A Thousand Paper Cranes | Chapter 4

jdkajdkaj
Title: A Thousand Paper Cranes

Parts: Chapter 1/Prologue | Chapter 2 | Chapter 3 | Chapter 4

Author: Vanana

Genre: Romance, Drama

Length: Chaptered

Main Casts: Oh Sehun, Ahn Hayeon (OC/You), Kim Jongin

Note: yaaay kali ini ngupdatenya ga sampe berbulan-bulan lagi huahahaha. doain semoga kesana-sananya juga aku sering nge-update ff ini yaah karena to be honest aku bener-bener enjoy nulis ff ini. maafin kalo kata-katanya lebay. buat readersku tercinta, comment yah! saran dan kritik kalian bisa membatu saya supaya semangat ngelanjutin nih ff huehehe. enzoyyyyy

“Jadi… karena sebuah kecelakaan?”

Dalam ketidakpercayaan, aku menanyakan hal itu pada seorang wanita paruh baya yang duduk di sebelahku di ruang tunggu rumah sakit. Dia adalah orang yang sudah merawat Sehun sejak ia kecil, namanya Song Minhee. Ia bercerita banyak tentang Sehun padaku, mulai dari keluarganya hingga kehidupannya.

“Iya, karena sebuah kecelakaan, ia jatuh koma hingga saat ini. Pada beberapa minggu pertama, orang tuanya setia menemaninya disini. Tetapi, lama kelamaan mereka mulai bosan dan menyerahkan pada pihak rumah sakit untuk menjaga Sehun,” Minhee menjelaskan, “aku sudah tidak lagi bekerja untuk orang tuanya sekarang. Tetapi entah mengapa aku teringat akan dia hari ini.”

Aku mengarahkan pandanganku pada tali yang ia bawa. Bukankah orang yang sedang dalam keadaan koma tidak membutuhkan seikat tali? Minhee memang terlihat seperti wanita yang baik, tetapi aku tidak bisa berhenti berpikiran negatif tentang tali itu.

“Ngomong-ngomong, apa yang akan kaulakukan dengan tali itu?” karena terlalu penasaran, aku menanyakannya pada Minhee. Aku berharap untuk mendapatkan sebuah jawaban yang masuk akal.

“Oh… tali ini. Dulu, Sehun sangat suka melipat burung kertas. Dia ingin melipat 1000 burung kertas karena menurut cerita, jika kau melipat 1000 burung kertas maka permintaanmu akan menjadi nyata. Tetapi sayang sekali, dia jatuh koma sebelum dia sempat menyelesaikan 1000,” kata Minhee, “tali ini kubawa untuk menggantung burung kertas yang telah ia lipat dan membuatnya supaya menjadi hiasan di kamar rumah sakitnya.”

“Kurasa… akan lebih baik jika mereka dibiarkan tertidur di dalam kardus itu. Tertidur seperti pemiliknya.”

***

Ada banyak sekali bintang di langit malam ini. Mereka semua indah, bersinar terang, membantu bulan untuk menerangi kegelapan malam. Tapi, tanpa bintang-bintang itu pun, langit sudah cukup terang, bukan? Aku tidak ingin menjadi bintang. Mereka semua indah, dan karena itu, tidak ada bintang yang paling indah. Dengan begitu, mereka akan terlupakan. Mereka tidak akan diingat.

Bulan. Bulan hanya satu, namun ia bersinar lebih terang dari seratus bintang. Tetapi aku pernah belajar bahwa bulan memakai cahaya matahari. Bulan tidak bersinar, tetapi ia menyinarkan cahaya matahari. Karena itulah, pada siang hari, ia bukan apa-apa.

Mataharilah yang paling bersinar. Jika tidak ada matahari, siang tidak akan menjadi terang. Tetapi sayang sekali, keindahannya tidak dapat kita lihat. Keindahannya bisa merusak mata kita. Padahal, api-api disekitarnya menari dengan sangat cantik, seakan-akan mereka adalah air, dan matahari adalah sungainya.

Aku menyadari bahwa semua yang cantik memiliki kelemahannya masing-masing. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tetapi, sudut pandang seseorang bisa mengubah setumpuk sampah menjadi setumpuk emas. Mengapa? Karena ketika kita mencintai sesuatu atau seseorang, kita tidak melihat mereka dari kekurangannya. Itulah yang membuat mereka terlihat sempurna di mata kita.

Seperti Sehun. Aku bahkan tidak tahu apa kelebihannya, dan yang selama ini kulihat hanyalah kekurangannya; dia tidak bisa melihat, bicara, mendengar, untuk bernafas pun dia membutuhkan alat bantu. Tapi semua kekurangannya itu aku ubah menjadi kelebihan yang tidak dapat aku lihat dalam diri orang lain. Matanya yang tertutup aku anggap sebagai sebuah hadiah, yang suatu hari akan kubuka dan aku akan terkejut ketika melihat apa yang ada didalamnya. Kebisuannya aku anggap sebagai sebuah nyanyian yang lembut, sangat lembut sehingga aku tak bisa mendengarnya. Telinganya yang tak bisa mendengar bagaikan sebuah buku harian; selalu menjadi tempat aku menceritakan hidupku, walaupun tidak benar-benar bisa mendengarku. Ketidaksempurnaannya saja sudah begitu menakjubkan, bagaimana saat ia terbangun? Aku tak bisa membayangkannya.

Sambil melipat burung kertas dari selembar kertas buku tulis, ditemani ranting pohon yang mengetuk jendela kamarku, aku tiba-tiba teringat akan awal mula aku berada disini. Dari awal aku mengira bahwa aku hanya terkena demam biasa, hingga saat-saat aku divonis menderita kanker darah.

Aku mengeluh pada orangtuaku tentang perasaan penuh di perutku. Bukan, bukan perasaan kenyang, tetapi penuh. Aku tidak banyak makan, karena nafsu makanku sangat rendah. Berat badanku juga menurun. Aku cepat merasa lelah, dan sering pingsan secara tiba-tiba. Ibuku bilang, aku hanya demam biasa. Aku percaya padanya, tetapi aku meminta orangtuaku untuk membawaku ke dokter untuk memastikannya.

Ketika memasuki ruangan dokter, aku diperiksa dan sang dokter menemukan sesuatu yang aneh pada diriku. Aku diminta untuk tinggal di rumah sakit selama satu hari untuk melakukan pemeriksaan. X-Ray, pemeriksaan sumsum, dan lain-lain telah dicoba padaku dan hasilnya…

Aku dan kedua orangtuaku duduk dihadapan meja dokter. Dokter itu – Dokter Kahi, memegang beberapa hasil pemeriksaan padaku yang berupa berkas didalam map. Wajahnya tidak terlihat senang, sepertinya dia akan membawakan kabar buruk bagi kami. Aku bersiap-siap untuk mendengar semuanya.

 “Hayeon menderita Leukemia mielositik kronik, dan saat ini ia sedang berada pada fase kronik tahun kedua. Fase kronik biasanya berlangsung selama tiga tahun. Jika tidak dilakukan pengobatan, ia akan lebih cepat memasuki fase akselerasi, lalu ke fase krisis blas.”

Aku dan orangtuaku tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh dokter itu. Aku menangis, karena setahuku leukemia adalah kanker darah, dan hingga sekarang, belum ada obat untuk kanker. Apa itu berarti aku akan segera mati?

Ibuku menanyakan pada dokter, apa yang harus dilakukan untukku. Dokter menyarankan supaya aku tidak melakukan terlalu banyak aktifitas, dan aku harus menjalankan terapi. Pada awalnya, aku merasa lega karena aku tidak harus dirawat di rumah sakit dengan infus terpasang pada tubuhku. Tetapi, betapa terkejutnya aku ketika ibuku memutuskan untuk membuatku tinggal disini.

 “Apakah anak saya bisa tinggal di rumah sakit dan dirawat disini? Berapapun biayanya, akan saya bayar,” kata Ibuku, yang diikuti oleh anggukan dari Ayahku.

Aku, masih dengan tangisan yang menghiasi wajahku, mencoba untuk menahan ibuku dari memenjarakan aku di rumah sakit selama bertahun-tahun. Memang benar, orangtuaku adalah pengusaha dengan uang berlimpah. Tetapi, memiliki banyak uang bukan berarti menghamburkannya dengan memberikan hak pada rumah sakit untuk merawatku, kan? Aku yakin, biayanya sangat tinggi.

 “Bu… Aku tidak ingin tinggal di rumah sakit,” kubilang pada ibuku sambil memohon, “aku harus sekolah. Aku memiliki banyak hal yang harus kulakukan diluar sana. Aku ingin tinggal bersama kalian.”

 “Ibu dan Ayah takut kami tidak bisa mengurusmu di rumah, Hayeon. Lagipula, kami sibuk. Ibu berjanji, ibu akan sering menjengukmu.”

 

Dan disinilah aku sekarang, di  rumah sakit, dalam sebuah kamar khusus pasien yang sudah pasti akan tinggal dalam jangka waktu yang lama. Kurang lebih satu bulan aku berada disini. Dan aku belajar untuk mulai menerima keadaanku. Leukemia adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Yang bisa aku lakukan hanyalah berdoa, dan menjalankan terapi untuk menambah hidup beberapa hari lebih lama.

Aku memang pada awalnya ingin segera pulang. Saat ini pun, aku ingin segera pulang. Tapi sesuatu – maksudku, seseorang, menahanku untuk tetap berada disini, menunggu sampai ia terbangun dari komanya dan kami akan keluar dari sini bersamaan. Ya, seseorang itu adalah Sehun.

Tidak terasa, aku sudah melipat 4 buah burung kertas untuk Sehun. Terlalu lelah untuk melanjutkannya, aku segera pergi ke kamar Sehun dan memberikan 4 burung kertas itu padanya, berharap dia akan menyukainya.

Aku memasuki kamarnya dan tersenyum ketika melihatnya berbaring penuh kedamaian. Walaupun bibirnya tidak tersenyum, dia tetap terlihat tampan.

“Sehun~” aku memanggil namanya, “aku sudah melipat  4 burung kertas untukmu. Sudah 147 burung kertas yang kaumiliki.”

Seperti biasa, balasan dari semuanya hanyalah keheningan. Keheningan yang familiar bagiku. Keheningan disertai bunyi mesin yang khas, mesin yang hanya ada pada rumah sakit.

“Apakah kau membenci tempat ini?” aku bertanya padanya sambil memainkan jemarinya yang pucat, sepucat wajahnya. Aku jadi penasaran, apakah jari-jarinya dibuat untuk mengisi sela diantara jari-jariku?

“Aku yakin, kau tidak suka berada disini. Apalagi dengan alat-alat itu terpasang pada tubuhmu, kau pasti sangat membencinya. Tetapi, kau harus belajar untuk menyukainya,” kataku dengan sedikit air mata menggenang di mataku.

“Tapi aku yakin suatu hari kau akan bangun dan kaget mengapa kau berada disini. Tidak seperti aku yang harus menjalani seumur hidupku di rumah sakit. Nanti, disaat kau sudah bangun, siapa yang akan menjadi temanku disini? Suster-suster itu? Mereka sibuk, mereka harus merawat pasien yang lain,” aku mulai menangis dan air mataku membasahi jemari Sehun.

“Kau tahu… Kau satu-satunya temanku disini.”

Aku melihat jam yang terpajang pada dinging. Menunjukkan pukul 9 malam. Aku tidak mau tidur terlalu malam, karena aku akan bangun pagi besok dan berjalan-jalan di halaman rumah sakit untuk menghirup udara segar. Aku akan meminta seorang suster untuk menemaniku.

Sebelum kembali ke kamarku, aku menggenggam pelan tangan Sehun. Aku berhati-hati supaya aku tidak melukainya. Aku membisikkan beberapa kata yang memang sudah biasa aku bisikkan padanya setiap malam sejak aku melihatnya. Ya, membisikkan selamat malam padanya sudah menjadi sebuah kebiasaan bagiku. Kebiasaan yang sudah menjadi janji yang aku buat pada diriku sendiri untuk selalu melakukannya.

Dengan mata sembab dan hidung yang memerah, aku berbisik padanya:

“Selamat malam, mawar merahku.”

59 responses to “A Thousand Paper Cranes | Chapter 4

  1. Pingback: A Thousand Paper Cranes | Chapter 7 | FFindo·

Leave a comment