[Chapter 1] The Second of Telepathy

Untitled-1-Recovered

[1st] The Second of Telepathy

AUTHOR              : Ifaloyshee

CASTS        :  Kim Sumin (OC), Oh Sehun,  Im JinAh (Nana), Choi Junhoong (Zelo), Kim Jongin (Kai), Kim Hyelim (Lime), Byun Baekhyun, Park Chanyeol, Zhang Yixing

GENRE                 : Fantasy, Romance, Supranatural, Sci-Fi

DISC                      : The casts are not belong to me. The story-line, plot, ideas are comes from my mind. Dont copy  this story without my permission.

RATING                : PG. [ bakal sering naik seiring bertambahnya part] , Profanity, bloody and maybe.. a bit sex content.

“saat itu adalah tanggal 31 Januari, dimana aku terlempar dari dalam mobilku dengan begitu kerasnya hingga menghantam aspal jalan bebas hambatan di daerah Hongdae, aku tidak ingat apapun ketika sebuah cahaya yang begitu terang menghalangi pandanganku, membuat sebuah rasa sakit yang sangat hebat dikepala, membuatku menjerit keras tetapi kemudian aku tidak ingat apa – apalagi. Aku terbangun didalam ruangan VIP rumah sakit, ditemani oleh kakak laki-lakiku yang duduk tenang namun raut wajahnya terlihat waspada. Dan aku merasakan hal yang berbeda. Aku mendengar banyak suara dipikiranku. Setelahnya aku menyadari, ada sedikit perban yang membalut luka di dahiku. Ketika aku mengambil sebuah cermin dan melihat pantulan wajahku disana—untuk memeriksa seberapa besar luka yang ditutupi oleh perban—ada sesuatu yang berbeda dengan sangat mencolok. Sejak kapan bola mataku berubah menjadi merah pekat?”

***

Kau bisa membenci manusia, tapi kau hanya bisa mengutuknya dengan kata-katamu.

Apakah kau bisa membuat kutukan itu menjadi kenyataan?

Sayangnya, semesta tidak tercipta untuk menuruti kebencianmu.

Namun, bagaimana jika kau bisa melakukannya?

Itu adalah suatu keberuntungan. Benarkah?

Ataukah suatu kesialan?

Gadis ini bisa melakukannya, bahkan hanya dengan sebuah tatapan. Tidak butuh kata-kata kasar, tidak butuh senjata, apalagi sekedar pisau murahan. Dia bisa membuat seluruh urat-urat tubuhmu terputus disaat yang bersamaan, meremukkan jantungmu, menyumbat paru-parumu, meretakkan tulang-tulangmu dan… menghentikan waktu hidupmu.

Hanya dengan tatapannya.

Tapi, satu hal yang terkutuk dalam dirinya…

Hal itu diluar kontrolnya.

“Aku tidak membunuh Kai! Aku tidak membunuhnya!!”

“kau membunuhnya…”

“tidak!! Aku bukan seorang pembunuh…”

“tapi kau membunuhnya. Itu fakta..”

“Tapi aku sama sekali tidak bermaksud untuk membunuhnya… “

“aku tau.”

“tidak peduli dengan cara apapun, aku akan menghilangkan kekuatan ini. Aku harus menghilangkannya…”

***

In a Room. 7PM.

Secarik kertas lusuh ditariknya dari balik tumpukan buku-buku ensiklopedianya yang sudah berdebu itu, buku-buku itu sudah menemaninya lama sekali. Menjadi bacaan rutin dimasa kecilnya yang jauh lebih baik dari apa yang ia alami sekarang ini. Ia ingin kembali, tapi sayangnya waktu tidak bisa ia putar balikkan kebelakang.

But eveything means nothing, if i ain’t got you.

Gadis itu menatap lama sederet kata yang ditulis dengan  bahasa inggris, mencoba mendalami maknanya. Ia menghela nafasnya kemudian meletakkan kertas lusuh itu diatas meja belajarnya, dibawah temaram lampu kamar.

Tut. Tut.

Ia meneguk Lemon Tea-nya sambil mengangkat telepon yang baru saja datang. “Halo?”

“Jadi oppa sudah sampai di bandara Incheon? Jam berapa?” gadis dengan rambut panjang hitamnya itu berjalan pelan kearah jendela, dengan iPhone yang masih menempel ditelinga. Jari-jari tangan kanannya menyentuh permukaan jendela, melihat langit malam yang gelap.

“Aku rasa aku bisa menjemputmu. Aku pakai taksi kesana, kau tau kan aku tidak punya mobil.” Ia hanya tersenyum  mendengar lawan bicaranya mengumpat kecil, karena sejak dulu gadis itu tidak mau dibelikan mobil padahal ia bisa saja meminta Limosin. Gadis itu terlalu sederhana.

“Langit mendung, hujan turun sekitar satu jam lagi. Dan aku tidak suka basah kuyup dimalam hari.” Keluh gadis itu, kedua matanya yang berwarna cokelat masih menatap langit malam melewati jendelanya.

“bintang – bintang itu hanya tipuan saja. Nanti akan turun hujan lebat. Sangat lebat.” Ucapnya penuh penekanan karena lawan bicaranya terus mengelak. Setelah itu telefon ditutup, gadis itu masih terdiam selama beberapa detik kemudian ia beranjak untuk mengambil jaket dan syalnya.

Tangannya terhenti diudara ketika sepasang matanya kembali menangkap secarik kertas lusuh tadi yang masih tergeletak terbuka diatas meja, ia mengambil kertas tersebut kemudian melipatnya dengan rapi setelah itu ia selipkan dibalik buku Chicken Soup miliknya.

Ia bergegas meraih jaket dan syal hermesnya lalu melesat keluar dari kamarnya. Masih membawa ingatan tentang masa lalu nya yang tidak pernah berhenti menghantuinya, satu – satunya orang yang ia kagumi, dalam konteks pria. Yang ia anggap sebagai malaikat yang bisa menarik ujung bibirnya untuk membentuk suatu senyuman hanya lewat surat singkat yang sudah berumur sekitar enam tahun itu.

31ST January 2007

But everything means nothing, if i ain’t got you.

Saranghae Kim Sumin~

From: K.

***

Am I strange?

School, 7AM.

Kelas di pagi hari ini sangat riuh, siswa-siswa mulai berdatangan setelah dua minggu kami semua mendapatkan jatah liburan—yang sebenarnya biasa saja—menarik dimana kurang lebih beberapa bulan sebelum ini seluruh siswa di force habis-habisan demi menempuh Ujian Bulanan.

Semuanya terlihat sama saja, menyebalkan. Berisik dan urakan sekali. Seperti mereka tidak pernah diajari tata krama saja, sebenarnya itu wajar karena… begitulah masa sekolah menengah atas, maksudku.. banyak yang berpendapat bahwa di sekolah menengah atas adalah waktu untuk bermain-main sebebas bebasnya.

Mungkin hanya aku sendiri saja yang duduk diam, menjadi pengamat walaupun tidak terlihat mengamati, menguping walaupun tidak terlihat menguping. Yang mereka lihat, hanyalah sosok Kim Sumin yang aneh. Yang selalu duduk sendirian dengan sebuah buku didepannya, yang jarang berbicara, yang tatapannya menyeramkan.

Yang pernah menjadi seorang pembunuh sehingga semua siswa disekolah ini mengucilkannya.

Ya, Kim Sumin itu adalah aku. Seseorang yang selalu dipandang sebelah mata tidak peduli seberapa cerdasnya aku dalam semua mata pelajaran. Atau betapa indahnya rambutku bak bintang iklan shampoo. Betapa mulusnya kulitku walaupun terbakar dibawah sinar matahari saat musim panas.

Aku tidak sedang memuji diriku sendiri, Well.. ini yang mereka bicarakan tentangku, dibelakangku. Atau lebih spesifiknya, didalam pikiran mereka. Yang menjadi rahasia bagi mereka, tapi tidak untukku.

“Kau sudah datang!!”

Tiba-tiba seorang gadis duduk dihadapanku, aku masih menunduk diam sambil mendengarkan musik dan berpura-pura tidak dengar karena earphone-ku masih terpasang. Gadis itu mengetukkan pensilnya diatas mejaku, membuatku akhirnya mendongak dan melepaskan sebelah earphoneku. Berpura-pura baru menyadari kehadirannya.

Gadis dihadapanku tersenyum, sayangnya palsu.

“Sumin-ah! Aku sejak tadi menunggumu, tapi kau belum datang juga. Akhirnya aku menemukanmu disini setelah tadi mampir ke kantin sebentar untuk beli minum.”

Aku hanya mengangguk saja. “Apa yang kau mau?” tanyaku to the point.

“ehehehehe, tidak banyak. Hanya satu worksheet matematika yang perlu kau kerjakan.”

“berapa jumlah soalnya?”

“Tidak banyak kok, enam puluh soal.”

“aku tidak bisa.” Jawabku singkat. Sedetik kemudian senyum penggoda diwajahnya pudar, tapi ia masih berusaha untuk merayuku walaupun dengan terpaksa. “kenapa?”

“Hari ini dan besok jadwalku full, aku harus mengajar di G-kids school, sebentar lagi ada perlombaan untuk mereka.”

“kau bisa mengerjakannya kapan saja. Aku tidak masalah, oke?”

Aku masih terlihat berpikir, tapi gadis dihadapanku ini terlihat terburu – buru; dan masih memasang senyum palsu. Membuatku sebal melihatnya. Akhirnya aku putuskan untuk membantunya dengan sekali anggukan.

Wajahnya langsung sumringah, dia langsung bangkit dari duduknya dan tersenyum puas. “Gomawo!” ujarnya kemudian ia berbisik sebentar sebelum melesat dari hadapanku, kembali bersama teman – temannya. “Aku akan mengirim uangnya ke rekeningmu nanti.” Begitulah bisikannya tadi.

Ironis memang, aku selalu merasa bersalah terhadap diriku sendiri yang mau menjual ilmu ku pada orang-orang seperti mereka. Aku rela tidak tidur semalaman demi menggarapi soal-soal dari pekerjaan rumah atau tugas teman-teman sekolahku—tentunya dengan bayaran yang setimpal. Sudah menjadi rahasia umum kalau Kim Sumin sangat pintar, tapi tetap saja pemikiran mereka tentangku adalah ‘gadis aneh’

Gadis yang tadi, namanya Yoon Bomi. Dia secara tidak tertulis tercatat sebagai ‘one of the most wanted girls around school, cantik? Checked. Kaya? Checked. Popular? Checked. Up-to-date? Checked. Sama seperti kebanyakan gadis di sekolah ini yang hanya bernafsu pada seberapa banyak pria yang tertarik pada mereka dan bagaimana penampilan mereka bisa menarik perhatian dan satu lagi, seberapa banyak gosip murahan yang bisa mereka ketahui.

Aku rasa, sekolah saat ini tidak memandang seberapa banyak ilmu yang kau dapatkan, tetapi seberapa banyak popularitas yang kau dapatkan.

Tidak banyak yang aku ketahui tentangnya—lagipula aku juga tidak mau tau—tapi yang jelas, ayahnya seorang direktur dari Lotte duty free. Dan rumahnya sebesar apartemenku dikali 50. Setiap hari ia mengenakan sepatu yang berbeda-beda.

Otak nya kosong, sama seperti siswa yang lain kebanyakan. Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikiran mereka—atau aku yang tidak normal?—yang jelas aku tidak ambil pusing. Dan bukan urusanku.

Jadi kenapa aku mau membantunya untuk menunjang nilai Yoon Bomi itu? Bukankah berarti aku sama bodohnya dengan mereka? Call that. Sebenarnya simpel saja, aku butuh uang. Aku menghidupi segala keperluanku dengan uang sendiri, tidak ada yang memberiku uang saku dipagi hari ataupun uang sekolah bulanan. Tapi untungnya aku mendapatkan beasiswa untuk semua uang sekolahku jadi aku bebas dari tagihan administrasi sekolah.

Aku tidak hidup sebatang kara, ada Ibu dan kakak laki-laki ku namun mereka tidak menetap di sini. Aku semacam mendapatkan detensi dari tingkah laku lama ku yang mengundang kemarahan Umma dan Oppa. Percayalah, dulu aku adalah gadis yang sangat buruk. Sebelum umurku tujuh belas tahun.

Appa bercerai dengan Umma dan memutuskan untuk menikah dengan sekertarisnya—yang sekarang menjadi istrinya—dan mereka tinggal di Gwangju, dan sampai sekarang Umma masih memilih untuk sendiri. Mungkin beliau trauma?

Entah. Tapi karena hal itu, Oppa ku menjadi sangat protektif terhadapku. Ia mengerti kalau aku menjadi rusak semenjak Appa menghianati kami semua. Dan Oppa berusaha untuk merubah sifatku dengan detensi ini. Ya, hidup di luar kota sendirian dengan segala keperluan yang harus aku penuhi sendiri, kecuali apartemen ku yang menjadi modal awalku; Myungsoo oppa yang membelikannya untukku.

“sial! Aku lupa membawa buku catatan bahasa inggrisku!” rutuk seseorang dalam pikirannya, dan sedetik kemudian sebuah tas berwarna biru muda mendarat keras persis disebelahku. Aku mendongak, menyaksikan seorang gadis dengan rambut pendek berwarna biru menyala menghempaskan tubuhnya disebelahku.

“kau meninggalkannya diatas meja kemarin.” Aku mengambil sebuah buku tulis berwarna biru dari dalam tas dan menyodorkan padanya. Dia mengangkat sebelah alisnya, kemudian tersenyum. “ah geurae! Aduh aku benar-benar lupa!”

Gadis disebelahku. My deskmate and eternal bestfriend, Kim Hyelim. Tapi semua orang memanggilnya Lime—itu nama panggilannya—walaupun ada beberapa yang memanggilnya “biru”. Adalah seorang gadis yang periang, dia sangat suka dance dan tidak terlalu feminine. Namun ia manis sekali.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku mengenalnya, tapi dia adalah seseorang yang berharga karena selalu memandangku dengan sama walaupun aku berubah—dia sahabatku sewaktu aku masih urakan dan ketika aku menjadi siswi biasa saja, dia tetap mau bersahabat denganku—tapi terkadang moodnya sulit sekali ditebak. Walaupun aku bisa membaca pikiran, tapi bukan berarti aku bisa membaca perasaannya.

Tidak lama kemudian datang seorang pria yang mengenakan topi bertuliskan “Comme de fuckdown” diatas rambut hitamnya, seperti biasa, pria itu membawa sebuah gitar akustik ditangannya dan segera berlari kearahku dengan ekspresi cerianya.

“Taruhan! Aku datang lebih awal, kau traktir aku ice cream!” Lime langsung berdiri dan menunjuk-nunjuk pria disebelahku ini, Zelo. Yang ditunjuk langsung meredup senyumnya, ia mendecak sebal. “aku kira taruhan itu sudah kadaluarsa.”

Lime menggelengkan kepalanya.

“tapi tidak bisa seperti itu! Aku bisa bangkrut kalau setiap hari senin mentraktirmu ice cream.”

Lime menggeleng lagi. Zelo langsung mendaratkan jitakan dikepala gadis berambut pendek itu. “YAH!!!”

Lime langsung mendelik, dengan cekatan ia melompat dari bangkunya untuk menyerang Zelo, mencekik lehernya tanpa perasaan sedangkan mulutnya terus mengumpat. Lime sangat tidak suka jika seseorang menyentuh rambutnya apalagi dengan cara tidak sopan seperti yang Zelo lakukan, walaupun Zelo sudah tau begitu tapi ia tetap melakukannya.

Aku benar-benar sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini jadi aku diam saja, malah menjadi penonton terkadang lebih menyenangkan; kapan lagi melihat seorang gadis mencekik pria tampan semacam Zelo?

Semakin anarkis tingkah Lime, Zelo mulai terbatuk-batuk tetapi herannya ia masih saja menyulut api. Zelo malah mengacak-acak rambut Lime dengan tangan kanan nya yang bebas—tangan kirinya masih memegang gitar—dan sesekali menjambaknya.

“JANGAN SENTUH RAMBUTKU!”

“HAHAHAHA! UHUK!!”

“ZELO!!!”

Tapi kalau sudah seperti ini mereka harus diakhiri, dan satu-satunya manusia yang peduli dengan pertengkaran konyol mereka hanyalah aku. Atau mungkin yang lain takut mendekat karena keduanya terlihat sangat anarkis.

“Yaaah! Kalian berdua, stop!” hardikku. Aku bangkit berdiri dan menarik lengan Lime sehingga cekikannya dileher Zelo terlepas. Zelo langsung terbatuk-batuk keras setelahnya, tapi ia tertawa.

“aku akan traktir kalian berdua es krim, oke? Aku baru saja mendapat uang beasiswaku kemarin. Kajja!”

Lime dan Zelo langsung melompat senang, keduanya tertawa bahagia. Dasar pemerkosa kantong orang! Begitu mendengar kata traktir dari mulutku mereka berdua langsung berseri-seri, seperti baru mendapat undian berhadiah. Tapi aku senang melakukannya, karena hanya mereka berdua yang mau tersenyum dan tertawa bersamaku. Mau makan denganku. Mereka yang selalu disini.

“Kim Sumin is the best!” seru Lime dan berjalan berjingkat-jingkat didepanku sedangkan Zelo mencubit pipiku dan menyusul Lime, memeluk bahunya. Lihat saja, mereka langsung akur kan. Benar –benar lucu.

Aku hanya tertawa melihatnya, kemudian berjalan menyusul dibelakang.

***

Macau, empty street.

Cahaya temaram dari bulan menyinari sebuah jalan kosong di pinggiran Macau, Hongkong. Hanya ada beberapa lampu jalan yang berjejeran di tepian dan rumah-rumah penduduk yang tampak gelap karena hari sudah terlalu petang. Hampir pukul dua pagi.

Suasana sepi itu terusik oleh bunyi derap langkah yang berangsur-angsur terdengar lebih jelas, dan tepat dari sebuah belokan di pertigaan jalan muncul seorang pria mengenakan kaus tipis berwarna biru dan celana jeans, rambut cokelat tuanya terlihat mengkilap ketika ia menghentikan langkahnya dibawah lampu.

Kulit pria itu putih pucat, matanya tajam dan tampak memikat.

Bibirnya yang tipis dan tampak kemerahan itu membuat seulas senyuman puas ketika dari balik pertigaan muncul sebuah Volvo dengan warna hitam pekat melaju kearahnya dan berhenti tepat hanya beberapa centi didepan pria itu.

Ia tersenyum meledek, “kau berniat membunuhku dengan mobilmu karena aku jauh lebih cepat?” ejeknya kemudian ia tertawa.

Sang pengemudi turun dari dalam mobilnya dan langsung mengumpat. “sial kau Oh Sehun!” ia berjalan menghampiri pria bernama Sehun itu dan berkacak pinggang. “Lain kali beli mobil yang lebih bagus, yang bisa lebih cepat dari langkahku.” Ejek Sehun lagi, masih saja.

“Aku mau saja asalkan kau mau menjadi atlet lari dan memberikan uang hadiahmu untukku.” Canda pria didepan Sehun itu, Zhang Yixing. Sehun hanya tertawa mendengarnya.

“Aku tidak bakal jadi atlet lari, semua orang akan tercengang padaku nanti. Atau semua orang malah akan tau kalau aku bukan manusia biasa.” Papar Sehun.

“itu pasti sangat mengasyikkan.”

“jangan gila kau Lay.”

“Yah aku tau, kau hanya tidak mau penggemar wanitamu bertambah lagi, kan?”

“Begitulah.” Sehun menyeringai sombong. Tidak bisa dipungkiri, Oh Sehun memang memiliki wajah yang sangat tampan dan kulitnya putih pucat layaknya seorang vampire—tapi Sehun benci vampire—dan banyak sekali wanita yang mengejar-ngejarnya tidak peduli bahwa Sehun sama sekali tidak mau peduli dengan mereka semua.

Lay tertawa ringan. “dasar penjahat wanita!”

“hey aku tidak seperti itu!” Sehun merengut dan memukul bahu Lay pelan. Tapi Lay justru mengangkat sebelah alisnya, meledek Sehun.

Kedua pria dengan tinggi semampai itu masih saja bermain-main dijalanan tersebut, memecah sepinya malam dengan candaan mereka seakan gelap dan dinginnya suasana malam itu bukanlah apa-apa. Benar saja, mereka berdua tidak akan bisa menggigil kedinginan atau sekedar menggosok-gosokkan kedua tangannya. Tubuhnya kebal, kaus tipis yang menempel di tubuh mereka berdua sudah cukup hangat.

“jadi kau mau pindah?”

Sehun mengangguk kemudian menghela nafasnya. “aku akan kembali ke Korea Selatan.”

“Kenapa?”

“aku rindu Seoul. Suasana ramainya ketika malam hari, masakan-masakan pedas yang sudah dua tahun ini tidak aku makan lagi, dan…segalanya. aku juga ingin menemui seseorang.”

Awalnya Lay tidak tertarik sama sekali dengan alasan kepulangan Sehun ke Seoul. Alasan yang sepele. Menurutnya. Tapi setelah dua kata terakhir yang Sehun barusan katakan, ia langsung antusias. “Siapa? Seseorang?”

Sehun bisa menangkap raut wajah Lay yang penuh ingin tau, ia hanya menyeringai. “perlukah aku memberitahumu?”

“Dude, C’mon!”

“Aku kira kau sudah tau. Masih gadis yang sama, kok.”

“Yuko?!”

Sehun mengangkat bahunya. Lay berdecak kagum, kemudian menggelengkan kepalanya. “kau masih saja minat pada gadis itu, bukankah terakhir kali kau bertemu dengannya saat kau masih kecil kan? Tau apa kau tentang cinta, aku kira hanya sekedar perasaan suka biasa.”

“memangnya kau pikir perasaan suka ku padanya itu seperti apa?”

“Besar sekali.”

Lagi – lagi Sehun mengangkat bahunya. Ia tidak yakin. Tapi… apa mungkin? Bahkan bagaimana wajahnya pun Sehun tidak tau, terakhir bertemu dengan gadis itu ketika keduanya masih duduk dibangku SMP.

“dia cinta pertamaku, dialah orang pertama yang membuat darahku berdesir cepat hanya karena melihat tawa lepasnya.”

Lay mengangkat kedua tangannya, takut mendengar Sehun melanjutkan kalimatnya. Rasanya lucu mendengar Sehun berkata seperti tadi, padahal Lay tau benar kalau Sehun bukanlah tipikal pria yang bisa mengucapkan kata-kata manis.

“Oke aku menyerah, aku rasa mau dipengaruhi seperti apapun kau tetap tidak mau beralih pada wanita lain.”

“haha.” Sehun tertawa hambar. Pikirannya mulai melayang kemana – mana, mengingat masa kecilnya saat ia di Korea dulu dan bagaimana ia bertemu dengan si Yuko itu. Sehun ingat sekali, saat itu Yuko suka sekali padanya tapi Sehun sama sekali tidak meresponnya. Karena Sehun saat itu tidak berani, ia menyukai Yuko tapi takut membuatnya terluka. Jadilah ia memendam perasaannya, ia saat itu terlalu takut untuk mengutarakan perasaannya apalagi menjalin hubungan dengan Yuko. Simpel, Sehun sangat suka padanya.

Mungkin gadis bernama Yuko itu masih ada? Atau malah…sudah meninggal? Atau pindah ke luar negeri? Dijodohkan? Atau—

Blam.

Seketika jalanan menjadi sangat gelap, lampu taman dan lampu jalan yang menerangi malam tiba – tiba padam. Sehun kembali menapak bumi, menyudahi nostalgianya. Ia memandang Lay yang sama diam dihadapannya. Tampak tenang.

“Park Chanyeol” ucap Lay. Sedetik kemudian terdengar bunyi seseorang yang menapak tepat disebelah Sehun, barulah Sehun menyadari kalau ini kelakuan Chanyeol.

Satu persatu lampu mulai menyala kembali dan terlihat jelas, Pria dengan tinggi 184 cm itu tiba –tiba sudah berdiri disebelah Sehun, nyengir lebar. Ia memakai topi  berwarna hitam dan ekspresinya tampak jenaka.

Kehadiran Chanyeol memang selalu seperti ini, secara tiba-tiba. Mentang – mentang ia bisa mengendalikan cahaya apapun yang berkaitan dengan lampu selalu menjadi objek permainannya—dan tentu saja objek kejahilannya. Ia memang salah satu dari makhluk supernatural yang aneh, dia tidak bisa menelepati tapi bisa mengendalikan cahaya dan membuat percikan api dari jentikan jari-jarinya.

Chanyeol memang lebih tua dari Sehun—begitu pula Lay—tapi mereka berbaur bersama dnegan akrab, seperti teman sebaya sehingga mereka bisa bebasmelakukan apa saja satu sama lain tanpa melihat tingkat kehormatan pada seseorang yang lebih tua. Juga, batasan umur bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan pada era saat ini.

Sayangnya, Chanyeol ini tingkahnya lebih kekanakan ketimbang Sehun apalagi Lay. He loves trolling around and smiling like an insane man. Apapun yang terjadi, Chanyeol akan terus tersenyum walaupun dunia runtuh.

Tapi kali ini ada yang berbeda dengannya, tatapannya pada pria jangkung yang ada disebelahnya saat ini. Chanyeol menatap Sehun sayu walaupun bibirnya tersenyum sangat lebar. Ia memegang sebelah pundak Sehun dan menepuknya manly yang dibalas senyuman oleh Sehun. Lay mengerti, dia berangsur mendekat dan memegang pundak sebelah kiri Sehun.

“firasatku mengatakan kalau kau akan menetap di Seoul sangat lama.” Chanyeol masih saja dengan cengiran lebarnya. Lay menimpali, “Kabari kami. Atau kau akan aku teror..”

Sehun tertawa singkat. “tentu. Keep your oppinion Chanyeol-ah, sepertinya memang begitu.”

“Aku tidak tau kapan terakhir kali aku melihat Baekhyun, tapi semenjak dia pulang ke Korea dia tidak pernah menghubungi kita lagi. Mungkin ada banyak hal menarik disana sampai dia lupa Macau.” Chanyeol mendongak keatas, melihat langit yang gelap. Menerawang masa lalu.

“mungkin dia jatuh cinta pada manusia.”

“mungkin begitu, jadi ia lupa pada kita.”

“Hey… kalian, tidak boleh ada diskriminasi. Ingat?” sehun mengingatkan. Memang sudah menjadi tradisi, bahwa makhluk supernatural seperti memiliki kedudukan sendiri dan dunia mereka sendiri sehingga mereka lebih suka berbaur dengan sejenisnya, tapi bukan berarti mereka akan menganggap rendah manusia.

Tapi memang terkadang ada yang seperti itu.

Sehun sendiri, adalah orang yang sangat suka bersosialisasi.. dan ia akan berteman dengan siapa saja. Menganggap siapa saja sama. Mindset nya sedikit berbeda dengan Lay dan Chanyeol.

“Oke. Aku tau.” Timpal Chanyeol sedikit merasa bersalah, Lay mengangguk.

“apakah kalian ingat pada Donghae hyung? Dia sekarang sudah menjadi manusia karena menikah dengan manusia, dulu ayahku sangat dekat dengannya karena ia termasuk dalam salah satu supernatural yang hebat. Pengendali pikiran yang baik..”

“tapi tentunya tidak sehebat kau.” Timpal Lay.

“yah, memang sih.”

“aku ingat dengannya! Kalau kau bertemu dia, sampaikan salamku!” Chanyeol berseru dengan semangatnya.

“kalau dia ingat denganmu.”

“memangnya Donghae hyung sendiri ingat denganmu?!” protes Chanyeol. Sehun smirking, ekspresinya tampak menyebalkan. “tentu saja. Berani taruhan, dia pasti ingat denganku.”

Sedetik kemudian Lay dan Chanyeol berbarengan menoyor kepala Sehun.

“Yah! Kenapa kalian—“ belum sempat Sehun menyelesaikan kalimatnya, Lay dan Chanyeol sudah lebih dahulu berlari. Kemudian Lay menghilang dan kembali muncul diatas kap mobilnya, duduk dengan tenangnya disana. Chanyeol sudah berada lebih jauh didepan lay, dia menjentikkan jari telunjuknya dan menciptakan sebuah api kecil diatas jarinya, tangannya yang bebas mengambil sebuah rokok dali balik saku jeans.

tidak lama setelahnya, Sehun sudah berlari menyusul mereka berdua dengan begitu cepat—kecepatan yang diluar batas kenalaran manusia—dan ketiganya tenggelam dalam dunia mereka sendiri, memecah hening dan pekatnya malam dengan suara tawa yang membahana—apalagi suara chanyeol.

Menghabiskan waktu – waktu terakhir sebelum Sehun kembali ke Seoul.

***

At school, 10PM

“kau dengar tidak, akan ada murid baru disekolah kita?”

Nana tidak habis pikir, sejak pagi tadi seluruh murid di sekolah sudah diributkan dengan rumor bahwa akan ada murid pindahan dari Macau. Katanya sih seorang pria dan sangat tampan tapi belum bisa dipastikan juga karena tidak ada yang memilik foto calon murid baru itu. Semoga saja iya, bisik Nana dalam hatinya sehingga ia memiliki target baru untuk diajak berkencan setiap Friday night.

Ia sudah cukup pusing dengan hasil ujian bulanan yang baru saja diberikan kemarin, dan hasilnya buruk sekali. Repurtasinya sebagai Queenka sekolah bisa saja runtuh karena hal ini, ia pokoknya tidak mau ada satupun kekurangan dalam dirinya. Ia harus sempurna.  Gadis berambut blonde yang disampirkan kebahu kanannya ini masih saja mengaduk es krim vanilla dihadapannya dengan malas, moodnya hari ini rusak!

Yang pertama; tentu saja karena hasil ujian bulanannya yang awful semua. Kedua; semua sibuk membicaraka tentang murid baru itu.

“Sepertinya saem memang sedikit tega kali ini, ia tidak berbaik hati memberikan nilai yang lebih pada murid-muridnya…”

“tapi tetap saja kau mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran kan..”

Nana yang sedang sibuk mengunyah itu mendongak perlahan mendengar suara familiar tepat disebelahnya, ia menoleh dan mendapati Sumin dengan gengnya—Zelo dan Lime tentunya—duduk tepat di bangku sebelah Nana, sibuk membicarakan tentang hasil Ujian bulanan.

Nana menyeringai, kebetulan sekali ia sedang butuh hiburan disaat seperti ini.

Tidak butuh waktu lama, Nana sudah menginterupsi meja Sumin. Ia duduk diatas meja dengan menyamping, menyilangkan kedua kaki jenjangnya kemudian tertawa mengejek. Zelo mendongak dan langsung mendengus malas, ia berpura – pura tidak melihat Nana; dan melanjutkan memakan jajanmyeon dihadapannya. Sedangkan Lime memutar bola matanya. “apa sih kau!” hardik Lime.

Nana menghiraukan umpatan Lime, ia kini memandang ke arah Sumin yang membuang mukanya.

“bertemu kembali denganmu, pembunuh. Apa kabar?”

Sumin menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Nana sebal. “menyingkir dari hadapanku?”

“Lalu kalau aku tidak menyingkir kau mau apa? membunuhku?”

“aku bahkan tidak mau mengotori tanganku untuk membunuh jalang sepertimu.”

“benarkah? Kau saja bisa membunuh orang yang kau cintai, masa membunuhku saja tidak ma-”

BRAK!

secara tiba – tiba Sumin menggebrak meja dihadapannya dengan keras, ia sungguh benci…. sangat benci jika ada yang mengungkit kematian Kai.

TBC

Sebenarnya ada season satu nya tapi ceritanya beda sama ini, dan kalo kalian ga baca season 1 nya juga tetep ngerti kok ^^ Bingung?  tenang aja ini masih part satu kok ntar semakin kesana semakin jelas c

188 responses to “[Chapter 1] The Second of Telepathy

  1. daebak. huwaa aku reader baru ff ini salam kenal thor & maaf kalo gak bisa ngomment yang mendukung / bagus. tapi aku selalu ngusahain untuk comment jadi mian thor. itu jadi sumin pacar kai tapi bunuh kai gitu? anak anak exo jadi makhluk supranatural? yehet ff nya keren banget

  2. ohh kai itu itu orang yg dicintai sumin tapi kok dibunuhsih ??
    sehun pindah ke sekolahnya sumin ya,,wah bakal ..rame nihh
    aduhh makin penasaran deh,,,,,
    seeeeemangat author…

  3. Waa.. Ini keren! Baru nyampe ch. 1 thor :p
    Ada Zelo Donghae .. Si twinnie asal mokpo XD Zelo kok jadi ngeselin gitu ya? Wkwk
    Wah apa ya kekuatan YeolHunLay ? Hanya telepathy kah atau ada kekuatan lain?
    Aku bayangin si sehun emang vampire XD
    Sumin itu siapa realnya? Ulzzang? Member GB?
    Hwaiting!

  4. Apa sehun bakal jatuh cinta sama sumin? Yuko itu siapa? Aku kira kekuatan sehun tetep pengendali angin kyk aang gitu hhe, kai mnggl kenapa sebenernya thor?

Leave a comment