tiba-tibaberdebat dengan nada tinggi dan mulai memperlihatkan wajah kurang bersahabat seperti sekarang. Namun satu hal yang dapat Stephen pahami,mereka berdebat karena alkohol –well, sejak dulu Ariel memang tipe pengatur. Tapi melihat bagaimana suaminya ikut menolak ‘aturan’ Ariel, bisa dibayangkan bagaimana seringnya mereka bertengkar.

“Kenapa kau membahas itu terus. Kau tidak malu diperhatikan oleh Stephen?” gumam Ariel yang membuat Luhan mendengus panjang.

“Kau lebih mementingkan laki-laki ini sekarang?” Luhan menunjuk Stephen lewat ekor matanya.

Stephen yang mulai merasa dibicarakan pun berdeham kecil, “Well, kalian baik-baik saja, kan?” tanya Stephen sedikit menggaruk tengkuknya.

“No.” sahut Luhan ketus.

Ariel bisa saja memukul lengan Luhan jika tidaka da Stephen disini. Tapi…sudahlah. Percuma saja berdebat dengan Luhan. Ariel memang salah. Harusnya ia tidak melupakan Luhan, tidak meninggalkan Luhan, tidak menyembunyikan soal pertemuannya dengan Stephen, juga harusnya ia bisa sedikit lebih sabar.

“Maaf, dia tidak sedang dalam mood yang bagus,” jelas Ariel dengan nada mulai melunak.

“Bagaimana moodku bisa bagus jika ada vampire di depanku. Tampan tapi menyebalkan. Tuhan, dosa apa aku sampai harus bertemu dengannya…” sahut Luhan dengan bahasa Cina.

Dan jika saja kesabaran Ariel sudah habis, dia pasti akan menendang kaki Luhan dan meninggalkannya sekarang –tapi ia masih menaruh rasa malu dalam dirinya. Bertengkar di depan Stephen? Tidak. Itu benar-benar memalukan.

“Aku ke toilet dulu,” putus Ariel akhirnya dan bangun dari kursinya, mengabaikan tatapan Stephen juga tatapan Luhan –yeah, ia bisa menebak akan adanya perang dunia setelah Ariel dan Luhan hanya tinggal berdua saja.

Luhan pun menaikkan kaki kanannya ke kak kirinya, kemudian melipat kedua tangannya dan menatap Stephen dengan tatapan kurang suka, “Apa pekerjaanmu?” tanya Luhan kali ini dengan bahasa inggris.

Stephen mengangkat kepalanya dan menatap Luhan ragu selama persekian detik, “Aku? Aku membuka kafe kecil,” jawabnya kemudian sambil menggaruk tengkuknya kurang enak –tentu saja ia merasa kecil sekali membicarakan masalah ini. Stephen sudah tahu jika Luhan adalah pengusaha besar, berbeda sekali dengan Stephen yang masih dalam tahap belajar.

“Kau masih suka berkomunikasi dengan Ariel?” tanya Luhan lagi, tanpa sadar ia sedikit menunjukan rasa cemburunya.

Stephen tersenyum kecil dan mengusap dagunya, “Semenjak kami kuliah, kami tidak lagi berkirim e-mail. Sama-sama sibuk. Tapi sesekali kami berkomunikasi. Hanya saja, semenjak dia berpacaran dengan seniornya di kampus, aku tidak lagi berkomunikasi dengannya. Bahkan aku tidak tahu dia sudah menikah.”

“Dan kau bertemu dengannya tadi pagi?” tanya Luhan lagi dengannada mengintrogasi –Luhan benar-benar tidak senang dengan Stephen.

Stephen mengangguk. Dan sebelum ia menjawab, seorang pelayan membawa pesanan untuk meja mereka, “Terimakasih,” kata Stephen pada pelayan tersebut, dan Luhan menarik kesimpulan Stephen tipe orang yang ramah. Dari caranya bicara, caranya tersenyum, Luhan bisa dengan mudah mengambil kesimpulan Stephen seramah itu –meskipun jika sedang dia, Stephen terlihat dingin.

“Sampai dimana tadi?” tanya Stephen setelah meminum jusnya, “Ah, tadi pagi. Ya. Kami kebetulan bertemu di pasar saat dia tengah melihat pernak-pernik, dan aku sedang mengumpulkan pernak-pernik menarik. Kebetulan sekali bertemu dengannya lagi, meskipun mendadak tapi aku senang kami bisa reuni tadi.”

“Kalian pasti sangat dekat ya…”

Stephen tersenyum mengiyakan, “Ariel sangat pemilih saat berteman. Dia pasti hanya akan dekat dengan satu sampai tiga orang teman saja. Dan entah karena kebetulan rumah kami juga berdekatan, kami jadi sangat dekat.”

Ariel memang tertutup…dan pemilih. Luhan dengan berat hati mengakui pernyataan Stephen yang satu ini. Luhan telah menceritakan semua tentang dirinya, juga masa lalunya, termasuk hubungannya dengan Wufan dulu. Tapi Luhan bahkan jarang sekali mendengar cerita masa lalu Ariel, Luhan juga tidak tahu banyak soal pertemanan Ariel. Soal Stephen di depannya pun Ariel hanya menceritakan sekilas, itu pun soal perjalanan kisah cinta mereka yanga khirnya kandas karena jarak mereka yang sangat jauh.

“Dan aku terkejut sekali saat mendengar ceritanya tentangmu. Dia membicarakan hubungan kalian seolah-olah kalian telah menjalin hubungan lama sekali. Ariel bukan tipe orang yang mudah menaruh kepercayaan pada orang lain, tapi mendengar bagaimana kalian dijodohkan dan Ariel langsung yakin padamu…aku yakin kau pasti orang yang luar biasa. Kalian sama-sama beruntung.”

Setan di kepala Luhan memang berteriak agar Luhan menjadi besar kepala di depa Stephen –tentu saja Luhan lah yang berhasil memenangkan hati Ariel, bahkan Yixing sekalipun kalah telak. Tapi mendengar bagaimana nada tulus itu menyentuh gendang telinga Luhan, Luhan justru merasa hatinya kembali bersih. Tak ada letupan api hitam.

“Tolong jaga dia baik-baik. Dia memang kadang menyebalkan, tidak peka, dan kadang sifat-sifat perempuan pada umumnya malah tidak ada pada Ariel. Tapi dia sangat baik dan sangat tulus. Dia juga selalu pura-pura kuat dan tegar, padahal dia rapuh sekali. Aku yakin, jika dia bisa mempercayaimu sebesar itu, kau juga pasti bisa melindunginya dengan sangat baik.”

“Kau masih meyukainya?” tanya Luhan yang langsung disesalinya –di luar kendali.

Stephen meatap Luhan selama beberapa saat, kemudian tertawa kecil, “Cinta pertama selalu memiliki kesan tersendiri. Meskipun aku tidak merasakan apa-apa saat melihatnya, tapi jika kami kembali melewati hari-hari bersama seperti dulu, mungkin saja aku akan jatuh cinta lagi padanya. Aku akan tetap menyukainya.”

“Maaf lama. Toiletnya penuh. Sepertinya menjelang liburan musim dingin semua orang akan datang berlibur ya,” Ariel tiba-tiba datang dan langsung berbasa-basi –ia takut jika Stephen dan Luhan tengah bertengkar, “Wow, makanannya sudah datang?” heboh Ariel lagi saat mendapati salmon di depan matanya.

Stephen tersenyum kecil, “Kau masih suka seafood?”

“Seafood dan pantai adalah dua hal yang luar biasa,” sahut Ariel langsung melahap makanannya. Dan diam-diam, Ariel melirik Luhan lewat ujung ekor matanya yang tengah memotong daging pesanannya.

“Tapi aku tidak bisa masak banyak-banyak, anak manja ini tidak suka seafood,” canda Ariel sambil menunjuk Luhan lewat ujung ekor matanya. Kemudian Stephen dan Ariel pun tertawa bersama.

Luhan mungkin seharusnya merasa kesal, tapi justru ia malah menimpali, “Anak ini juga merepotkan. Dia harus memasak sayur hanya untukku, kemudian memasak tongkol hanya untuknya.” Adunya pada Stephen yang membuatnya tertawa, “Kalian lucu,” Stephen masih tertawa.

Ariel pun melirik Luhan dengan bingung –jadi, Luhan tidak marah lagi?

 

***

 

Wendy kembali menarik cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Sebenarnya ia benar-benar ingin mengambil liburan saat memutuskan untuk datang ke Kanada, tapi entah karena ia sudah terbiasa bekerja atau bagaimana, Wendy justru kembali menarik laptopnya dan memulai lagi perencanaan barunya.

“Hei, aku mengetuk pintu daritadi. Kau tuli, ya?”

Wendy terpaksa menoleh ke belakang dan mendapati Max tengah berdiri di ambang pintu. Wendy kembali berbalik dan menatap laptopnya di atas meja, ia selalu serius jika sedang bekerja, dan candaan Max takkan berarti jika Wendy sedang sibuk seperti sekarang.

Max medengus panjang. Ia pun menarik kakinya dan memeluk leher Wendy dari belakang, “Berhenti bekerja, monster! Pantas saja kau tak punya pacar, kau selalu seperti ini,” ejek Max yang dibalas pukulan bertubi-tubi dari Wendy.

“Hei! Hei! Aku sedang sibuk, bodoh! Lepaskan aku!”

Max pun tertawa keras dan melepaskan tangannya, “Lagipula kau menyebalkan, sih. Apa susahnya menyahutiku dan bersikap normal. Hih, untung saja aku tidak menjadi bawahanmu,” Max bergidig dan duduk di atas meja. Lihat. Bahkan Wendy masih sempat melanjutkan lagi pekerjaannya.

“Carissa White akan bertemu dengan Saeron, kau mau ikut?”

Berhasil. Kali ini Wendy menghentikan pekerjaannya. Seolah ditarik ke dunia nyata, Wendy buru-buru menoleh ke arah Max, “Dia…orang yang menjadi wali selama Saeron berada di panti asuhan itu?”

Max mengangguk-anggukkan kepalanya, “Dia baru datang dari London semalam. Kakaknya akan menikah, jadi dia sekalian datang kemari.”

Wendy mendengus panjang. Ia selalu tertarik dengan gadis bernama Carissa White yang selama ini diceritakan oleh Max. meskipun nama itu familiar sekali, tapi sebenarnya Wendy sama sekali tidak paham dengan hubungan mereka –Max-Carissa-Saeron.

“Jika kau mau menceritakan semuanya padaku, aku akan ikut. Tapi jika kau tidak mau menceritakannya, aku tidak mau ikut.”

Max mendengus dengan dramatis, “Kukira kau bukan gadis penggosip,” keluhnya masih dengan nada berlebihan.

“Aku bertanya, bodoh! Bukan menggosip!”

Max pun tertawa kecil. Ia benci tatapan mengintimidasi Wendy. Karena jika Wendy sudah menatap lurus dengannada serius seperti itu, artinya Max tak lagi bisa berkilah, “Aku menyukai White. Tapi White meyukai seseorang…”

Cerita yang panjang. Wendy bahkan tidak sadar jika ia masih melipat tangannya di depan dada hingga Max menyelesaikan kalimat ceritanya, bahkan Wendy semakin mengerutkan dahinya saat Max masih bercerita panjang –sampai akhirnya Max meyebutkan nama Luhan.

Luhan. Luhan. Luhan.

Entah mengapa sekarang ia sering sekali mendenar nama itu disebut-sebut. Tapi yang menjadi masalah, sekarang Luhan sudah menikah dengan sahabatnya! Dan laki-laki itu seolah memiliki rangkaian masalah hidup yan tak pernah selesai dari masa lalunya.

“…dan sampai sekarang, White masih menyalahkan Luhan…”

“Saeron tahu soal Luhan?” tanya Wendy cepat.

Max mendengus panjang dan memasukkan tangannya ke dalam saku, “Saeron hanya melihat Luhan saat di pemakaman. Dia sempat mengurus Saeron, hanya saja ia harus segera kembali ke Cina. White yang sangat terpukul setelah kejadian itu terus menyalahkan Luhan. Dia juga mendesak Luhan agar menjadi wali Saeron.” Max menjeda dengan helaan napas panjang, “Tapi saat itu Luhan benar-benar masih seorang mahasiswa yang bergantung pada orang tua, menjadi wali tidak semudah itu. White semakin geram hingga akhirnya ia yang membiayai Saeron. White tidak bisa mengangkat Saeron. Dia tengah meniti tangga menjadi seorang model. Akhirnya dia hanya bisa mengirim Saeron ke panti asuhan dengan ia yang menjadi walinya. Namun akhirnya aku membujuknya agar ibumu saja yang mengangkatnya menjadi seorang anak. Dan White setuju.”

“Lalu…Luhan, kau bilang dia punya pacar lain?”

Max mengangguk, “Namanya Kris Wu. Laki-laki itu sangat melindungi Luhan. Meskipun bukan salah Luhan karena telah berpacaran dengan Kris, tapi White tetap menyalahkan Luhan. Kampus geger sekali saat kakak Saeron bunuh diri. Dan sebenarnya karena rumor itu juga Luhan akhirnya kembali ke Cina.”

Bahu Wendy langsung merosot, tatapan gadis itu kosong, “Tapi Luhan sudah menikah sekarang…”

Max menarik napas panjang, “Ini memang membingungkan. Luhan adalah gay. Kris juga gay. Tapi Kris dekat dengan perempuan bernama Fei. Tapi kudengar Luhan dan Fei juga berkencan. Dia…sangat rumit…”

 

***

 

Ariel salah besar ketika ia berpikir Luhan tidak marah padanya –buktinya Luhan mendiaminya sepanjang perjalanan pulang. Luhan hanya terus menggenggam tangan Ariel, tapi Luhan sama sekali tidak bicara ataupun melihat ke arah Ariel.

“Kau marah padaku?” tanya Ariel ragu saat mereka sudah memasuki kamar hotel.

Tanpa menoleh ke arah Ariel, Luhan meyahut, “Menurutmu bagaimana aku tidak akan marah?”

Sinis sekali. Ariel menundukkan kepalanya. Kadang, ia merasa jengah jika sikap buruk Luhan sudah keluar seperti ini. Bahkan Ariel pikir, selama di awal pernikahan mereka, Luhan hanya berakting saja. Kekanakan, pemarah, pecemburu, meskipun…yeah, ia hanya mengeluhkannya seperti sekarang. Ariel juga sedang pusing dan juga lelah.

“Kau mau kubuatkan kopi?” Ariel akhirnya kembali bersuara. Ia pun berjalan menuju counter dapur.

Luhan tidak menyahut dan berbaring sesukanya di atas sofa yang mengarah ke arah televisi, “Kau sudah minum kopi tadi pagi. Kau mau minum kopi lagi?” tegur Luhan dengan nada cuek –ia peduli. Ia tidak suka Ariel terlalu banyak mengkonsumsi kafein.

Refleks, gerak tangan Ariel terhenti dengan mata yang mengarah ke arah Luhan, “Aku lelah. Aku butuh kafein. Kepalaku pusing sekali…”

“Ada air mineral di kulkas. Minum itu saja. Ah, tidak! Tidak! Kau bisa flu jika minum air dingin. Air biasa saja. Kau jarang minum air putih,” kata Luhan lagi. Kali ini ia menoleh ke arah Ariel.

Menjengkelkan. Ariel mendengus pelan dan akhirnya menaruh kembali toples berisi kopi tadi. Ia menyerah. Ia tidak ingin berdebat lebih panjang lagi. Dan…tumben sekali Luhan tetap mau bicara saat sedang merajuk? Biasanya Luhan akan diam seperti patung.

Ariel pun mengambil sebotol air mineral yang ada di atas meja. Kemudian ia pun memilih duduk di salah satu sofa lain dengan memandang malas ke arah televisi. Ariel pun melirik Luhan sekilas –berharap laki-laki itu akan melihat ke arahnya ataupun bertanya soal apapun. Yeah, itu hanya keinginannya saja. Nyatanya Luhan hanya tetap berbaring dengan mata tak lepas dari layar TV yang tengah menayangkan sepak bola. Entah sepak bola apa. Ariel tidak tahu dan tidak mau tahu.

“Kau tidak akan mandi?” lagi, Ariel mencoba untuk membuka pembicaraan. Berharap Luhan bisa sedikit lebih ramah padanya.

“Kau saja yang mandi.” Sahut Luhan masih ketus.

Ariel pun menarik napas panjang dengan nada frustasi, “Baiklah. Aku mengaku salah. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membohongimu, tapi aku tidak mungkin kan mengatakannya jika aku bertemu dnegan Stephen hari ini? Jadi berhenti seperti ini. Kau tahu bagaimana frustasinya aku jika kau sudah merajuk dan mendiamkanku seperti sekarang? Kita baru saja berbaikan. Kau ingin terus bertengkar meskipun kita sedang berbulan madu? Toh lagipula aku…”

“Berbaring disini!” potong Luhan cepat –dan tentunya berhasil membungkam mulut Ariel, menyisakan tatapan matanya yang bingung, “Aku tidak pernah mendengarm bicara seperti kereta listrik seperti tadi. Tidak ada titik dan koma. Kemari!” Luhan pun menarik Ariel untuk ikut berbaring di atas sofa, memeluknya erat dengan posisi Ariel yang menindihnya.

“Luhan…”

“Diam atau aku akan benar-benar marah. Biarkan tetap seperti ini.”

“Egois.”

“Kubilang diam Ariel Lau, atau kau ingin aku menidurimu disini?”

Ariel mengernyitkan dahinya, kemudia mencubit pinggang Luhan yang membuat Luhan sedikit berteriak, “Hei! Kau benar-benar ingin aku menidurimu disini?”

“Kau kan memang tidak tahu tempat,” balas Ariel dengan nada sinis.

Kali ini Luhan yang mendengus frustasi. Luhan tidak yakin, mengapa ia bisa berjodoh dengan seseorang dengan ego yang tinggi juga –yeah, meskipun Luhan akui Luhan yang lebih kekanakan disini.

“Aku minta maaf…” kali ini Luhan yang bersuara, “Aku…kekanakan. Kau tahu tidak, kadang aku pikir mengemban status sebagai suami begitu berat…dan yang lebih berat lagi, ketika aku merasa gagal untuk selalu menjaga perasaanmu.”

Cheesy. Ariel bersuara dalam hati –dan ia sama sekali tidak berpikir untuk mengeluarkan suaranya. Ariel hanya menarik sudut bibirnya, kemudian semakin mempererat pelukannya pada Luhan.

“Kita memang harus saling menjaga perasaan. Maaf, jika aku juga selalu membuatmu kurang nyaman. Entah karena kejadian kemarin, atau hari ini, aku…memang bodoh.”

“Iya, kau memang bodoh. Dan kau menikahi orang bodoh juga. Dua orang bodoh yang saling mencintai…”

Dua orang bodoh yang saling mencintai. Yeah, kedengaran sangat lucu. Ariel pun memejamkan matanya –tidak peduli meskipun Luhan mulai heboh ketika matanya kembali memandangi layar TV. Entah apa yang terjadi. Ariel tidak mau bergerak dan tetap di posisi itu.

 

***

 

Saeron mengangkat kepalanya setelah mendengar nama Carissa disebutkan oleh Max –laki-laki yang sejak bertahun-tahun lalu begitu baik padanya, semenjak kakaknya meninggal dunia. Dan Max baru saja berkata bahwa Carissa –yang seingatnya merupakan teman kakaknya—akan datang dan menemui Saeron.

“Kenapa dia ingin bertemu denganku?” tanya Saeron dengan nada datar –dan selalu seperti itu. Max sempat khawatir Saeron akan dijauhi teman-temannya karena sifat dinginnya ini. Tapi entah karena prestasi Saeron atau apa, orang-orang di sekitar Saeron justru terlihat tertarik untuk mendekati Saeron. Hanya saja, Saeron yang menjauh dari orang-orang.

Max tersenyum kecil mendengar reaksi Saeron. Ia pun melirik Wendy yang duduk di sampingnya sejak tadi –mereka saat ini sedang berada di kafe dekat rumah Wendy, “Well, kukira dia merindukanmu. Kau juga merindukannya, kan?”

Saeron mendecak kecil, “Bahkan aku tidak ingat wajahnya,” sinis Saeron yang membuat Wendy melotot kesal ke arah Saeron.

Wendy hampir saja mengatakan sesuatu, namun dengan cepat Max menahannya, “Dia walimu selama kau berada di panti asuhan. Kau benar-benar tidak merindukannya?”

“Dia merindukan kakakku. Bukan aku. Dia menyukai kakakku. Bukan aku. Dia baik padaku karena menyesal setelah kakakku mati, bukan karena ketulusannya. Aku tidak menyukainya.” Tegas Saeron yang membuat Wendy tercengang di tempatnya.

Bagaimanapun, Saeron tetap remaja 14 tahun yang bahkan belum mengerti apapun. Gadis seumurannya biasanya hanya tertarik pada sesuatu yang sedang trend, kemudian dengan rasa penasaran mereka akan mencoba satu persatu hal baru. Tapi Saeron memang lain. Wendy bahkan tidak pernah melihat Saeron tersenyum padanya. Entah apa yang membuat ayah tirinya begitu menyayangi Saeron, jug ibunya yang ikut-ikutan menaruh rasa peduli yang besar pada Saeron.

“Kuakui awalnya memang begitu, Saeron. Tapi dia teman dekat kakakmu juga. Dia sangat peduli pada kakakmu.”

“Tapi dia tidak pernah menghormati keputusan kakakku. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri.”

“Begitukah caramu berterima kasih, Saeron Son?”

Max melirik Wendy dengan nada terkejut. Kentara sekali jika Wendy sudah mulai kesal dengan anak kecil di hadapan mereka ini, “Wendy…”

“Kau mungkin akan menjadi gadis kecil menyedihkan jika Carissa tidak menolongmu. Apa begitu sulit hanya untuk menemuinya sekali? Kakakmu pasti akan sangat kecewa jika tahu adiknya seperti ini…”

“Itu balas dendamku pada kakakku.” Potong Saeron cepat. Max tidak lagi terkejut dengan setiap kata yang mungkin keluar dari mulut Saeron, tapi Wendy justru kebalikannya.

“Dia bunuh diri begitu saja hanya karena seseorang yang dicintainya tidak bisa membalas perasaannya. Dan mungkin saja kakakku tidak akan bunuh diri jika saja dia tidak bertengkar dengan Carissa White itu.”

“Saeron…”

“Carissa berkata bahwa kakakku sudah gila. Kakakku tidak waras karena mencintai orang yang salah. Kakakku begitu bodoh, tolol, dan idiot arena mencintai seseorang yang menurutnya salah,” Saeron tidak peduli dengan selaan Max. dengan mata berkaca-kaca Saeron tetap melanjutkan, “Apakah mencintai seseorang adalah sebuah kesalahan? Saat itu aku mungkin baru berusia sepuluh tahun. Tapi apakah di usia sepuluh tahun aku tidak mengerti perasaan kakakku?”

“Saeron…”

“Harusnya Carissa White berlutut dan meminta maaf pada kakakku. Bukan menolong kakakku, dia justru malah membuat kakakku tertekan. Dia kira dia bisa menjadi malaikat hanya karena ia melebarkan sayap?” Saeron menyeka air matanya yang mulai jatuh, “Dia menyalahkan orang lain atas kematian kakakku. Tapi dia sendiri tidak menyadari kesalahannya. Apakah dia kira dia selayak itu?”

“Kau mengenal Luhan?” Wendy mulai penasaran dengan isi pikiran Saeron –namun Max dengan cepat menyela, “Jadi kesimpulannya kau tidak mau bertemu dengan Carissa White walau sekali?”

Saeron menunduk, menjatuhkan pandangannya pada minuman yang ia pesan, “Apakah bertemu dengannya bisa membuat kakakku hidup kembali?”

Hening. Max sangat paham bagaimana terpukulnya Saeron saat mengetahui kakak laki-lakinya melakukan bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya ke sisi jalan. Max juga paham bagaimana terlukanya ia saat Carissa justru menangis meraung dan menyalahkan Luhan karena kejadian ini. Max akui memang Luhan juga ikut andil atas alasan kenekatan kakak Saeron untuk bunuh diri, tapi Max juga mengerti mengapa Saeron menyalahkan Carissa. Carissa bertengkar hebat dengan Seungri –kakak Saeron—sebelum kecelakaan tunggal itu terjadi.

“Seungri Lee memang takkan hidup hanya karena kau bertemu denan Carissa,” kata Max dengan nada rendah. Ia bahkan masih sempat menarik sudut bbirnya saat menatap Saeron, “Tapi hidup tanpa rasa dendam bisa membuatmu sedikit bernapas lega. Carissa memusuhi Luhan. Dan dia terus hidup dalam dendam. Dia tidak bisa merasa bahagia. Begitu juga dengan kakakmu, dia takkan bahagia jika tahu adik satu-satunya justru hidup dalam rasa dendam.”

Saeron mendelik tajam, “Kau kira aku masih anak-anak dan percaya dongeng semacam itu?” balasnya sinis.

“Bahagia dan dendam bukan dongeng, Saeron Lee.”

Saeron terkejut ketika marga lamanya disebutkan oleh Wendy, “Kau mungkin masih anak-anak, tapi aku menghargai pemikiran dewasamu, juga perasaanmu. Tapi memaafkan, rasa bahagia, dan rasa dendam bukanlah dongeng. Kau percaya Tuhan bukan? Seungri tidak disini, tapi dia melihatmu. Dia mendengar tidap kata yang keluar dari mulutmu.”

“Kau tidak pernah tahu apakah Seungri membenci Carissa atau tidak. Tapi kupikir tidak. Itu hanya keputusannya, ketika ia memutuskan mati, itu hanya keputusannya. Aku tidak mengatakan mengakhiri hidup dengan sengaja adalah sebuah kebenaran. Tapi apa bedanya dengan Seungri yang mencintai Luhan? Itu keputusannya untuk tetap menyukai Luhan, terlepas ia memang tidak memiliki rencana untuk menyukai Luhan sejak awal,” Wendy menarik napas panjang, “Aku tidak tahu kau akan mengerti ini atau tidak. Tapi Seungri tidak pernah membenci Carissa, sama seperti Luhan tidak membenci Seungri. Semua salah paham. Dan jika Seungri tidak bisa meluruskan salah pahamnya, mengapa tidak kau yang meluruskannya, Saeron?”

“Seungri memang takkan hidup hanya karena kau bertemu Carissa. Tapi Seungri akan sangat sedih jika kau justru tenggelam dalam dendam kosong…” Wendy menarik napas panjang, “Carissa mencintai kakakmu, maka ia mencintaimu juga, Saeron. Itu bukan sebuah kesalahan. Sama seperti Seungri mencintai Luhan.”

Saeron tidak mengerti. Ia justru menangis mendengar ucapan Wendy –ia tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti kenapa kakaknya harus mencintai Luhan, lalu mengapa harus ada gadis yang terus menguntitnya dan berkata bahwa ia mencintai Seungri, ia tidak mengerti kenapa kakaknya mati dan meninggalkannya hanya karena ia tidak bisa memiliki Luhan.

 

***

 

=to be continued=

20151222 PM1015

BUAT READERS YANG BELUM BACA PROLOG, DIHIMBAU UNTUK MEMBACA PROLOG TERLEBIH DAHULU SEBELUM KE CHAPTER 1 –MAKSA BIAR GAK PADA SALAH PAHAM SAMA ARIEL-.

DAN INI LINK SEQUEL MWAG KRI’S STORY

https://xiaohyun.wordpress.com/2015/12/13/sequel-of-married-with-a-gay-kriss-somwehere-only-we-know-chapter-1/

 

6 responses to “[Sequel of Married wiith a Gay] Tian Mi Mi (Chapter 6)

  1. Yaa ampuuun ini rumit banget sumpah!!! kek ada manis2nya*eh. . .
    yakin deeh kehidupan Luhan dan Ariel setelah nikah bakal lebih rumit dan aku yakin melebihi kisah awal merekaaa. . . tapi yang penting siih luhan udah normal dan mereka saling mempercayai satu sama lain. . . adduh si stephen manly banget siiih*pelukthehun. . sama aku aja yaaa?? mau gak???
    Fighting utk chapter selanjutnyaaaa!!!

  2. kejutan banget. ternyata udah di publish lagi 🙂
    aku agak rumit baca awal2 nya tapi sdtdlah di pertengahan agak ngerti 😀
    aku sidikit kurang suka sama carrisa di sini takutnya dia malah nantinya merusak hub ariel luhan ketika merka bertemu nanti.

Leave a comment