A Thousand Paper Cranes | Chapter 3

jdkajdkaj
Title: A Thousand Paper Cranes

Parts: Chapter 1/Prologue | Chapter 2 | Chapter 3

Author: Vanana

Genre: Romance, Drama

Length: Chaptered

Main Casts: Oh Sehun, Ahn Hayeon (OC/You), Kim Jongin

Note: maaaaaf banget buat para readers ff ini. terakhir kali aku update ff ini tuh februari 2013 dan sekarang udah desember ._. parah banget yahhh tapi semoga kalian masih tertarik buat baca ff ini dan buat para readers baru, semoga suka sama jalan ceritaya ^^ 

Pagi yang cerah tidak berarti apa-apa ketika kau tidak bisa berjalan-jalan keluar. Saat berada di dalam kamar seperti ini, aku lebih menyukai hujan deras yang suaranya sangat memanjakan telingaku. Mendengar suara hujan yang turun sambil melihat air mata awan yang tumpah membuatku merasa bagaikan dipeluk oleh alam. Hujan memang membuat cuaca menjadi dingin, tetapi ketika kau menikmatinya, kau akan merasakan seberkas kehangatan yang bersembunyi dibalik dingin dan gelapnya cuaca.

Aku melihat keluar dari jendela kamarku. Mawar, anggrek, banyak sekali bunga tumbuh segar di halaman rumah sakit. Tetapi aku tahu satu hal; bunga-bunga tersebut pada akhirnya akan mati, seperti manusia. Dan bunga yang paling cantik-lah yang paling dulu mati. Bunga paling cantik itu akan dipetik oleh seseorang, lalu diberikan pada orang lain. Kecantikan bunga itu akan tetap bertahan selama beberapa hari, tetapi ketika ia layu dan tidak cantik lagi, orang-orang akan membuangnya. Atau lebih buruknya lagi, mereka akan membiarkan bunga layu itu tertiup angin. Itulah mengapa aku suka menggambar bunga; karena gambar tidak akan mati.

Bicara tentang bunga, aku teringat pada Sehun. Dia memiliki kesamaan dengan bunga. Dia hidup, tetapi tidak bisa berinteraksi dengan kita. Dia bernafas, dia juga membutuhkan cairan seperti orang-orang lainnya. Bagiku, yang paling membuat ia sama dengan bunga adalah keindahannya. Saat matanya tertutup pun, aku bisa mengetahui bahwa ketika matanya terbuka, aku bisa melihat surga dibalik kelopak mata itu.

Ketika sedang asyik melihat bunga, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku mengizinkannya membuka pintunya sendiri, karena aku terlalu malas untuk turun dari tempat tidur. Pintu terbuka dan aku bisa melihat Kahi yang memasuki kamarku.

“Kau tidak meminum obatmu kemarin,” kata Kahi dengan tampang galak. Sebenarnya, dia tidak galak. Dia adalah seorang dokter yang lembut dan penyayang.

“Aku tidak suka obat itu,” aku nyengir sambil menggaruk leherku. Daripada meminum obat yang tidak enak, aku lebih memilih dimarahi oleh Kahi.

“Jika kau tidak meminumnya, kau akan sakit,” Kahi memberikanku obat itu lagi. Padahal, hari ini aku belum makan. Bukankah seharusnya obat diminum setelah makan?

“Lagipula, aku sudah sakit, kan?” aku menjawab Kahi dengan pertanyaan, “ngomong-ngomong, pagi ini aku belum makan. Kapan aku harus meminum obat ini?”

Tiba-tiba seorang suster masuk ke kamarku sambil membawakan makanan untukku. Lagi-lagi, makanan yang harus kumakan adalah makanan terlalu sehat yang tidak aku suka. Aku ingin sekali menelpon sebuah restoran cepat saji untuk mengirimkan makanan kesini. Walaupun aku sangat yakin bahwa pengantar makanan tidak diperbolehkan berada di rumah sakit ini.

“Kali ini kau tidak bisa membuang obatmu,” kata Kahi sambil tersenyum licik padaku. Senyuman liciknya tidak memiliki maksud jahat. Itu hanyalah senyuman bahwa sekarang ia menang dan aku harus meminum obatku.

Ternyata, Kahi dan suster itu akan mengawasiku sampai aku selesai makan dan memastikan bahwa aku tidak lupa untuk minum obat. Ya, ada baiknya juga. Hal baiknya, aku akan hidup untuk setidaknya beberapa menit lebih lama karena obat ini. Aku tidak mengerti mengapa orang sepertiku harus sembuh disaat orang tuaku bahkan tidak ada bersamaku ketika aku mengalami penyakit mematikan seperti ini.

Aku makan sambil diawasi Kahi dan si suster. Kami banyak bicara selama aku makan. Dan tentu saja, topik yang paling banyak kami bicarakan saat itu adalah Oh Sehun, anak dari kamar 206. Aku tidak tahu mengapa ia sangat menarik perhatianku. Padahal, aku tidak mengetahui sifatnya. Aku bahkan belum pernah melihatnya bergerak, mendengar suaranya, tetapi ia bagaikan magnet dan aku adalah besi. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa aku rasakan ketika aku berada bersama orang lain.

Setelah aku selesai makan dan minum obat, Kahi dan suster itu meninggalkan kamarku. Aku merasa kesepian, lagi. Aku sudah tidak tertarik untuk melanjutkan aktivitasku tadi, yaitu memperhatikan bunga. Orang bilang, kebahagiaan itu sederhana. Dengan mudahnya mereka bilang seperti itu, tanpa merasakan bagaimana kehidupan di rumah sakit. Bagaimana caranya aku bisa bahagia ketika aku bahkan tidak memiliki alasan untuk bahagia?

Lalu aku ingat sesuatu. Segera aku berjalan keluar dan pergi ke kamar 206. Aku buka pintu kamarnya, dan seperti saat-saat sebelumnya, pemandangan di kamar itu masih sama, tidak berbeda sama sekali. Seorang anak laki-laki, mesin-mesin yang tersambung pada tubuhnya, dan sebuah kardus berisi 143 burung dari kertas lipat.

Dia, laki-laki yang terbaring disana, adalah alasanku untuk bahagia disini. Benar, dia tidak melakukan apapun yang membuatku bahagia. Tetapi, hanya dengan berdiri di samping dirinya yang tertidur, itu sudah cukup membuatku bahagia. Mengapa? Karena aku jatuh cinta padanya, dan berada disamping orang yang kau cintai adalah sesuatu yang membahagiakan.

Aku mendekat dan duduk di sebelah tubuhnya yang lemas, tak berdaya. Ingin rasanya aku berteriak tepat pada telinganya, supaya ia terbangun. Tetapi, dalam keadaan seperti ini, aku lebih ingin membisikkan doa-doa padanya. Atau mungkin lebih baik jika aku membisikkan sebuah lagu untuknya.

“Sehun, nama yang bagus,” kataku sambil mengayun-ayunkan kedua kakiku, seakan-akan aku berada di bangku taman bersamanya.

“Kau tahu? Kau membuatku memiliki banyak sekali pertanyaan yang tidak terjawab. Bahkan, aku tidak yakin apakah kau bisa menjawabnya ketika kau bangun.”

Aku beranjak dari tempat tidurnya, dan pindah ke kursi disampingnya, supaya aku bisa bicara tepat dihadapan telinganya.

Aku melihat wajahnya yang tanpa ekspresi sekilas, kemudian berbisik padannya, “kau tidak sama dengan bunga. Ketika sebuah bunga hampir layu, orang-orang akan membiarkannya dan menanam bunga yang baru, karena ia sudah tidak terlihat cantik lagi. Tapi kau… Kau tetap sempurna walaupun kau hampir layu.”

Kujauhkan wajahku dari telinganya, lalu kusandarkan kepalaku pada dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tidak stabil. Walaupun tidak stabil, aku mendegar detak jantungnya seperti irama drum yang membuat setiap lagu menjadi lebih sempurna.

Ketika sedang asyik mendengar detak jantungnya, aku teringat akan burung-burung kertas di dalam kardus itu. Aku melihatnya lagi, dan aku menjadi semakin penasaran. Permintaan apakah yang sangat ia inginkan sampai-sampai ia rela menghabiskan waktunya untuk melipat burung kertas?

“Aku akan membantumu menyelesaikan 1000 burung kertas, Sehun. Semoga saja, ketika kau bangun, permintaanmu akan terkabulkan. Atau mungkin, jika aku belum selesai melanjutkan hingga 1000 burung saat kau bangun, kita bisa melipatnya bersama.”

Aku mengangkat kepalaku dari dadanya, karena aku takut aku membuat ia sesak bernafas. Aku tetap duduk disampingnya, dengan kedua tanganku menopang pipku, aku menyanyikan dengan pelan beberapa lagu yang biasa kudengarkan ketika aku tidak bisa tidur.

When you grow up what would you like to be? A mother or a father with a fine family?~”

Tiba-tiba, pintu kamar Sehun terbuka. Aku kaget melihat seorang wanita membawa seikat tali, yang entah untuk apa. Aku heran, apa hubungannya seikat tali dengan Sehun?

34 responses to “A Thousand Paper Cranes | Chapter 3

  1. Pingback: A Thousand Paper Cranes | Chapter 7 | FFindo·

Leave a comment